Teori tentang kekuatan makhluk
1. Alam dan kekuatan sebab-akibat terjadi sendiri. Faham ini mengingkari adanya Tuhan Maha Pencipta.
٢٦] ومن يقل بالطبع أو بالعلة – فذاك كفر عند أهل الملة]
[26] Siapa yang berpegang bahwa alam adalah mutlak yang memberi bekas pada sebab akibat (tidak ada Penciptanya), adalah kafir menurut keyakinan ahli Islam.
Dalam baris ke 26 ini Imam Ahmad Ad-Dardir menceritakan tentang pegangan orang yang mengatakan bahwa alam ini mutlak mempunyai kekuatan yang memberi bekas pada perbuatannya. Mereka tidak percaya adanya Tuhan Yang Menciptakan alam semesta ini. Menurut Ilmu Tauhid, orang yang seperti ini disebut kafir.
2. Allah menciptakan makhluk dan kekuatan sebab-akibat, kemudian membiarkannya.
٢٧] ومن يقل بالقوة المودعة – فذاك بدعي فلا تلتفت]
[27] Siapa yang meyakini makhluk mutlak mempunyai kekuatannya sendiri, maka pegangan ini adalah bid’ah, maka tolaklah (keyakinan itu)!
Dalam baris 27 ini, Imam Ad-Dardir menggambarkan orang yang berkeyakinan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Namun setelah Allah menciptakannya, kemudian Allah membiarkan alam semesta berjalan sendiri. Sehingga orang yang berfahaman seperti ini berkeyakinan, bahwa alam ini dengan kekuatannya sendiri dapat mutlak menciptakan perbuatannya tanpa campur tangan Allah. Fahaman seperti ini disebut faham Mu’tazilah. Ulama Ahlusunnah wal jamaah tetap mengakui mereka sebagai muslim, tetapi mereka melakukan bid’ah dalam keyakinan, karena mereka terlalu mendahulukan akal dari wahyu, atau mereka terlalu menggunakan akal dengan tidak dipandu oleh wahyu.
Mereka berkeyakinan mustahil Allah menciptakan perkara yang buruk pada makhluk (buruk menurut mereka). Artinya jika ada kejadian yang menurut mereka buruk, itu terjadi di luar Kuasa dan Kehendak Allah. Ini adalah keyakinan yang keliru. Menurut Ahlussunnah wal jamaah, seluruh kejadian yang baik dan yang buruk adalah dari Kuasa dan Kehendak Allah semata. Inilah Rukun Iman yang ke 6 yaitu Iman kepada Takdir Allah yang baik dan yang buruknya. Kalau orang berkeyakinan bahwa ada perkara buruk yang terjadi yang di luar dari Kehendak dan Kuasa Allah, maka ada kehendak dan kuasa dari selain Allah yang melakukannya. Ini adalah perkara yang Mustahil. Kita mesti menolak keyakinan seperti faham Mu`tazilah ini.
3. Keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah. Allah menciptakan makhluk dan kekuatan sebab-akibat. Apapun yang terjadi adalah karena Kuasa dan Kehendak Allah.
Ahlussunnah wal Jamaah berkeyakinan bahwa Allah menciptakan alam ini dan kekuatannya. Kemudian Allah seterusnya Berkuasa dan Berkehendak sepenuhnya atas apa yang terjadi pada makhlukNya. Allah menciptakan makhluk dan kekuatannya dengan sebab akibat yang teratur pada kebiasaannya, sehingga manusia dapat belajar, bekerja dan memperlakukan alam ini sesuai dengan pengalaman dan pengamatan manusia terhadap alam. Inilah yang kemudian disebut hukum adat (kebiasaan), sebagai rahmat Allah yang menjadikan alam ini fasilitas bagi manusia untuk dapat berikhtiyar sebagai khalifah di muka bumi. Walaupun kejadian alam ini teratur dengan hukum adatnya, namun Ahlussunnah wal Jamaah tetap berkeyakinan bahwa hanya Allah yang memberi bekas terhadap segala kejadian alam itu, bukan alam itu sendiri.
