Hadits Jibril

Dalam Hadits yang terkenal yang ada dalam Hadits Imam Nawawi kedua:

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ . رواه مسلم

Artinya: Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah shallallahu alaihi wassalam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (Riwayat Muslim)

Hadits ini adalah sangat penting dalam ajaran agama Islam, sehingga banyak Ulama yang menyebutnya dengan Ummul Hadits (Induk dari Hadits), karena berisi inti dari semua ajaran Islam yang ada dalam Hadits Nabi. Sebagaimana ada istilah Ummul Kitab (Induk dari Al Qur’an) untuk Surat Al Fatihah, karena pentingnya surat ini dalam ajaran Islam, karena berisi intisari dari Al Qur’an.

Tiga Rukun Agama

Dalam ilmu syariat, rukun artinya bagian dari sesuatu, jika rukun itu tidak ada maka sesuatu itu tidak sempurna. Misalnya: Rukun Sholat adalah semua bagian dari sholat yang mesti dikerjakan ketika kita melaksanakan sholat. Jika ada rukun yang ditinggalkan, maka sholat itu tidak sah. Rukun wudhu adalah bagian dari wudhu yang mesti dikerjakan ketika berwudhu. Jika ada rukun wudhu yang tidak dikerjakan maka wudhunya tidak sah.
Demikian dalam kita beragama Islam, ada Rukun yang mesti dikerjakan. Jika ada satu dari Rukun itu yang ditinggalkan maka Islam kita tidak sempurna atau tidak sah disisi Allah. Dari Hadits Jibril di atas, Ulama mengatakan bahwa Rukun Agama ada 3 bagian yaitu:

  1. Islam yang Rukunnya ada 5 yaitu :
    • Membaca 2 kalimat Syahadat
    • Sholat 5 waktu dalam sehari
    • Membayar Zakat jika memenuhi syarat
    • Puasa di bulan Ramadhan
    • Pergi Haji ke Mekkah jika mampu
  2. Iman yang Rukunnya ada ada 6 yaitu
    • Iman kepada Allah
    • Iman kepada MalaikatNya
    • Iman kepada Kitab-KitabNya
    • Iman kepada Rasu-RasullNya
    • Iman kepada Hari Akhirat
    • Iman kepada Takdir baik dan buruk
  3. Ihsan yaitu beramal ibadah semata-mata untuk Allah seakan-akan kita melihatNya, jika kita tidak melihatNya maka mesti merasakan bahwa Allah melihat kita.

Maka ke tiga Rukun ini mesti dilaksanakan agar agama Islam yang kita peluk dan amalkan adalah sah dan sempurna.

Urutan amal agama dari sisi yang terlihat secara lahiriah hingga ke dalam (bathiniah)

Islam adalah amalan lahiriah

Urutan Rukun Agama yang disebut dalam Hadits Jibril menunjukkan amalan agama Islam dalam kehidupan. Dimana amal yang pertama kelihatan secara lahiriah adalah melaksanakan Rukun Islam. Oleh sebab itu dengan melaksanakan Rukun Islam yang pertama orang itu disebut muslim (orang Islam) dan ini adalah amalan yang mudah dibuat secara lahiriah.

Ilustrasi Islam, Iman dan Ihsan
Amalan Iman lebih tersembunyi dari pada amalan IIslam

Amalan Rukun Iman adalah percaya yang ada dalam hati yang tidak kelihatan langsung secara lahiriah. Maka orang beriman sudah mesti mempunyai amalan di hati yaitu tidak ragu-ragu yaitu mereka mesti membuktikan iman mereka dengan berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah.. Fenomena ini ada disebutkan dalam Al Qur’an Surat Al Hujurat ayat 14 dan 15:

قَالَتِ الْاَعْرَابُ اٰمَنَّا ۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْلُوْٓا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِيْمَانُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ ۗوَاِنْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ اَعْمَالِكُمْ شَيْـًٔا ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami baru berislam’ karena iman (yang sebenarnya) belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu.” Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin (yang sebenarnya) hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang benar.

