Makna Kufur dan Bid’ah
Di antara manfaat ilmu Kalam adalah dapat mengidentifikasi akar atau induk daripada segala kejahatan dan keburukan/durhaka kepada Allah yang menyebabkan seseorang itu tersesat dari jalan yang lurus, yaitu kufur dan bid’ah. Kufur adalah kejahatan/keburukan dan dosa yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Sedangkan bid’ah adalah kejahatan/keburukan karena durhaka kepada Allah yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Orang yang berbuat bid’ah dikatakan berdosa atau fasiq tetapi masih tetap diakui sebagai muslim. Ada banyak jenis kufur dan bid’ah. Ulama ilmu Kalam telah mendefinisikan akar atau induk dari kufur dan bid’ah kepada usul yang terdiri dari 7 jenis, yaitu
1. Ijab Dzati
Yaitu penyandaran penciptaan alam kepada Allāh sebagai suatu hubungan sebab-akibat atau tabi‘i tanpa dihubungkan dengan Kehendak Allah. Keyakinan ini menganggap bahwa makhluk (alam ini) ada bersama dengan adanya Allah, sebagai suatu hukum sebab akibat yang pasti tanpa adanya Kehendak dari Allah. Sebagai perumpamaan seperti bayangan yang mengikuti suatu benda tanpa adanya pilihan/keinginan dari benda itu. Keyakinan seperti ini terjadi pada golongan filsafat barat. Oleh sebab itu mereka meyakini bahwa alam semesta ini ada tanpa awal, sebagaimana Allah, dan tidak akan berakhir sebagaimana Allah. Maka mereka tidak percaya akan adanya hari Kiamat. Keyakinan seperti ini membuat seseorang berbuat kufur – yang telah keluar dari Islam. Karena Iman kepada Hari Akhir adalah termasuk dalam Rukun Iman. Perkara ini yang termasuk al-ma’lum minaddini bidharurah (perkara wajib yang diketahui umat Islam pada umumnya).
Ada juga sebagian umat Islam yang mempunyai keyakinan seperti ini yaitu mereka yang meyakini segala sesuatu terjadi dengan sendirinya dari limpahan barokah dari Allah, tanpa adanya Kehendak dari Allah. Orang Islam yang seperti ini tidak kufur, tetapi telah melakukan bid’ah, karena masih mempercayai perkara al-ma’lum minaddini bidharurah.
2. Tahsin Aqli
Yaitu keyakinan bahwa perbuatan Allāh dan segala hukum-Nya bergantung kepada suatu tujuan yang dapat difikirkan melalui akal manusia, iaitu mesti membawa kebaikan dan mesti menghalang dari keburukan.
Golongan yang mempunyai keyakinan demikian ini percaya bahwa Allah hanya berbuat sesuatu yang baik atau yang terbaik menurut akal mereka. Mereka beranggapan bahwa perbuatan Allah yang seperti inilah yang bijaksana. Jika tidak demikian maka Allah tidak bijaksana menurut mereka. Disinilah kekeliruan mereka, karena mereka telah menjadi seperti supervisor bagi Allah untuk menentukan baik dan buruk suatu perbuatan. Jadi mustahil Allah melakukan hal yang buruk apalagi yang terburuk menurut akal. Keyakinan seperti ini dari kalangan orang Islam ada pada golongan Mu’tazilah
Pembagian perkara baik dan buruk
Perkara baik dan buruk dibagi menjadi 3 bagian. Dua dari 3 bagian ini golongan Mu’tazilah dan Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat mempunyai pemahaman yang sama. Tetapi untuk bagian yang ketiga golongan Mu’tazilah dan Ahlussunnah wal Jama’ah berbeda pemahamannya.
1. Perkara baik dan buruk karena sesuai dan tidak seuai.
Perkara yang baik dan buruk yang diketahui tanpa bantuan petunjuk dari Nabi, karena prinsip sesuai atau tidak sesuai untuk yang bersangkutan. Seperti apakah seseorang itu suka buah-buahan atau tidak, seperti durian. Seseorang yang suka durian, maka makan durian adalah sesuai dan baik untuknya, Tetapi ada orang lain yang tidak suka dengan bau durian apalagi memakannya. Maka durian tidak sesuai dan tidak baik untuknya. Contoh lain adalah adanya penyakit. Bagi orang yang bekerja dalam bidang kesehatan, seperti dokter dan perawat, adanya penyakit adalah baik bagi mereka, karena menyebabkan mereka mempunyai pekerjaan. Tetapi bagi manusia pada umumnya sakit adalah buruk, karena menjadikannya sakit yang menghalanginya melakukan kegiatan atau terpaksa mengeluarkan biaya untuk mengobati penyakitnya. Perkara ini dapat difahami dengan akal, tanpa perlu petunjuk dari Nabi.
