Tentang Mushannif Kitab Al Muqaddimah: Imam As-Sanusi

Nama lengkap beliau adalah Imam Muḥammad bin Yūsuf bin ‘Umar bin Shu‘ayb al-Ḥasanī al-Sanūsī al-Tilimsānī. Beliau berasal dari Fez (Maroko). Beliau lahir kira-kira tahun 832 H dan wafat akhir Abad 9 atau awal Abad 10 Hijriyah. Dalam Fikih beliau mengikut Imam Malik bin Anas (Mazhab Maliki). Dalam Aqidah beliau mengikuti pendekatan ilmu Aqidah Imam Abul Hasan Al Asy’ari.
Ayah beliau adalah Ulama yang soleh yang mengajar Al Qur’an di Madrasah. Ibu beliau adalah seorang Syarifah dari keturunan Sayidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Sehingga dari kecil Imam As-Sanusi tumbuh dalam suasana belajar ilmu agama. Memang para Ulama besar rata-rata mulai belajar ilmu agama dari kecil. Imam Syafei ketika kecil sudah disuruh Ibunya untuk belajar bahasa Arab yang fasih dari Badiah Bani Hudail yang masih murni bahasa Arabnya sejak usia 2.5 tahun. Demikian juga Imam As-Suyuti dan lain-lain.

Guru dan Murid Imam As-Sanusi

Imam As-Sanusi belajar ilmu-ilmu asas agama dari ayahnya. Namun guru Imam As-Sanusi ada banyak. Di antara gurunya adalah Syeikh Hasan Al Barkan, seorang Ulama besar ketika itu. Setiap bertemu Imam As-Sanusi kecil beliau selalu tersenyum, memeluk dan mencium ubun-ubunnya sambil mendoakan. Beliau berkata : ini adalah ubun-ubun yang murni, bersih dan berkah. Ulama besar lain yang menjadi guru beliau adalah Syeikh Muhammad Nashar Al Zawawi, Syeikh Muhammad Al Sunhaji, Syeikh Abdurrahman At-Ta’alibi, Syeikh Abu Hasan Al Qoshodi.

Imam As-Sanusi juga banyak mendidik Ulama-Ulama besar yang meneruskan perjuangan beliau. Diantaranya adalah Ibnu Sa’ad Abul Qosim Al Zawawi, Ibnu Abi Madyan, Ibnu Malukah dan Waliyulah Muhammad Qal’i.

Akhlak Imam As-Sanusi

Beliau telah menginfaq-an dirinya hanya untuk ilmu, belajar dan mengajarkan ilmu. Banyak muridnya yang antri ingin membaca Kitab dihadapannya, sehingga disediakan jam pasir untuk membatasi waktunya. Begitu jam pasir itu selesai, datang murid berikutnya dan membalikkan jam pasir itu, sampai murid berikutnya dan seterusnya. Beliau tidak suka terlibat dengan perkara yang berkaitan dengan politik, beliau juga adalah seorang ahli sufi besar.
Beliau dikenal dengan Ulama yang sangat berkasih sayang, tidak hanya kepada manusia bahkan juga terhadap binatang. Beliau akan marah jika ada orang yang memukul kuda ketika melatihnya.
Beliau juga dikenal sebagai Mujaddid, karena beliau telah menghidupkan kembali ilmu agama dengan cara yang sesuai dengan keadaan di zaman itu, dan kemudian diikuti oleh Ulama-Ulama yang datang kemudian. Beliau mengajarkan ilmu Aqidah dengan menggabungkan Ilmu Aqidah dengan ilmu Tasawuf. Beliau selalu mengembalikan Ilmu Aqidah kepada dua kalimat Syahadat.
Beliau juga menulis banyak Kitab. Kitab beliau yang terkenal adalah Silsilah Aqidah As-Sanusiyah.

Silsilah Kitab Aqidah As-Sanusiyah

Kitab Al Muqaddimah adalah salah satu Silsilah Al Aqidah As-Sanusiyah, yaitu kumpulan Kitab Aqidah yang disusun oleh Imam As-Sanusi. Kitab-Kitab ini menjelaskan ilmu Aqidah dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, yaitu

  1. Al Mufidah
  2. Al Hafidah
  3. Al Muqaddimah
  4. Syughro Asy-Syughro
  5. Al Aqidah Asy-Syughro (Ummul Barohin)
  6. Al Aqidah Al Wustho
  7. Al Aqidah Al Kubro

Kitab Al Mufidah dan Al Hafidah adalah Kitab ilmu Aqidah untuk anak-anak dan muslimah yang tidak keluar rumah. Kedua kitab ini sudah tercover dalam Kajian KItab Aqidatul Awam. Oleh sebab itu untuk selanjutnya kita langsung membahas Kitab Al Muqaddimah.
Ilmu Aqidah adalah ilmu yang paling penting di antara ilmu agama, karena ilmu ini akan terus terpakai setelah manusia meninggal dunia. Sedangkan ilmu Fiqih, Ilmu Tasawuf, Ilmu Tajwid dan Ilmu Nahwu Sharaf sangat diperlukan ketika kita hidup di dunia, karena dapat kita pakai untuk beramal. Namun tidak diperlukan lagi begitu manusia meninggal dunia. Oleh sebab itu kita perlu menambah ilmu Aqidah agar kita lebih mengenal Allah, Tuhan yang kita sembah. Dengan kita lebih mengenal Allah maka dapat meningkatkan kualitas amal dan ibadah kepada Allah.