Amalan Ihsan lebih halus dari pada amalan Iman

Amalan Ihsan adalah rasa diri dilihat oleh Allah yang juga ada dalam hati. Amalan Ihsan lebih seni dan lebih halus dari pada amalan Iman. Karena halusnya bahkan diri kita sendiri tidak dapat mengetahuinya dengan pasti. Rasa ini hanya diketahui oleh Allah Subhanallahu wa ta’ala dan mereka yang diberitahu olehNya.
Fenomena ini ada disebutkan dalam suatu Hadits yang bercerita tentang seorang mujahid, seorang alim dan seorang dermawan yang kelihatan beramal soleh ketika di dunia. Yang ternyata di akhirat mereka dilempar ke neraka karena tidak mengamalkan Ihsan, Na’udzubillah min dzalik.

عن أبي هريرة -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يقول: «إن أول الناس يُقضى يوم القيامة عليه رجُل اسْتُشْهِدَ، فأُتي به، فعرَّفه نِعمته، فعرَفَها، قال: فما عَمِلت فيها؟ قال: قَاتَلْتُ فيك حتى اسْتُشْهِدْتُ. قال: كَذبْتَ، ولكنك قَاتَلْتَ لأن يقال: جَرِيء! فقد قيل، ثم أُمِرَ به فَسُحِب على وجهه حتى أُلقي في النار. ورجل تعلم العلم وعلمه، وقرأ القرآن، فأُتي به فعرَّفه نِعَمه فعرَفَها. قال: فما عملت فيها؟ قال: تعلمت العلم وعلمته، وقرأت فيك القرآن، قال: كَذَبْتَ، ولكنك تعلمت ليقال: عالم! وقرأت القرآن ليقال: هو قارئ؛ فقد قيل، ثم أُمِر به فَسُحِب على وجهه حتى ألقي في النار. ورجل وَسَّعَ الله عليه، وأعطاه من أصناف المال، فأُتي به فعرَّفه نِعَمه، فعرَفَها. قال: فما عملت فيها؟ قال: ما تركت من سبيل تُحِبُّ أن يُنْفَقَ فيها إلا أنفقت فيها لك. قال: كَذَبْتَ، ولكنك فعلت ليقال: جواد! فقد قيل، ثم أُمِر به فَسُحِب على وجهه حتى ألقي في النار .

Abu Hurairah ra, sebagaimana diriwayatkan Muslim dan Ahmad, berkata bahwa Nabi Saw bersabda: sesungguhnya orang pertama yang akan diputuskan pada hari kiamat kelak adalah seorang yang mati syahid. Maka, dihadapkan kepada Allah dan diingatkan kepadanya akan nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya, dan hal itu diakuinya. Kemudian ditanya oleh Allah, ”Lalu, apakah amalanmu dalam nikmat itu?”
Jawabnya, ”Aku telah berperang untuk-Mu hingga mati syahid.” Maka Allah berfirman: ”Dusta kamu, tetapi kamu berperang untuk dikenal sebagai pahlawan yang gagah berani.” Lalu ia diseret oleh malaikat dan diperintahkan untuk dilempar ke dalam neraka.
Yang kedua dihadapkan kepada Allah adalah orang yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya, serta pandai membaca Alquran. Maka diberitakan tentang nikmat-nikmat yang telah ia peroleh dan ia mengakuinya. Lalu ia ditanya: ”Lalu, apakah amalanmu di dalamnya?” 
Jawab orang itu: ”Aku telah belajar ilmu untuk-Mu dan mengajarkannya, serta membaca Alquran untuk-Mu.” Allah berfirman: ”Dusta engkau, tetapi engkau belajar ilmu agar mendapat gelar alim, membaca Alquran agar mendapat gelar qari, dan engkau sudah menikmatinya di dunia.” Kemudian diperintahkan kepada malaikat untuk mencampakkannya ke dalam neraka.
Orang yang ketiga dihadapkan kepada Allah adalah yang diluaskan rezekinya dan diberi oleh Allah berbagai kekayaan. Maka diberitakan kepadanya tentang nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, dan ia mengakuinya. Lalu ia ditanya: ”Lantas, apakah amalanmu di dalamnya?” Jawab orang itu: ”Tiada suatu jalan pun yang Engkau perintahkan mendermakan harta di dalamnya, melainkan telah saya dermakan harta di dalamnya untuk-Mu.”
Jawab Allah: ”Dusta engkau, tetapi engkau mendermakan harta itu agar disebut dermawan, dan telah dikenal sedemikian di dunia.” Maka Allah kemudian memerintahkan malaikatnya untuk melemparkan orang itu ke dalam neraka.”