2. Perkara baik dan buruk karena kekurangan dan kesempurnaan manfaat
Perkara yang baik dan buruk yang diketahui tanpa bantuan petunjuk dari Nabi, karena alasan kekurangan atau kesempurnaan manfaat bagi yang bersangkutan. Contoh tulang yang padat adalah baik untuk manusia, karena tulang yang padat diperlukan untuk menopang anggota tubuh agar kuat. Tulang yang keropos pada manusia adalah buruk, karena membuatnya mudah patah. Sebaliknya tulang yang ber-rongga atau keropos adalah baik untuk burung, agar burung menjadi ringan karena untuk dapat terbang. Tulang yang padat dan berat adalah buruk bagi burung karena akan menyusahkan burung untuk terbang. Perkara ini dapat diketahui oleh akal tanpa bantuan Nabi.
3. Perkara baik dan buruk karena pahala dan dosa
Perbedaan perkara baik dan buruk yang berbeda pemahamannya antara golongan Mu’tazilah dan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah yang berdasarkan apakah hal itu berpahala atau berdosa. Bagi golongan Mu’tazilah perbuatan yang berpahala atau yang berdosa dapat diketahui melalui akal, tanpa perlu adanya petunjuk dari Nabi dan Rasul. Perbuatan yang baik menurut akal sudah pasti Allah akan memberikan pahala baginya, sedang perbuatan buruk sudah pasti berdosa. Seseorang yang banyak berbuat baik Allah wajib memasukannya ke syurga. Sebaliknya orang yang banyak dosa, Allah wajib memasukkannya ke dalam neraka. Mereka menganggap adanya Nabi dan Rasul adalah hanya mempermudah akal manusia untuk mengetahui dosa dan pahala. Golongan Mu’tazilah termasuk telah berbuat bid’ah, tetapi masih digolongkan sebagai muslim, karena masih mengimani perkara al ma’lumi minaddini bidhorurah.
Bagi Ahlussunnah wal Jama’ah perkara dosa dan pahala mesti mendapat petunjuk dari Nabi dan Rasul yang mendapatkannya melalui wahyu dari Allah. Tanpa petunjuk dari Nabi dan Rasul atau wahyu dari Allah, manusia tidak dapat mengetahui perbuatan yang baik dan berpahala dan yang buruk dan berdosa. Tetapi dalam penentuan seseorang masuk syurga adalah karena rahmat Allah.
Kisah Imam Abul Hasan Al Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan menguatkan Ahlussunnah wal Jama’ah
Ada 2 golongan Mu’tazilah yaitu golongan pertama yang berkeyakinan bahwa Allah pasti melakukan yang baik, dan golongan kedua adalah yang berkeyakinan bahwa Allah pasti melakukan yang terbaik menurut akal manusia.
Dikisahkan Imam Abul Hasan Al Asy’ari berdialog dengan Abu Ali Al Juba’i, ayah tirinya yang juga Ulama Mu’tazilah. Imam Abul Hasan Al Asy’ari bertanya
“Ada tiga bersaudara A, B dan C. A adalah orang kafir yang meninggal dunia ketika sudah tua dan karenanya masuk neraka. B adalah orang soleh dan meninggal ketika sudah tua dan karenanya masuk syurga. Sedang C adalah adik yang terkecil meninggal ketika masih kecil, sehingga tidak berada di syurga dan tidak pula di neraka. Bagaimana pendapat ayah jika C bertanya kepada Allah, mengapa saya tidak dibiarkan jadi soleh dan mati tua seperti kakak saya B, sehingga saya mendapatkan terpat yang lebih baik yaitu masuk syurga?”
Ayah tirinya menjawab: “Jawabannya mudah anakku, karena Allah tahu jika C dibiarkan tua, dia akan menjadi kafir dan mati masuk neraka, maka lebih baik C mati ketika masih kecil, sehingga tidak di syurga dan tidak juga di neraka. Ini masih lebih baik dari jika C masuk ke neraka.”
Kemudian Imam Asy’ari bertanya lagi: “Bagaimana jika A bertanya kepada Allah, mengapa saya tidak dimatikan saja ketika saya masih kecil seperti adikku C, sehingga saya tidak masuk neraka”
Maka terdiamlah Abu Ali Al Jubai. Inilah titik balik yang membuat Imam Abul Hasan Al Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan menjadi Imam yang menguatkan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Golongan yang menganggap Nabi dan Rasul justru menyusahkan
Dari golongan yang memandang baik dan buruk dapat diketahui dengan akal dari golongan yang kufur, yaitu Barohimah. Mereka mengatakan Nabi dan Rasul tidak diperlukan, bahkan hanya membuat hidup menjadi susah, karena adanya pertentangan atau peperangan antara golongan disebabkan oleh adanya Nabi dan Rasul. Oleh karena itu mereka katakan mustahil Allah mengutus Nabi dan Rasul.
Memang dalam sejarah Nabi dan Rasul selalu ada perjuangan dakwah dan menegakkan kebenaran. Perjuangan ini mengakibatkan pertentangan, siksaan bagi pengikut Nabi dan peperangan. Semua ini tentu menyusahkan manusia. Akhirnya mereka memilih hidup dengan membuat peraturan yang menurut akal mereka baik, yaitu hidup yang tidak ada perjuangan yang menimbulkan pertentangan. Bahkan mereka tidak makan daging, karena memakan daging mesti menyembelih/membunuh hewan yang tidak bersalah.
Wallahu a’lam
0 Kommentare