Dalil Aqli selain dalil Naqli dalam Ilmu Aqidah dan pentingnya ilmu Mantiq

Belajar Ilmu Aqidah dengan pendekatan Imam Abul Hasan Al Asy’ari adalah dengan memasukkan dalil Aqli (hukum akal) untuk menjelaskan Sifat-SIfat Allah, selain menggunakan dalil Naqli. Sehingga kita mengenal adanya SIfat Wajib, Sifat Mustahil dan Sifat Jaiz bagi Allah. Untuk menjelaskan dalil Aqli ini diperlukan ilmu Mantiq (Logika) yang menjadi ilmu alat seperti ilmu Tajwid dalam membaca Al Qur’an. Jika Ilmu Tajwid dipelajari agar kita tidak keliru dalam membaca Al Qur’an maka Ilmu Mantiq diperlukan agar kita tidak keliru dalam menggunakan akal.
Akal digunakan untuk berfikir dalam mempelajari suatu ilmu. Maka sebelum mempelajari ilmu itu, akal kita mesti diberi panduan agar dapat digunakan secara benar agar tidak keliru dalam berfikir dan menganalisa dalam membuat kesimpulan. Pada umumnya manusia sangat terpengaruh dengan pengaruh luar yang didapatnya melalui panca indera, sehingga kadang-kadang informasi yan didapatnya tidak benar seperti yang disangka, karena halusinasi yang membuat akal kita keliru dalam memahaminya. Maka Ulama mencoba menjelaskan bagaimana akal kita bekerja agar dapat berfikir dan menganalisa dahulu agar tidak selalu terpengaruh dengan informasi yang didapatnya itu. Dengan ilmu Mantiq maka ilmu-ilmu lain yang kita pelajari akan lebih mudah difahami. Bahkan ilmu-ilmu itu semua dibangun atas dasar ilmu Mantiq.

Ada yang menuduh ilmu Mantiq tidak islami karena dipelopori oleh bangsa Yunani (Aristoteles). Padahal Aristoteles juga belajar ilmu Mantiq dari bangsa lain juga termasuk bangsa Arab. Pada waktu itu bangsa Yunani sedang fokus pada ilmu Mantiq kemudian menulisnya, sehingga orang mengira bahwa ilmu Mantiq itu berasal dari bangsa Yunani. Mereka yang menuduh, sebenarnya tidak faham dengan ilmu Mantiq yang sebenarnya. Mereka berusaha merendahkan akal, dengan mengatakan jangan banyak menggunakan akal dan ilmu Mantiq dalam belajar agama. Padahal Al Quran tidak pernah mencela akal, bahkan sangat memuliakan akal. Betapa banyak ayat Al Qur’an yang menanyakan “apakah mereka tidak berfikir?”, “apakah mereka tidak menggunakan akalnya?” dan sebagainya. Bahkan salah satu syarat seseorang menjadi Mukallaf (orang yang dibebani syariat) adalah berakal. Tidak ada hukum syariat yang bertentangan dengan akal, demikian juga sebaliknya akal tidak akan bertentangan dengan hukum syariat Namun mungkin saja akal tidak dapat memahami Al Quran dan Hadits, karena terbatasnya akal, misalnya hakikat Dzat Allah, akal tidak akan dapat memahaminya, oleh sebab itu lebih mudah menjelaskan tentang kesempurnaan Dzat Allah dengan penjelasan Sifat Salbiyah (menolak sifat kelemahan dan kekurangan yang tidak layak ada pada Dzat Allah, red.).
Ilmu Mantiq adalah sebagaimana ilmu yang lain yang dapat dikaji oleh siapapun yang menggalinya. Oleh sebab itu pakar ilmu science (bukan ilmu agama) akan dapat memahami dan menggali ilmu Mantiq.
Imam Ghazali kemudian menjelaskan Ilmu Mantiq dari pandangan Islam untuk menjawab Ilmu Mantiq yang ditulis oleh orang yang tidak beriman. Bahkan beliau mengatakan bahwa ilmu Mantiq ada dalam Al Qur’an. Di antara penyebab kemunduran Umat Islam adalah karena sudah meninggalkan ilmu Mantiq yang sebenarnya bermanfaat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Ilmu Mantiq akan menguatkan dan memperbaiki akal. Oleh sebab itu ada Ulama yang mengatakan memperbaiki akal lebih utama dalam memperbaiki hati, karena orang yang baik dan kuat akalnya akan menuntun hati untuk tidak bermaksiat. Oleh sebab itu para wali adalah orang yang berilmu dan baik akalnya.. Akal berasal dari kata aqal, yang artinya mengikat, yaitu mengikat kita kepada apa yang telah difahami (diikat) oleh akal.

Bahkan ada Sifat-Sifat Allah sudah dapat diketahui oleh akal yang sehat, tanpa mengetahui dalil Naqli (dari Quran dan Hadits). Demikian begitu pentingnya Ilmu Mantiq

Wallahu a’lam



0 Kommentare

Schreibe einen Kommentar

Deine E-Mail-Adresse wird nicht veröffentlicht. Erforderliche Felder sind mit * markiert.

de_DEGerman