Fenomena hadits di atas juga disebutkan dalam Hadits Pertama Kitab Arbain Imam Nawawi sbb:

عَنْ أَمِيرِ المُؤْمِنِيْنَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوُلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya. Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraih atau wanita yang ingin dinikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia berhijrah kepadanya.”

Keistimewaan orang yang Ihsan

Orang yang Ihsan akan membuahkan sifat ikhlas yang mempunyai keistimewaan yaitu dilindungi Allah dari godaan iblis, sebagaimana disebut Qur’an Surat Shad

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ ۝٨٢

(Berkata Iblis) “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.


اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ ۝٨٣

Kecuali, hamba-hamba-Mu yang terpilih (karena keikhlasannya) di antara mereka.”

Ilmu yang perlu dipelajari untuk dapat mengamalkan Tiga Rukun Agama

Untuk dapat mengamalkan Islam, Iman dan Ihsan, Ulama dari zaman salafus soleh telah menuliskan ilmu agar umat yang datang kemudian dapat mengamalkannya.

  1. Ilmu Fiqih yaitu Ilmu yang mengajarkan bagaimana kita menjalankan Rukun Islam yang 5 dan turunannya. Ilmu Fiqih sering juga disebut ilmu Syariat. Mayoritas Ulama Ahlussunnah wal Jamaah mengikuti 4 Imam Mazhab yang Muktabar, yaitu
    • Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi)
    • Imam Malik bin Anas (Madzhab Maliki)
    • Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafei (Madzhab Syafei) dan
    • Imam Ahmad bin Hambal (Madzhab Maliki).
  2. Ilmu Aqidah yaitu ilmu yang mengajarkan bagaimana kita dapat percaya dengan Rukun Iman. Mayoritas Ulama Ahlussunnah wal Jamaah mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi.
  3. Ilmu Tasawuf yaitu ilmu yang mengajarkan bagaimana kita dapat mencapai Ihsan. Ilmu ini disebut juga Ilmu Tazkiatun Nafs (penyucian hati) atau Ilmu Akhlak/Adab. Ada juga yang menyebutnya dengan Ilmu Syariat Bathin sebagai pelengkap dari Ilmu Syariat Lahir (Ilmu Fiqih).
    Ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang terkenal dengan ilmu Tasawuf di antaranya, Imam Junaid Al Bagdadi, Imam Ghazali, Syeikh Abdul Qadir Jaelani, Syeikh Hasan Syadzili, Syeikh Ibnu Ath-Thoilah dan lain-lain.

Membangun Ilmu Fiqih, Aqidah dan Tasawwuf

Berbeda dengan urutan amal agama dari sisi yang terlihat secara lahiriah hingga ke dalam (bathiniah), membangun ilmu untuk mengamalkan Rukun Agama itu adalah yang pertama menguatkan Ilmu Aqidah, kemudian Ilmu Fiqih dan yang terakhir adalah ilmu Tasawuf. Jika bangunan ilmu dari Rukun agama ini diumpamakan seperti bangunan Piramida – dimana batu yang di bawah menopang batu yang di atasnya – maka ilmu yang paling dasar sebagai pondasi adalah Ilmu Aqidah, kemudian di atasnya Ilmu Fiqih dan yang paling atas di puncak piramida adalah ilmu Tasawuf.

Piramida Tiga Ilmu dari Rukun Agama

Ilmu Aqidah, Fiqih dan Tasawwuf boleh dipelajari secara terpisah, tapi mesti diamalkan secara sekaligus

Dalam menimba ilmu-ilmu ini kita boleh mempelajarinya secara terpisah. Tetapi dalam mengamalkannya – sebagaimana bangunan Piramida – mesti dilaksanakan secara bersama-sama dan tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lain, apa lagi mengabaikan salah satunya.

Imam Ibnu Malik berkata, “Barang siapa (mempelajari) ilmu tasawuf, namun tidak mempelajari ilmu fiqih (syariat), maka akan berpotensi menjadi orang zindiq (kafir tanpa disadari). Barang siapa yang belajar fiqih tanpa mempelajari tasawuf, maka cenderung akan menjadi orang fasiq. Barang siapa yang mempelajari keduanya, maka dialah ahli hakikat yang sesungguhnya.”.
Nasehat ini sangat penting untuk diperhatikan agar kita tidak tertipu oleh sebagian golongan yang hanya fokus kepada tasawuf tetapi meninggalkan sholat, sehingga dikhawatirkan telah keluar dari Islam. Atau tertipu oleh golongan yang hanya mementingkan amalan syariat lahir tapi mengabaikan akhlak terhadap sesama.

