Setelah kita membahas 2 perkara yang berkenaan dengan usul kufur dan bid’ah, kita melanjutkan dengan jenis berikutnya yaitu:

3. Taqlīd Radī’ (taqlid yang buruk)

Yaitu keyakinan seseorang dengan taqlid (mengikuti) orang lain dengan tujuan mendapatkan perlindungan atau juga perasaan taksub tanpa belajar ilmu untuk mencari kebenaran. Orang ini taqlid buta mengikuti seseorang dalam keyakinan atau aqidah, tanpa mempedulikan dan mempelajari ilmu aqidah yang benar, sehingga keyakinannya rapuh, sangat mudah goyah dan ragu ketika menghadapi ujian atau mendengar perkataan orang yang meragukannya. Biasanya golongan ini mengikuti orang yang dekat dan dikenalnya. Orang yang diikuti mungkin orang tuanya atau orang yang dicintainya.
Menurut Ulama Ahlussunnah wal Jamaah, Iman kita kepada Allah tidak boleh diyakini secara taqlid buta. Kita wajib mempelajari ilmu Aqidah secara benar dan tuntas, karena Iman adalah amalan hati yang diikat oleh akal, yang menuntut kita untuk berfikir. Belajar ilmu Aqidah adalah wajib agar iman kita mantap dan tidak mudah goyah atau ragu oleh tipuan atau finah dari keyakinan yang menympang.
Iman mesti kita yakini dengan ilmu dan dalil yang sahih dan kokoh, baik dalil Naqli maupun dalil Aqli. Dalil dalam ilmu Aqidah yang ijmali (garis besar) adalah lebih sedikit, lebih mudah dipelajari dan difahami oleh orang awam. Walaupun Ulama atau Kyai yang kita ikuti itu benar aqidahnya, kita tetap wajib mempelajari Ilmu Aqidah, sehingga ketika kita ditanya perkara yang asas, misalnya “apa bukti Allah itu ada dan Maha Esa?” kita dapat menjawab dengan dalil Naqli dan dalil Aqli. Tidak boleh kita hanya menjawab “karena orang tua, atau Ulama atau Kyai Fulan berkata begitu.”. Lebih berbahaya lagi jika yang diikutinya adalah orang yang sesat Aqidahnya.
Bagi orang yang berakal yang telah sampai dakwah yang sahih kepadanya, wajib baginya untuk mengikuti kebenaran. Tidak ada uzur (keringanan) dari adzab jika dia tetap dalam kesesatan karena mengikuti keyakinan orang lain yang sesat. Ini yang terjadi pada orang musyrik Qurasy yang telah mendengar dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, tetapi tetap meyakini agama orang tuanya atau nenek moyangnya, sebagaimana disebut dala firman Allah dalam QS Al Baqarah : 170

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَاۤؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْـًٔا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ ۝١٧٠

Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “Tidak. Kami tetap mengikuti kebiasaan yang kami dapati pada nenek moyang kami.” Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka (itu) tidak mengerti apa pun dan tidak mendapat petunjuk?

Menurut Ulama Ahlussunnah wal Jamaah, taqlid yang dibolehkan adalah dalam hal fiqih dan amalan fadhailul amal. Bahkan dalam Ilmu Fiqih kita wajib taqlid kepada Ulama. Karena amalan Fikih adalah amalan lahiriah yang tidak wajib kita ketahui dalilnya. Yang dituntut dalam Ilmu Fikih adalah ketaatan kita melaksanakan amalan lahiriah atas perintah Allah, sebagai ibadah kepadaNya.
Jika ditanya mengapa kita membaca Doa Qunut ketika sholat Shubuh? Kita boleh menjawab “Karena mengikuti Imam Asy-Syafei” – Imam Mazhab yang diikuti mayoritas muslim di Indonesia.
Mengapa kita wajib taqlid kepada Imam Mazhab? Karena dalil dalam ilmu Fiqih yang diambil dari Quran dan Sunnah adalah sangat banyak dan rumit, karena memerlukan ilmu alat yang banyak. Hanya Ulama Mujtahid Mutlak yang dapat mengistinbat hukum langsung dari Quran dan Sunnah. Mazhab dalam Ilmu Fikih yang ada hingga sekarang ini hanya ada 4 Imam Mazhab yang diakui oleh jumhur Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi), Imam Malik bin Anas (Mazhab Maliki), Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafei (mazhab Syafei) dan Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hambali)

