Kharidatul Bahiyyah (Baris 9-16) 

٩] أقسام حكم العقل لا محالة – هي الوجوب ثم الاستحالة ]

[9] Akal membagi hukum secara pasti, terbagi menjadi wajib kemudian mustahil 

١٠ ] ثم الجواز ثالث الأقسام – فافهم منحت لذة الأفهام ]

[10] kemudian yang ketiga adalah mungkin (jaiz). Fahamilah ini, engkau akan merasakan lezatnya memahami

١١ ] وواجب شرعا على المكلف – معرفة الله العلي فاعرف ]

[11] Setiap Mukallaf disyariatkan, untuk mengenal Allah, maka kenalilah Allah

١٢ ] أي يعرف الواجب والمحالا- مع جائز في حقه تعالى ]

[12] Yaitu untuk mengenal perkara yang Wajib, Mustahil dan Jaiz bagi Allah 

١٣ ] ومثل ذا في حق رسل الله – عليهم تحية الإله ]

[13] Demikian juga bagi utusan Allah, kepada mereka Allah melimpahkan kemuliaan

١٤ ] فالواجب العقلي ما لم يقبل – الانتفا في ذاته فابتهل ]

[14] Perkara wajib adalah perkara yang akal tidak menerima ketiadaannya, maka bermunajatlah kepada Allah (untuk memahaminya)

١٥ ] والمستحيل كل ما لم يقبل- في ذاته الثبوت ضد الأول ]

[15] Perkara mustahil adalah perkara yang akal tidak menerima keberadaannya, lawan dari perkara yang disebut pertama (wajib) 

١٦ ] وكل أمر قابل للا نتفا – وللثبوت جائز بلا خفا ]

[16] Dan perkara yang mungkin ada dan mungkin tidak ada (Jaiz), sebagaimana diketahui

Pentingnya mengetahui cara berfikir atau menggunakan akal yang benar (Baris 9 – 10)

Imam Ad-Dardir dan Ulama Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan kepada kita cara berfikir yang benar agar kita tidak keliru dalam berfikir. Berfikir adalah menggunakan akal untuk membuat suatu kesimpulan/keputusan. Untuk memahami lingkungan termasuk diri sendiri, kita mesti menggunakan akal kita. Demikian juga untuk memahami wahyu Allah kita perlu menggunakan akal. Oleh sebab itu penting bagi kita mengetahui cara menggunakan akal kita dengan benar. Ilmu berfkir sering disebut dengan ilmu Mantik atau ilmu logika.
Menggunakan akal dengan benar adalah hal yang penting untuk kita dapat memahami ilmu Aqidah. Salah satu syarat Mukallaf adalah berakal. Ini menunjukkan bahwa agama sangat mementingkan akal. Ada banyak ayat dalam Al Quran yang mempertanyakan mengapa engkau tidak berfikir? mengapa engkau tidak menggunakan akal? atau sejenisnya.
Imam Ad-Dardir menjelaskan pentingnya kita mengenal cara berfikir yang benar sebagai ilmu alat untuk memahami Aqidah dengan benar. Cara befikir yang benar juga sangat penting untuk memahami ilmu-ilmu yang lain, termasuk Tasawuf untuk berdakwah dan sebagainya.
Imam Ad-Dardir mengatakan, kalau kita memahami cara berfikir, kita akan merasakan lezatnya memahami ini, sebagaimana kita merasa lega dan gembira memahami suatu ilmu yang kita anggap susah selama ini. Karena ini ilmu yang berkaitan dengan keyakinan dan keimanan kita kepada Allah, kita akan lebih merasakan lezatnya dan gembiranya karena memahaminya.

