Fasal 3 (lanjutan)

Syahadat Rasul tidak boleh dipisahkan dari syahadat Tauhid

Setelah membahas Syahadat Tauhid dalam kajian bulan lalu, kali ini dilanjutkan dengan Syahadat Rasul. Kedua kalimat syahadat ini mesti dibaca ketika seseorang ingin memeluk agama Islam. Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Tidak akan diterima syahadat seseorang kecuali membaca syahadatain. Tidak boleh seseorang hanya bersyahadat Tauhid tetapi tidak mau membaca syahadat Rasul. Bahkan kita tidak boleh menganggap remeh terhadap peranan Rasul terhadap diri kita.
Masyhur dikisahkan oleh Syeikh Yusuf Al Nabhani, ada sesorang soleh yang sombong terhadap Nabi, karena dia berkata, Nabi itu hanyalah menjadi laluan hidayah, tetapi cahaya hidayah itu datang dari Allah. Kemudian ada orang yang marah mendengar ucapan itu, sehingga berkata, jadi engkau menafikan jasa Nabi Muhammad terhadap iman anda? Dia menjawab ya betul, tidak ada Nabi, cahaya hidayah datang dari Allah. Ini menunjukkan orang ini walaupun soleh ahli ibadah, tetapi tidak belajar tasawuf, sehingga meremehkan jasa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasslam.
Seminggu setelah orang itu mengucapkan kata-kata itu, orang itu meninggal dalam keadaan kufur. Na’udzubillah min dzalik.

Tiga Bagian Ilmu Tauhid (Aqidah)

Habib Ali Al Habsyi menceritakan dalam fasal 3 ini tentang Sifat Wajib Rasul, sebagai bagian dari ilmu Aqidah. Ilmu Aqidah dibagi menjadi 3:
1. Tentang Ketuhanan (Ilahiyah)
2. Tentang Kenabian (Nubuwah)
3. Tentang perkara ghaib (Sam’iyah)
Ketiga perkara ini sangat penting dalam ilmu Aqidah. Kita pernah mendengar di negara kita ada orang mengaku Nabi, tapi ada saja orang yang percaya dan mengikutinya. Ini adalah karena orang itu tidak pernah mempelajari ilmu Tauhid. Jika Allah mengutus seorang Nabi, maka Nabi itu Wajib mempunyai 4 Sifat. Ulama Ahlussunnah wal Jamaah menetapkan ini berdasarkan Quran dan Hadits (dalil Naqli) dan juga dengan dalil Aqli (hukm akal), sebagaimana menyusun ilmu Tauhis tentang Sifat Wajib Allah yang 20. Kalau ada orang yang berkata, di zaman Nabi tidak ada pelajaran ilmu Tauhid seperti ini. Jawabannya adalah karena di zaman itu cara belajar ilmu Tauhid seperti yang kita pelajari sekarang belum diperlukan, karena para Shahabat belajar langsung dari Nabi. Sebagaimana tidak diperlukannya para Shahabat belajar ilmu Tajwid untuk belajar membaca Al Qur’an (lihat catatan Kharidatul Bahiyyah).
Allah mengutus Rasul untuk memberikan berita gembira (Mubasyir) bagi yang taat dan berita ancaman (Mundzir) bagi yang ingkar. Rasul bercerita tentang syurga dan juga tentang neraka.
Rasul adalah pilihan dan karunia Allah, tidak dapat diusahakan oleh manusia. Jadi tidak dapat seseorang berikhtiyar untuk menjadi Rasul. Rasul adalah seorang laki-laki yang menerima wahyu dan menyampaikan kepada manusia dengan syariat yang baru, sedang Nabi adalah seorang laki-laki yang menerima wahyu dan menyampaikan kepada manusia. Nabi tidak membawa syariat baru melainkan meneruskan syariat dari Rasul sebelumnya.
Kecuali Nabi Yahya dan Nabi Isa, rata-rata Nabi dan Rasul diutus menjadi Rasul ketika berusia 40 tahun ke atas, karena di usia itu kekuatan akal dan fisik manusia sudah matang dan sempurna. Oleh sebab itu jika seseorang sudah berusia 40 tahun tetapi masih kurang sabar atau belum berkeinginan untuk melakukan ketaatan, akan susah untuk mengubahnya. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua.