4. Rabṭ ‘Ādī (mengikat hukum adat secara mutlak)

Yaitu keyakinan terhadap kepastian dalam hal yang terjadi atau yang tidak terjadi antara suatu perkara dengan perkara lain secara bersamaan sebagai sebab – akibat (hukum adat). Peristiwa ini dilihatnya berlaku secara berulang-ulang sehingga diyakininya tidak akan berubah atau tidak dapat dipatahkan. Keyakinan ini mirip dengan Syirik Asbab pada kajian Bab III.
Keyakinan ini menganggap bahwa hukum adat hubungan sebab-akibat yang terjadi berulang-ulang itu adalah mengikat mutlak. Contoh
– api pasti membakar kayu kering
– perputaran bumi dan peredaran matahari sebagai penyebab siang dan malam dan perhitungan hari adalah mutlak.
– jantung manusia berdetak lebih cepat ketika manusia berolah raga adalah pasti
– dan sebagainya.
Orang yang berkeyakinan sepert ini perhatiannya ada pada sebab akibat yang terjadi, tanpa mengkaitkan dengan Kekuasan dan Kebesaran Allah.

Adanya sebab akibat adalah tanda Kekuasaan dan Keagungan Allah

Bagi penganut Ahlussunnah wal Jamaah, adanya sebab akibat yang dilihat secara berulang-ulang adalah ketentuan Allah yang memperlihatkan Kekuasaan dan Keagungan Allah kepada orang yang berakal. Jika kita mengkaitkan kejadian ini kepada Allah maka kita akan melihat Keagungan Allah yang menciptakan alam dengan hukum ada yang luar biasa. Hal ini Allah sebutkan tentang penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang dalam QS Ali Imran : 190

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ ۝١٩٠

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,

Demikian juga tentang makhluk di bumi dan tentang diri manusia QS Adz Dzariyat 20 – 21

وَفِى الْاَرْضِ اٰيٰتٌ لِّلْمُوْقِنِيْنَۙ ۝٢٠

Di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin.

وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ ۝٢١

(Begitu juga ada tanda-tanda kebesaran-Nya) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?

Orang beriman yang melihat fenomena sebab dan akibat dengan menghubungkannya dengan tanda-tanda Kebesaran Allah, sudah melihat kehebatan alam ciptaan Allah ini, yang disaksikan setiap saat. Bukan hanya kagum dengan kehebatan peristiwa khawariqul ‘adah, seperti mu’jizat para Nabi dan karamah para wali. Dengan melihat tanda-tanda Keagungan Allah membuat orang beriman menjadi sangat bersyukur, bertambah rasa kehambaanNya, bertambah cintanya dan bertambah taqwa kepada Allah.
Berbeda dengan orang yang melihat fenomena sebab-akibat yang tidak menghubungkannya dengan tanda Kebesaran Allah. Mereka sering melihatnya sebagai hal biasa yang terjadi setiap hari, sehingga lupa bahwa ini semua adalah tanda Kebesaran Allah.

Bahaya keyakinan bid’ah orang yang mengikat hakikat hubungan sebab-akibat adalah hubungan mutlak yang tidak dapat dipatahkan oleh Kuasa Allah, adalah menjadikannya menolak mu’jizat Nabi dan Rasul, karena dianggapnya tidak masuk akal. Keyakinan seperti ini mengakibatkannya menjadi kufur, jika membuatnya menolak adanya Nabi dan Rasul.

5. Jahil Murakkab (kejahilan yang berlapis)

Yaitu kejahilan terhadap kebenaran serta jahil terhadap kejahilan terhadap kebenaran itu, Orang yang seperti ini adalah sangat berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain, karena dia tidak tahu bahwa dirinya itu bodoh. Sehingga tidak ada keinginan bagi dirinya untuk belajar untuk menghilangkan kebodohannya atau ketidak-tahuannya.Ini adalah penyakit yang dapat menjangkiti kepada orang lain. Kita berlindung kepada Allah dari menjadi orang yang demikian.
Seperti orang yang sedang sakit, tetapi tidak tahu bahwa dirinya sakit, sehingga dia tidak mau berobat. Akibatnya jika di bertemu dengan orang yang punya sakit yang sama, maka orang itu akan merasa sehat, dan menganggap orang lain yang berbeda dengannya adalah sakit. Padahal dirinya sendirilah yang sakit. Demikianlah jika orang bodoh yang tidak tahu bahwa dirinya bodoh, bahkan menganggao dirinya pintar dan mengajari orang lain yang bodoh juga, maka bertambahlah komunitas orang-orang bodoh seperti mereka. Mereka sangat sulit untuk diberitahu. Untuk orang seperti ini Allah telah menyebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 6 dan 7:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ ۝٦

Sesungguhnya orang-orang yang kufur itu sama saja bagi mereka, apakah engkau (Nabi Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman.

خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌࣖ ۝٧

Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Pada penglihatan mereka ada penutup, dan bagi mereka azab yang sangat berat.