Tiga sumber hukum

Akal manusia membuat kesimpulan bersumber dari 3 hukum, yaitu:
1. Hukum akal (hukum logika/rasional) yaitu hukum yang disimpulkan berdasarkan logika/rasional. Yaitu apakah suatu perkara itu Wajib, Mustahil atau Jaiz (mungkin)
2. Hukum adat (kebiasaan) yaitu hukum yang disimpulkan berdasarkan pengamatan dan pengalaman secara berulang-ulang
3. Hukum yang diwahyukan (syariat) yaitu hukum yang disimpulkan berdasarkan wahyu. Ini adalah sumber hukum yang diwajibkan oleh syariat untuk orang yang beriman.

Setiap Mukallaf disyariatkan untuk mengenal Allah dan RasulNya (Baris 11-12)

Dari hukum yang diwahyukan, seorang Mukallaf disyariatkan atau diwajibkan untuk mengenal Allah. Yang dimaksud mengenal Allah adalah bukan mengenal hakikat DzatNya, karena akal kita tidak akan mampu mengenal hakikat DzatNya. Yang disyariatkan untuk mengenal Allah dadalah dengan mengetahui perkara yang menjadi Wajib, Mustahil dan Jaiz terhadap Allah. Demikian juga kita wajib mengetahui perkara apa yang menjadi Wajib, Mustahil dan Jaiz terhadap para RasulNya. Kita wajib mengetahuinya dengan berdasarkan tiga sumber yang telah disebut di atas. Dengan pengetahuan ini (ilmu Aqidah) kita dibawa kepada ma’rifat atau mengenal Allah dan RasulNya.

Penjelasan tiga sumber hukum (Baris 13-16)

A. Hukum akal (logika/rasional)

Dengan hukum akal, manusia membuat kesimpulan atas sesuatu itu menjadi 3 yaitu:
1. Wajib: sesuatu yang akal tidak dapat menerima ketiadaannya. Akal hanya dapat menerima bahwa sesuatu itu pasti ada. Contoh:
– Alam ini ada, wajib (pasti) ada yang menciptakan.
– Alam ini pasti diciptakan oleh yang tidak diciptakan.
2. Mustahil: sesuatu yang akal tidak dapat menerima keberadaannya. Akal hanya menerima jika perkara itu tidak ada. Contoh:
– Mustahil alam ini ada (terjadi) dengan sendirinya.
– Mustahil suatu bentuk, sekaligus berbentuk segi tiga dan bulat.
3. Jaiz (mungkin): sesuatu yang akal dapat menerima keberadaanya dan juga menerima ketiadaannya. Contoh:
– Alam ini mungkin saja ada atau juga mungkin saja tidak ada.
– Suatu bentuk itu mungkin segitiga atau bulat.

Dari hukum akal ini lahirlah seperti ilmu matematika dan ilmu logika. Sesuatu kesimpulan/ keputusan yang wajib tentang suatu perkara, tidak akan berubah menjadi mustahil atau menjadi jaiz. Sesuatu kesimpulan/ keputusan yang mustahil tidak akan berubah menjadi wajib atau jaiz. Demikian juga sesuatu yang jaiz, tidak akan berubah menjadi wajib atau mustahil.
Kesimpulan yang berdasarkan hukum akal, disebut juga kesimpulan berdasarkan dalil Aqli.

B. Hukum adat (kebiasaan)

Hukum adat (kebiasaan) adalah hukum yang disimpulkan berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang berulang-ulang. Contoh:
– Api akan membakar kertas atau benda yang dapat terbakar lainnya
– Benda yang lebih besar berat jenisnya dari air akan tenggelam jika di taruh di air
– Anak mempunyai seorang ayah dan seorang ibu.

Dari hukum adat (kebiasaan) ini dibuatlah kaidah/rumus dalam ilmu pengetahuan alam, seperti fisika, kimia, biologie dan ilmu sosial dan sebagainya.