Karakter dari Ilmu Aqidah, Fiqih dan Tasawwuf

Tiga Ilmu mempunyai karakter yang berbeda dalam proses mempelajarinya dan fokus perhatiannya.

Ilmu Aqidah

Aqidah berasal dari kata Aqada yang artinya ikatan. Ikatan yang dimaksud adalah ikatan hati kita kepada Allah, agar semua amal kita baik yang zahir maupun bathin selalu berdasarkan Iman yang benar kepada Allah. Ilmu Aqidah menjawab pertanyaan bagaimana kita dapat yakin dan percaya dengan apa yang disebut dalam Rukun Iman.

Ilmu Aqidah merangsang akal untuk berfikir tentang ciptaan Allah untuk mengenal Sifat Allah

Allah bukan Dzat yang dapat ditangkap oleh panca indra kita, melainkan dapat diketahui keberadaanNya oleh akal kita.

Oleh sebab itu syarat mukallaf yaitu orang yang dibebani syariat adalah

  1. Mempunyai akal yang sehat.
  2. Mencapai usia baligh (dewasa)
  3. Mempunyai indera pendengaran atau/dan penglihatan
  4. Sampainya dakwah Islam keadanya

Oleh sebab itu, ilmu Aqidah menyentuh akal agar kita menggunakan akal dengan benar. Itu juga sebabnya begitu banyak ayat dalam Al Qur’an yang mengajak seluruh manusia – bukan hanya orang beriman – untuk menggunakan akalnya dengan memperhatikan alam semesta ini termasuk diri kita sendiri sebagai ciptaan Allah. Orang beriman tidak disuruh untuk mengenal hakikat Dzat Allah, melainkan mengenal Sifat Allah melalui ciptaanNya. Allah berfirman dalam QS Ali Imran 190-191

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Az-Zariyat Ayat 20 dan Ayat 21

وَفِى ٱلْأَرْضِ ءَايَٰتٌ لِّلْمُوقِنِينَ

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.

وَفِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

Dalam Al Qur’an juga banyak diceritakan bagaimana para Nabi mengajak umatnya untuk berfikir tentang ciptaan Allah yang membawanya kepada mengenal Allah, sebagai satu-satunya Tuhan yang layak disembah.

Ilmu Aqidah menganjurkan diskusi dan banyak bertanya untuk dapat benar benar memahamimya

Karena Ilmu Aqidah banyak menyentuh akal kita, maka kita boleh banyak bertanya agar kita benar-benar faham dengan Ilmu Aqidah Islam. Ulama membimbing dan mengajarkan bagaimana kita dapat menggunakan akal dengan benar, agar kita tidak keliru dalam berfikir dan dapat memahami Ilmu Aqidah dengan sebaik-baiknya.

Tidak menyandarkan keyakinan kepada orang lain

Kita tidak boleh semata-mata menyandarkan keimanan kita kepada orang lain termasuk Ulama. Misalnya jika kita ditanya “Apa bukti Allah itu ada?”. Tidak cukup kita hanya menjawab, “Karena guru saya yang mengatakan begitu”. Melainkan kita mesti dapat menjawab misalnya “Alam ini mustahil ada dengan sendirinya, melainkan pasti ada yang menciptakannya. Yang menciptakan alam semesta ini itulah Allah”.
Oleh sebab ilu dalam Ilmu Aqidah, kita diajarkan untuk dapat menjawab pertanyaan yang datang dari diri kita sendiri dan menjaga keyakinan kita dari pertanyaan-pertanyaan orang yang ingin melemahkan iman kita.

Ilmu Fiqih

Fiqih berasal dari kata faqiha yang artinya memahami dengan mendalam. Pada zaman dahulu Fiqih dipakai untuk seluruh ilmu agama, sebagaimana Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wassalam

عن معاوية بن أبي سفيان رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «من يُرِدِ الله به خيرا يُفَقِّهْهُ في الدين».  
[صحيح] – [متفق عليه]

Mu’āwiyah -raḍiyallāhu ‘anhu- meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Siapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan, niscaya Allah akan menjadikannya fakih tentang urusan agama.