6. Berpegang dalam aqidah melalui al-Qur’ān dan Sunnah secara tekstual tanpa memperhatikan antara perkara yang mustahil secara zahir dengan sebaliknya

Golongan ini memahami Aqidah Islam bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, namun sangat tertumpu pada makna tekstual, walaupun makna lahiriahnya sangat bertentangan dengan hukum akal.
Di dalam Al Qur’an Allah berfirman tentang adanya ayat Muhkamat dan ayat Mutasyabihat (ayat yang samar/syubhat maknanya) dalam QS Ali Imran ayat 7:

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُۘ وَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَاۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ ۝٧

Dialah (Allah) yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad). Di antara ayat-ayatnya ada yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan pada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan keraguan) dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal, tidak ada yang mengetahui takwilnya, kecuali Allah. Orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali ululalbab.

Ayat Muhkamat adalah yang jelas maknanya, mudah difahami dan tidak menimbulkan keraguan. Pokok-pokok ajaran Islam ada pada ayat Muhkamat ini. Ayat Mutasyabihat adalah ayat yang samar/syubhat maknanya, sukar untuk difahami dan menimbulkan keraguan karena makna zahirnya tidak sesuai dan tidak layak bagi Allah yang Maha Suci dari kekekurangan dan kelemahan.

Golongan ini termasuk orang Islam tetapi hatinya cenderung kepada kesesatan justru tertarik kepada membahas ayat Mutasyabihat ini sehingga menimbulkan fitnah di kalangan Umat Islam. Mereka begitu teguh memegang makna zahir dari ayat Mutayabihat dan membahasnya. Konon mereka tidak mau mentakwil sebagaimana yang dikatakan pada ayat 7 di atas. Tetapi pembahasan makna zahir yang syubhat/samar dari ayat Mutayabihat, bagaimanapun tetap syubhat dan samar maknanya. Dan justru menimbulkan fitnah yang berbahaya.
Mengapa Allah turunkan ayat Mutasyabihat? Ini adalah termasuk ujian dari Allah apakah kita termasuk orang yang cenderung kepada kesesatan ( زَيْغٌ) setelah mendapat hidayah atau tidak. Oleh sebab itu golongan ulil albab berdoa sebagaimana tertulis pada ayat 8

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةًۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ ۝٨

Mereka berdoa,) “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami berpaling setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami dan anugerahkanlah kepada kami rahmat dari hadirat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.

Dalam doa disebutkan bahwa mereka sangat takut dipalingkan hatinya dari kebenaran setelah Allah berikan hidayah (menjadi orang Islam).

Bahaya dari memahami makna zahir ayat Mutasyabihat adalah memungkinkan orang terkeliru memahaminya sehingga menyerupakan Allah dengan makhlukNya:
1. dengan mengatakan Allah memiliki anggota tubuh (jisim), yaitu

  • berbuat seperti makhluk yang bertubuh, misalnya punya tangan, punya wajah, duduk, bersemayam,
  • menempati suatu tempat, misalnya berada di atas, di langit, turun dari atas ke bawah dsb.

2. menjadi tidak beradab kepada Allah, yaitu mensifatkan Allah dengan sifat kelemahan atau sifat yang tidak layak bagi Allah, misalnya mengatakan Allah bersifat lupa, Allah bersifat menipu dsb.

Jike mereka masih mengatakan, Allah punya sifat jisim seperti yang disebut di atas, tetapi sifat jisim Allah ini tidak sama dengan sifat jisim manusia, mereka tidak kafir, tetapi telah berbuat bid’ah. Jika mereka mengatakan sifat jism Allah sama dengan sifat jism makhluk mereka telah kufur.

Ahlussunnah wal Jama’ah dalam memahami ayat Mutasyabihat dimulai dengan tanzih yaitu mensucikan Allah dari sifat jism dan dari sifat yang menyerupai makhluk yaitu sifat kekurangan dan kelemahan yang tidak layak ada pada Allah.

Ada 2 cara dalam Ahlussunnah wal jamaah memahami ayat Mutasyabihat:

A. Tafwidh, yakni tidak membahas maknanya sama sekali. Ini dilakukan oleh mayoritas ulama Salaf (Ulama yang hidup di 3 abad pertama Hijrah). Sebagian kecil Ulama Salaf melakukan Takwil. Karena itu, walaupun ada juga Ulama Salaf yang melakukan Takwil, cara Tafwidh ini disebut cara Salaf. Mereka yang mentafwidh mengatakan hanya Allah yang mengetahui takwilnya.

QS Ali Imran ayat 7 dibaca dengan berhenti pada

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ

……padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah.

Kemudian dibaca lanjutan ayat: 

وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا

Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. 