Berbeda dengan hukum akal, hukum adat ini dapat berubah menjadi kesimpulan lain jika ada penyebab yang di luar kebiasaan yang mengubahnya, sehingga disebut kejadian yang khawariqul adat (menyalahi dari kebiasaan). Contoh:
– Api yang biasanya akan membakar, menjadi tidak membakar Nabi Ibrahim alaihi salam ketika beliau dilempar ke kobaran api yang dibuat oleh raja Namrud
– Nabi Isa alaihi salam dijadikan Allah tanpa adanya ayah.
– Nabi Adam alaihi salam dijadikan Allah dari tanah tanpa adanya ayah dan ibu.

Disini sudah terlihat betapa pentingnya memahami cara berfikir dalam kita beriman kepada Allah. Ada orang yang tidak dapat membedakan antara hukum akal dan hukum adat, sehingga menganggap sesuatu kesimpulan yang dibuat karena hukum adat (kebiasaan) tidak dapat berubah sebagaimana hukum akal.

C. Hukum yang diwahyukan (syariat)

Hukum yang diwahyukan adalah hukum yang dibuat berdasarkan wahyu, yaitu dari Quran dan Hadits. Hukum yang diwahyukan ini berisi:
– Hukum syariat (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram)
– Keimanan (Tauhid)
– Kisah orang yang taat dan orang yang durhaka kepada Allah untuk dijadikan i’tibar
– Sesuatu yang akan terjadi
– Fenomena alam (hukum adat) agar direnungkan untuk menambah keimanan.
Dari hukum yang diwahyukan, lahirlah berbagai ilmu agama yang ditulis oleh para Ulama.
Hukum atau keputusan yang didasarkan oleh dalil yang diwahyukan, disebut juga keputusan yang dibuat berdasarkan dalil Naqli.

Mengapa kita perlu belajar cara berfikir yang benar?

Mengapa Ulama Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan ilmu Aqidah dengan mempelajari ilmu Mantiq sebagai ilmu alat cara berfikir yang benar? Sedangkan di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan para shahabat, Islam disampaikan tidak memakai ilmu alat ini? Jawabnya adalah karena belum diperlukan. Sebagaimana ketika para Shahabat belajar membaca Al Quran di zaman itu. Mereka tidak memulai dengan cara mempelajari ilmu Tajwid terlebih dahulu, karena belum diperlukan. Para Shahabat sudah membaca Al Quran dengan ilmu Tajwid yang benar dan kemudian ilmu itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan talaqi. Sehingga ada Ulama yang merasa perlu untuk menuliskan ilmu Tajwid agar lebih mudah mengajarkan cara membaca Quran dengan benar. Sehingga hari ini Al Quran ditulis dengan titik dan harakat bahkan dengan berbagai warna untuk memudahkan Umat Islam di akhir zaman ini dapat mudah belajar dan membacanya.
Demikian juga adanya ilmu cara berfikir oleh para Ulama suatu ketika perlu disusun agar mudah untuk memahamkan ilmu Aqidah. Ilmu cara berfikir ini dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wassalam agar mudah difahami.

Kurikulum ilmu asas yang dipelajari dalam pendidikan Islam di zaman dahulu

Syeikh Hamzah Yusuf menceritakan bahwa pada zaman dahulu, sistem pendidikan Islam mengajarkan 3 ilmu asas pada sejak anak-anak yaitu:
1. Ilmu Fardhu Ain agar anak-anak sejak kecil mengetahui ilmu yang mesti dimiliki oleh Mukallaf, sehingga dapat melaksanakan Fardhu Ain ketika mereka mulai baligh /dewasa (mukallaf).
2. Ilmu Mantiq (Logika), agar anak-anak belajar cara berfikir yang benar.
3. Ilmu Bahasa Arab (Nahu – Sharaf), agar anak-anak dapat memahami Al Qur’an
Setelah pelajaran asas ini dipelajari, anak-anak dibolehkan mendalami ilmu atau ketrampilan yang mereka minati. Baik dalam bidang agama maupun dalam bidang ilmu alam, kedokteran, ilmu kimia dan sebagainya. Ada juga yang berminat diberbagai bidang. Dengan ilmu dasar yang diajarkan anak-anak atau pelajar-pelajar menjadi lebih termotivasi untuk terus menuntut ilmu apa saja yang bermanfaat. Di zaman itulah lahir ilmuwan Islam yang memberi andil besar dalam membangun kejayaan Islam dan ilmu pengetahuan dunia.