Sifat Wajib bagi Rasul

Nabi dan Rasul, wajib mempunyai 4 Sifat yaitu
1. Fathanah yaitu kekuatan kecerdasan, pemahaman yang kuat dan kemampuan untuk menghadapi manusia untuk berhujah. Mustahil Nabi dan Rasul itu bodoh (baladah). Contoh ketika Nabi Ibrahim berhujjah menghadapi Raja Namrud yang membuat Namrud terdiam, yang diceritakan dalam Quran Surat Al Baqarah 258:

لَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِى حَآجَّ إِبْرَٰهِۦمَ فِى رَبِّهِۦٓ أَنْ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ٱلْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّىَ ٱلَّذِى يُحْىِۦ وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا۠ أُحْىِۦ وَأُمِيتُ ۖ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَأْتِى بِٱلشَّمْسِ مِنَ ٱلْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ ٱلْمَغْرِبِ فَبُهِتَ ٱلَّذِى كَفَرَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

2. Shiddiq, artinya jujur. Maksudnya semua perbuatan dan kata-kata Nabi dan Rasul selalu benar dan sesuai dengan kenyataan. Mustahil Nabi dan Rasul itu berdusta (kidzib). Seseorang yang berdusta adalah karena menganggap lawan bicaranya tidak mengerti kenyataan sebenarnya. Maka dia berusaha menipu manusia.

3. Amanah, artinya bertanggung jawab selalu melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawabnya sehingga selalu dipercaya. Mustahil Nabi dan Rasul itu berkhianat. Seorang Nabi dan Rasul itu tidak akan dipercaya oleh manusia jika berkhianat. Bahkan sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul, orang kafir Quraisy percaya penuh kepada Nabi, karena Nabi tidak pernah berdusta dan berkhianat sepanjang hidupnya.

4. Tabligh, artinya menyampaikan. Rasul dan Nabi selalu menyampaikan apa yang diwahyukan kepada mereka. Mustahil Nabi dan Rasul menyembunyikan wahyu dari Allah (kitman).

Kisah Abu Sufyan bertemu dengan Raja Romawi Heraklius

Dikisahkan ketika Abu Sufyan sebelum masuk Islam bermusafir bersama rombongannya ke Syam. Ketika itu Raja Romawi yang berkuasa di sana bernama Heraklius. Raja mengundang mereka ke majelisnya dengan didampingi pembesar Romawi lainnya. Lalu ia memanggil juru bahasanya dan bertanya.

Raja Romawi:  “Siapa di antara kalian yang paling dekat nasabnya dengan orang yang mengaku Nabi itu?”

Abu Sufyan: “Aku yang paling dekat nasabnya di antara mereka.”

Raja Romawi kemudian berkata,  dekatkan dia dariku, juga sahabat-sahabatnya, dan berdirikan mereka di belakangnya.” Kemudian, dia berkata kepada juru bahasanya, “Aku akan menanyakan orang ini tentang yang mengaku Nabi itu. Jika ia membohongiku, dustakanlah orang ini oleh kalian. “Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, kalaulah tidak karena takut menanggung malu jika ketahuan bohong, pasti aku berdusta tentang Nabi.”

Raja Romawi: “Pertanyaanku yang pertama, tentangnya adalah, Bagaimanakah nasab keturunannya menurut kalian?”

Abu Sofyan: “Dalam masyarakat kami, dia memiliki nasab yang baik”

Raja Romawi: “Apakah salah seorang di antara kalian ada yang pernah mengaku sebagai nabi sebelumnya?”

Abu Sufyan: “Tidak”

Raja Romawi: “Apakah ada di antara kakek-kakeknya yang menjadi raja?”

Abu Sufyan: “Tidak”

Raja Romawi: “Ia diikuti pemuka-pemuka masyarakat atau orang-orang lemah?”

Abu Sufyan: “Diikuti orang lemah”

Raja Romawi: “Mereka semakin bertambah atau berkurang?”

Abu Sufyan: “Semakin bertambah”

Raja Romawi: “Apakah ada seorang di antara mereka yang murtad karena benci kepada agamanya setelah ia memeluknya?”

Abu Sufyan: “Tidak”

Raja Romawi: “Pernahkan kalian menyangkanya berbohong sebelum dia mengaku Nabi?”

Abu Sufyan: “Belum”

Raja Romawi: “Pernahkah dia berkhianat?”

Abu Sufyan: “Belum pernah walau sekalipun, setidaknya untuk saat ini, kami tidak tahu apa yang ia perbuat.”

Raja Romawi: “Tidak bisa aku memeriksanya lebih jauh lagi kecuali dengan pertanyaan itu tadi. Apakah kalian memeranginya?”

Abu Sufyan: “Ya”

Raja Romawi: “Bagaimana peperangan antara kalian dengannya?”