Melakukan Tafwid ada 3 point yaitu:

1. Membaca ayat mutasyabihat sebagaimana lafaz bahasa Arab-nya (bacaan Al Quran), meyakini bahwa ayat ini dari Allah, tetapi tidak memahami dan membahas makna zahirnya serta tidak pula memahami zahir terjemahannya.
2. Tanzih yaitu mensucikan Allah dari sifat yang tidak layak, sifat kekurangan/kelemahan dan sifat yang menyerupai makhluk.
3. Menyerahkan sepenuhnya tentang makna sebenarnya dari ayat Mutasyabihat itu kepada Allah semata, sebab hanya Allah Yang Maha Mengetahui maknanya

B. Takwil, yakni jika ingin membahas maknanya. Ini dilakukan oleh mayoritas ulama Khalaf (Ulama setelah 3 abad pertama Hijriyah). Sebagian kecil ulama Khalaf melakukan Tafwid. Itu sebabnya walaupun ada juga Ulama Khalaf yang melakukan Tafwid, cara ini disebut cara Khalaf. Mereka yang mentakwil mengatakan hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya.

QS Ali Imran ayat 7 dibaca dengan berhenti pada

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ ۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ

padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.

Kemudian dibaca lanjutan ayat:

يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا

(Mereka) berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.

Mengapa Ulama Khalaf banyak melakukan Takwil?

Islam telah berkembang di wilayah non Arab yang mempunyai terpengaruh budaya dan agama di luar Islam. Di zaman itu karena pengaruh budaya dan agama di luar Islam, mulai ada di kalangan umat Islam yang suka membahas Ayat Mutasyabihat, sehingga menimbulkan fitnah sebagaimana yang disebut dalam QS Ali Imran ayat 7 di atas. Maka para Ulama Khalaf memberikan solusi dengan mentakwil yakni mengalihkan dari membahas ayat Mutasyabihat kembali kepada membahas ayat Muhkamat, agar umat Islam terhindar dari fitnah.

Melakukan Takwil ada 4 point yaitu:
1. Membaca ayat mutasyabihat sebagaimana lafaz bahasa Arab-nya (bacaan Al Quran), meyakini bahwa ayat ini dari Allah, tetapi tidak memahami dan membahas makna zahirnya serta tidak pula memahami zahir terjemahannya.
2. Meyakini bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk, Disini kita memulai dengan tanzih yaitu mensucikan Allah dari menyerupai makhluk. Dua point pertama dalam Tafwid dan Takwil adalah sama. Perbedaannya ada pada point berikutnya yaitu
3. Membahas maknanya dengan cara mengalihkan dari membahas ayat Mutasyabihat kepada membahas ayat Muhkamat yang pasti maknanya yang berkaitan dengan ayat Mutasyabihat itu. Apa alasan Ulama mengalihkan dari membahas ayat Mutasyabihat kepada membahas ayat Muhkamat? Ulama ingin membawa kita agar meninggalkan hal yang syubhat atau samar dan berpegang kepada yang jelas dan tidak meragukan, sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu alaihi wassalam yang menyebutkan:

عَنْ أَبِـيْ مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ، سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ وَرَيْحَانَتِهِ قَالَ : حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ :((دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ)). رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ، وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ

.Dari Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangannya Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Aku telah hafal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasâ`i. At-Tirmidzi berkata,“Hadits hasan shahîh]

Ayat Muhkamat adalah jelas maknanya, mudah difahami dan sudah pasti benar. Maka kalau kita katakan bahwa ayat Mutasyabihat itu sebagiannya dapat bermakna seperti yang disebut dalam ayat Muhkamat, makna ini tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah, sebab tertulis dalam ayat Muhkamat, yaitu pada ayat yang jelas maknanya. Dan pemahaman dari ayat Muhkamat ini adalah yang penting dan menjadi pokok agama Islam, sebagaimana disebut dalam QS Ali Imran ayat 7 di atas.

4. Walaupun ada keterangan dari ayat Muhkamat, Ulama tidak mengatakan bahwa ayat Mutasyabihat itu sepenuhnya sama persis artinya dengan ayat Muhkamat berkenaan, melainkan tetap menyerahkan makna sebenarnya kepada Allah semata, sebab hanya Allah Yang Maha Mengetahui maknanya yang sebenarnya.

Penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana memahami ayat Mutasyabihat dan contohnya dapat dibaca di tulisan ini.

Wallahu a’lam

Terjemah Kitab Al Muqaddimah


0 Kommentare

Schreibe einen Kommentar

Deine E-Mail-Adresse wird nicht veröffentlicht. Erforderliche Felder sind mit * markiert.

de_DEGerman