Misalnya ketika kita lapar, umumnya kita mesti makan untuk menjadi kenyang. Kemudian kita makan dan kenyang. Maka kita mesti berkeyakinan bahwa Allah yang mutlak menjadikan kita kenyang. Makanan dan proses memakan hanyalah sebab yang Allah ciptakan untuk seseorang menjadi kenyang.
Dalam hukum yang diwahyukan disunnahkan untuk kita mengatakan insya Allah untuk sesuatu yang kita rencanakan, dengan niat kita akan melaksanakannya. Karena kita yakin bahwa segala sesuatu itu terjadi atau tidak terjadi hanyalah atas Kuasa dan Kehendak Allah.
Atas Kehendak dan Kuasa Allah itu mungkin saja Allah mengubah hukum sebab-akibat pada hukum adat (kebiasaan) menjadi sesuatu yang berbeda dari kebiasaan, yaitu kejadian yang di luar kebiasaan atau disebut dengan istilah khawariqul ‘adat, yang telah kita bahas pada tulisan ini.
Teori tentang terjadinya makhluk
Allah adalah Maha Pencipta, mustahil Allah tidak mempunyai Sifat Salbiyah
٢٨] لو لم يكن متصفا بها لزم – حدوثه وهو محال فاستقم]
[28] Jika sifat ini tidak ada padaNya (Allah), maka Dia diciptakan, dan ini adalah mustahil, maka tetaplah pada jalan yang lurus!
Jika Allah tidak mempunyai Sifat Salbiyah yang sidah dijelaskan maka Allah adalah baharu atau diciptakan, dan ini adalah mustahil. Imam Ad-Dardir menegaskan sekali lagi akan Wajibnya Sifat Salbiyah pada Allah.
٢٩] لأنه يفضي إلى التسلسل – والدور وهو المستحيل المنجلي]
[29] Hal yang demikian itu akan membawa pada tasalsul atau daur. Dan ini adalah mustahil
3 teori terjadinya makhluk (lihat ilustrasi di bawah:
1. Tasalsul yaitu pemahaman bahwa adanya A disebabkan oleh B, B oleh C, C oleh D dan seterusnya sampai tak terhingga. Ini adalah mustahil.
2. Daur yaitu pemahaman bahwa adanya A disebabkan oleh B, B oleh C, C oleh D dan seterusnya hingga kembali disebabkan oleh A. Ini juga mustahil.
Kedua teori ini adalah mustahil.
3. Adanya Dzat yang tidak ada permulaan, Yang Maha Pencipta (Khaliq) yang menciptakan makhluk. Secara hukum akal inilah satu-satunya teori yang diterima bahwa pasti ada Dzat yang wajib WujudNya, tanpa ada permulaan. Itulah Dia Allah Yang Maha Pencipta, Dialah satu-satunya Pencipta yang mutlak memberi bekas pada seluruh makhlukNya. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Sifat Salbiyah (bagian 1) dan (bagian 2).
Maha Suci Allah dari sifat jisim (jasmani, benda)
٣٠] فهو الجليل والجميل والولي – والطاهر القدوس والرب العلي]
[30] Dialah Tuhan Yang Maha Agung, Maha Indah, Maha Membela, Maha Suci, Maha Qudus, Tuhan Yang Maha Tinggi
٣١] منزه عن الحلول والجهة – والاتصال الانفصال والسفه]
[31] Maha Suci Allah dari bersatu dengan makhluk, mempunyai arah, menyentuh dan berpisah serta bersifat yang tidak layak bagiNya
Allah adalah Dzat yang Maha Agung dengan segala Sifat KesempurnaanNya. Maha Suci Allah dari segala sifat kelemahan. Imam Ad-Dardir menegaskan sekali lagi disini, bahwa Allah bukanlah Dzat yang berjisim. Jisim adalah makhluk benda yang menempati ruang. Ini adalah sifat makhluk. Maha Suci Allah dari disifatkan sebagai jisim. Dikatakan dalam baris 31 di atas tentang 3 keadaan jisim (makhluk) terhadap jisim (makhluk) yang lain (lihat ilustrasi di bawah).