Abu Sufyan: “Peperangan antara kami seimbang, kadang dia yang menang, kadang kami juga yang menang.”

Raja Romawi: “Apa yang dia perintahkan kepada kalian?

Abu Sufyan: “Sembahlah Allah semata, janganlah kalian mempersekutukanNya dengan sesuatu pun, tinggalkan apa yang dikatakan oleh leluhur kalian. Ia memerintah kami melakukan shalat, berkata jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung silaturahim.”

Kemudian, kepada penerjemahnya, Raja Romawi berkata, “Katakan kepadanya, aku tanyakan kepadamu tentang nasab keturunannya, lalu kau sebutkan bahwa ia mempunyai nasab yang jelas, begitulah memang para rasul diutus (dari keluarga) yang mempunyai nasab luhur di antara kaumnya.

Aku tanyakan padamu apakah ada seorang dari kalian yang menyerukan kepada hal ini sebelumnya, kamu jawab belum pernah, kataku, “Bila ada orang yang pernah menyeru kepada hal ini sebelumnya, niscaya aku berkata, ia cuma mengikuti perkataan yang pernah diucapkan sebelumnya.”

AKu tanyakan apakah kakek-kakeknya ada yang pernah menjadi raja, kau jawab tidak ada. Kataku,”Bila ada di antara kakek-kakeknya yang pernah menjadi raja, pasti aku katakan, ia hanya ingin mengembalikan kekuasaan leluhurnya.”

Aku tanyakan, apakah kalian pernah menuduhnya berdusta sebelum ia mengaku Nabi, kau jawab belum pernah. Aku tahu, tidakah mungkin ia meninggalkan perkataan dusta kepada manusia kemudian dia berani berbohong kepada Allah.

Aku tanyakan, pemuka-pemuka masyarakat yang menjadi pengikutnya ataukah orang-orang lemah di antara mereka, kau jawab orang lemah yang menjadi pengikutnya. Aku tahu, memang orang-orang lemahlah pengikut para Rasul.

Aku tanyakan, apakah mereka bertambah atau berkurang, kau jawab mereka selalu bertambah. Begitulah halnya perkara Iman sampai ia sempurna.

Aku tanyakan, apakah ada orang yang murtad karena benci agamanya setelah ia memeluknya, kau jawab tidak ada. Begitulah halnya perkara iman ketika telah bercampur pesonanya dengan hati.

Aku tanyakan, apakah ia pernah berkhianat, kau jawab belum pernah. Begitulah para Rasul, tidak pernah berkhianat.

Aku tanyakan, apa yang ia perintahkan, kau jawab bahwa ia memerintahkan agar kalian menyembah Allah, tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu pun, melarang kalian menyembah berhala, memerintah kalian shalat, berkata benar, dan menjaga kehormatan.

Jika yang telah kau katakan adalah benar, maka ia akan dapat memiliki tempat kedua kakiku berdiri ini. Aku tahu bahwa ia akan diutus. Aku tidak menyangka ternyata dia dari bangsa kalian. Jika saja aku dapat memastikan bahwa aku akan bertemu dengannya, niscaya aku memilih bertemu dengannya. Jika aku ada di sisinya, pasti aku cuci kedua kakinya (Sebagai bentuk penghormatan).

Kemudian, Raja Heraclius meminta diambilkan surat dari Nabi Muhammad itu lalu dibacanya. Setelah selesai dari membaca surat, ramailah suara-suara di sampingnya dan semakin gaduh. Abu Sufyan pun diperintahkan untuk keluar.

Abu Sufyan kemudian berkata, “Aku katakan kepada sahabat-sahabatku ketika kami keluar, Sungguh masalah anak Abi Kabsyah (Muhammad) ini semakin runyam, sungguh ia ditakuti raja orang kulit kuning. Maka aku senantiasa selalu meyakini perkara Rasulullah bahwa ia akan meraih kejayaan hingga akhirnya Allah memasukanku ke dalam agama Islam.”

Namun kemudian Raja Romawi tidak juga memeluk Islam. Begitulah pentingnya hidayah Allah dan agar kita selalu berdoa:

اللهم ارنا الحق حقاً وارزقنا اتباعه وارنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه

Ya Allah, tunjukkan kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan rezekikan kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkan kami kebatilan sebagai kebatilan dan rezekikan kami untuk menjauhinyan


Wallahu a’lam


0 Kommentare

Schreibe einen Kommentar

Deine E-Mail-Adresse wird nicht veröffentlicht. Erforderliche Felder sind mit * markiert.

de_DEGerman