Namun dengan berjalannya waktu, makna Fiqih menjadi dikhususkan kepada pemahaman dan pendalaman ilmu syariat. Ilmu Fiqih menjawab bagaimana kita dapat melaksanakan perintah Allah yang ada dalam Rukun Islam.

Ilmu Fiqih melarang kita dari banyak bertanya melainkan sami’na wa atho’na

Berbeda dengan Ilmu Aqidah, dalam ilmu Fiqih, kita tidak boleh banyak bertanya, kecuali hanya untuk mendapat penjelasan bagaimana kita melaksanakan suatu syariat. Dalam perintah syariat kita mesti bersikap, sami’na wa atho’na, kami dengar dan kami ta’at.
Kita mempelajari ilmu Fiqih untuk kita dapat mengamalkan Rukun Islam untuk menta’ati Allah dalam rangka ibadah kepada Allah sebagaimana firman Allah QS Adz-Dzariat:56

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.

Kita melakukan syariat adalah semata-mata sebagai penghambaan kepada Allah. Oleh sebab itu tidak semestinya kita bertanya mengapa kita mesti begini dan begitu dalam syariat.
Berbeda dengan Ilmu Aqidah dalam Ilmu Fiqih, kita justru hanya disuruh taat saja. Kalau ada orang bertanya mengapa mesti sholat 5 waktu, kita cukup menjawab Allah yang memerintahkan. Kalau ditanya lagi, anda tahu dari mana? kita boleh menjawab, guru kami yang mengajarkan kami begitu. Maka kita boleh menyandarkannya kepada guru kita.

Manfaat yang ada dalam amalan Islam adalah bonus bukan menjadi sebab kita melaksanakannya

Kita mentaati syariat adalah untuk beribadah dan penghambaan kita kepada Allah. Kita boleh mengkaji mengapa Allah menyuruh dan melarang sesuatu, apa manfaatnya, adalah hanya untuk memperkuat keyakinan kita kepada Allah, tetapi bukan menjadi dasar kita beribadah kepada Allah. Manfaat yang kita dapat karena melaksanakan ibadah kepada Allah adalah bonus di dunia, selain pahala dan ampunan dari Allah karena rahmatNya.
Misalnya banyak sekali manfaat puasa untuk kesehatan. Tetapi kita tetap berpuasa hanya semata-mata untuk beribadah kepada Allah.

Ilmu Tasawuf

Tasawuf berasal dari 3 kata yaitu

  1. Ahlus Shuffah, yaitu Sahabat Nabi yang seluruh waktunya diberikan untuk berkhidmat kepada Nabi shallallahu alaihi wassalam. Mereka hidup di sekitar Mesjid Nabawi, diantaranya yang terkenal adalah Abu Hurairah radhiallahu anhu yang sering bersama Nabi, sehingga termasuk Shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits,
  2. Shufi yang artinya orang yang selalu mensucikan dirinya, sehingga orang yang ahli Tasawuf disebut Shufi.
  3. Shuf yang artinya bulu domba. Kata ini diambil karena ahli Shufi (ahli Tasawuf) zaman dahulu hidupnya sangat sederhana dan banyak memakai pakaian dari bulu domba.

Ilmu Tasawuf fokus kepada mengasah rasa dengan amalan yang istiqomah

Ilmu Tasawuf adalah Ilmu yang mempelajari sifat-sifat hati yang baik dan yang buruk serta penyakitnya, bagaimana kita dapat mengobati penyakit itu dan memelihara hati dari penyakit yang dapat merusaknya. Sifat yang baik mesti kita pupuk dan pelihara, sifat yang buruk mesti kita kurangi dan kikis dengan selalu mengharap bantuan Allah dan rahmatNya. Ilmu Tasawuf menjawab pertanyaan bagaimana kita menjaga hati dalam menghadapi dunia ini agar kita layak untuk mencapai ihsan (merasa dilihat oleh Allah). Sebagai catatan, dalam Ilmu Aqidah menyebutkan bahwa Allah selalu melihat kita, walaupun kita tidak merasa dilihat Allah.
Sebagaimana dalam istilah ihsan yaitu merasa dilihat oleh Allah, maka Ilmu Tasawuf adalah bermanfaat mengasah rasa itu. Karakter Ilmu Tasawuf adalah melaksanakan amalan secara istiqomah dari aqidah dan syariat, untuk mendapatkan rasa cinta kepada Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.