- Suatu dzat dapat bersatu atau bercampur yang dengan dzat lain adalah jika 2 dzat itu sama-sama jisim (makhluk). Ini Mustahil karena Allah adalah Maha Esa yang berbeda dengan makhlukNya. Maha Suci Allah dari bersatu dan bercampur dengan makhlukNya.
- Dzat yang berada pada suatu arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan dan belakang) dari diri kita adalah dzat yang berjisim yang menempati ruang pada suatu lokasi. Dan ini Mustahil pada Dzat Allah, karena Dzat Allah tidak menempat ruang dan tidak berada di suatu lokasi. Maha Suci Allah berada pada arah tertentu dari makhlukNya
- Dzat yang bersentuhan atau terpisah dengan dzat yang lain adalah jika ada dzat lain yang dibandingkan. Ini hanya terjadi pada sesama jisim atau pada sesama makhluk. Maka inipun mustahil pada Dzat Allah, karena Allah bukan jisim. Allah berbeda sama sekali dari makhluk/jisim (benda). Maha Suci Allah dari bersentuhan dan terpisah dengan makhlukNya.
Ketika alam ini belum diciptakan, hanya Allah yang Wujud, tanpa ruang tanpa waktu, yang dalam istilah ilmu Tauhid disebut zaman Azali. Ketika makhluk tidak ada tentulah Allah
– tidak bercampur atau bersatu dengan makhlukNya,
– tidak berada di arah tertentu dari makhlukNya,
– tidak menyentuh dan tidak terpisah dari makhlukNya.
Maka ketika alam kemudian diciptakan oleh Allah, keadaan Allah tidak berubah sebagaimana sebelum alam diciptakan. Alam yang diciptakan ini tidak mempengaruhi apapun terhadap Allah.
Perkara ini ditegaskan lagi oleh Imam Ad-Dardir secara terperinci agar kita terbebas dari pemikiran Allah itu berjisim, karena ada sekelompok orang yang berfahaman Allah itu berjisim, maka faham seperti ini disebut faham Mujassimah, yaitu yang meyakini Allah itu punya jisim. Sehingga ketika membaca ayat-ayat Mutasyabihat (yang samar maknanya), yang menyebutkan seolah-olah Allah ada di suatu tempat, mereka memahaminya dengan makna zahir yang bermakna jisim. Seperti mereka katakan Allah berada di atas, atau Allah bersemayam di atas Arasy secara makna zahirnya. Ini adalah pemahaman keliru yang berbahaya.
Dengan memahami bahwa Allah bukan jisim yang menempati ruang, maka jika ada dalam ayat Quran yang secara makna zahirnya bermakna jisim atau ruang atau arah, maka kita tidak memahami dengan makna zahir dari ayat Quran tersebut. Ayat yang seperti ini disebut dengan ayat Mutasyabihat atau ayat yang samar maknanya.
Maka jika dikatakan Allah adalah dekat, sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِى وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِى لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ
Artinya: “Dan apabila bamba-bamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 186)
Bukanlah bermakna Dzat Allah itu dekat secara makna zahir, tetapi dapat bermakna Allah Maha Mendengar doa kita. Kita memahami “Allah adalah dekat” secara maknawiyah bukan dengan makna zahir yang syubhat karena mensifatkan Allah dengan berjisim. Selanjutnya Ulama Ahlussunnah wal Jamaah telah memberikan panduan bagaimana kita memahami ayat Mutasyabihat.
Wallahu a’lam
0 Komentar