Amalan dari Ilmu Aqidah dan Fiqih (Syariat) adalah pasti kita laksanakan. Selain itu kita juga melaksanakan amalan sunnat yang sesuai syariat (Quran dan Sunnah) walaupun sedikit yang bermanfaat untuk melatih kita menjaga hubungan dengan Allah, seperti berdzikir dan menjaga hubungan dengan manusia seperti berkhidmat dan sebagainya. Jika amalan ini dilaksanakan secara istiqomah, maka suatu saat Allah akan masukkan rasa ihsan yang menumbuhkan cinta kita kepada Allah dan Rasulullah shallalahu alaihi wassalam.

Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah radhiallahu anha, Nabi shallallahu alahi wassalam bersabda:

أَحَبَُ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Amal (kebaikan) yang paling dicintai Allah adalah yang istiqamah meski sedikit.” (HR Muslim)

Mengapa karakter dari Ilmu Tasawuf adalah beramal secara istiqomah?

Ketika kita belajar ilmu Aqidah dan Fiqih, sebenarnya kita hanya belajar teorinya saja. Ketika kita mulai mengamalkannya maka hati kita akan selalu terbawa oleh kita dengan amal itu, baik kita sadar maupun tidak, baik kita mau atau tidak.
Misalnya Sholat Shubuh. Ketika kita mesti bangun pagi di waktu fajar, kita sudah merasakan mujahadah melawan diri sendiri yang mungkin masih ingin meneruskan tidur. Diri kita sudah diuji, maka kita mulai mesti melawan nafsu kita.
Dengan melatih untuk merasakan dilihat Allah, kita seperti mendapat kekuatan untuk bangun, berwudhu dan melaksanakan Sholat Shubuh. Hal ini mesti kita lakukan setiap pagi, seumur hidup kita.
Jika kita merasakan mendapat kemudahan, maka kita bersyukur. Jika kita rasa berat mungkin karena timbul rasa malas, atau sakit atau terlalu letih karena malam sebelumnya ada kesibukan, maka kita mesti bersabar. Ketika kita sudah selesai melaksanakannya, kita bersyukur kepada Allah, karena Allah telah memberi kesempatan untuk sholat dengan rahmatNya.
Dengan contoh sederhana ini, dapat kita perluas dengan amalan-amalan lain. Termasuk jika kita punya keluarga. Kita akan diuji dengan istri dan anak, atau ujian lain dalam hidup kita berkeluarga. Maka selama hidup itulah kita menempa amalan Ihsan dengan ilmu Tasawuf yang telah kita pelajari.

Perlu Guru untuk mempelajari Ilmu

Untuk mempelajari ketiga ilmu-ilmu di atas, kita memerlukan guru. Yaitu guru yang juga pernah berguru dari guru yang bersambung sanadnya hingga kepada Shahabat dan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Perkara ini sagat penting agar ilmu yang yang kita fahami ini bersambung pemahamannya kepada guru-guru itu hingga kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.

Jika kita belajar ilmu Tajwid untuk kita dapat membaca Al Qur’an dengan benar sebagaimana bacaan dari shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, kita memerlukan guru yang sanadnya juga sampai kepada mereka. Dalam belajar ilmu Tajwid, kita perlu berhadap-hadapan dengan guru. Kita perlu melihat dan mendengarkan guru dan guru juga melihat dan mendengar kita membaca. Mesti berlatih dan selalu mengulang bacaan serta memerlukan waktu yang lama.
Kalau perkara yang secara lahiriah dapat kita dengar yaitu Al Qur’an, kita perlu proses pembelajaran yang tersebut di atas, maka untuk perkara yang lebih halus dan seni dari bacaan Qur’an yaitu nilai Al Qur’an dan Hadits yang ada dalam Ilmu Aqidah, Fiqih dan Tasawuf, maka sudah pasti kita lebih memerlukan guru yang dapat membimbing kita dan proses pembelajarannya yang lama. Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kita.

Wallahu a’lam



0 Kommentare

Schreibe einen Kommentar

Deine E-Mail-Adresse wird nicht veröffentlicht. Erforderliche Felder sind mit * markiert.

de_DEGerman