Fenomena yang terjadi di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wassalam

Kisah Isra’ Mi’raj

Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wassalam diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan kemudian melakukan Mi’raj ke langit. Banyak orang tidak percaya, bahkan diceritakan beberapa Shahabat Nabi kemudian menjadi murtad. Tetapi Sayidina Abu Bakar langsung meyakini bahkan barkata kalau yang lebih dari itupun beliau akan percaya.
Apakah Sayidina Abu Bakar meyakini ini tanpa menggunakan akal? Ini adalah anggapan keliru. Justru ini menunjukkan kecerdasan Sayidina Abu Bakar. Berikut ini penjelasan dengan 3 sumber hukum di atas.
Hukum Adat:
Menurut hukum adat (kebiasaan) berjalan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha memerlukan waktu lebih kurang 2 bulan,
Sedang hukum adat atau kebiasaan dapat berubah sebagaimana dijelaskan di atas, jika Allah Yang Maha Kuasa berkehendak lain.
Hukum Akal:
Memperjalankan Nabi dalam waktu sebagian malam adalah Jaiz atau mungkin bagi Allah, bukan perkara yang wajib atau yang mustahil. Allah memperjalankan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam secara tempat/ ruang dan juga secara waktu. Mudah saja bagi Allah memperjalankan Nabi dengan ruh dan jasadnya, sebagaimana Nabi Ibrahim tidak terbakar dalam kobaran api buatan Raja Namrud. Alam ini ada dalam Kuasa dan Kehendak Allah, karena Allah yang menciptakan seluruh makhluk. Tempat/ ruang dan waktu adalah juga makhluk.
Hukum yang diwahyukan:
Berita Isra Mi’raj itu adalah berita yang diwahyukan yang sudah pasti kebenarannya karena diucapkan oleh Nabi yang bersifat Shiddiq, selalu berkata benar tidak pernah berdusta.

Orang yang tidak mempelajari 3 jenis hukum ini, dapat saja ragu tentang peristiwa Isra’ Mi’raj ini, apakah Rasulullah pergi dengan jasad atau ruhnya saja. Bagi kita yang sudah mempelajari ini, kita dapat mudah memahaminya.
Disini kita sudah melihat pentingnya mempelajari cara berfikir yang benar, tentang hukum akal, hukum adat dan hukum yang diwahyukan. Agar kita dapat membuat kesimpulan dengan tepat agar memahami kejadian yang Allah tetapkan.

Perang Khandaq / Ahzab

Ketika perang Khandaq, Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersama para shahabat dikepung oleh aliansi kaum kafir Quraisy. Ketika itu shahabat Salman Al Farisi mengusulkan untuk menggali parit yang besar agar musuh tidak dapat memasuki kota Madinah.
Ketika menggali parit, para shahabat menemukan batu yang keras yang tidak dapat mereka pecahkan.

Salman lalu pergi menghadap Rasulullah SAW. Dia minta izin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah pun ingin menngecek kebenarannya. Setelah menyaksikannya, beliau meminta sebuah tembilang dan menyuruh para sahabat mundur agar terhindar dari pecahan batu.

Rasulullah lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang sedang memegang erat tembilang itu. Dengan sekuat tenaga beliau menghujamkan tembilang ke batu besar tersebut. Batu itu terbelah dan dari celah belahannya keluar lambaian api yang tinggi menyilaukan,

“Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah,” kata Salman, sementara Rasulullah SAW mengucapkan takbir, sabdanya: “Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci istana dari negeri Persi dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah, begitupun kota kota maha raja Persi dan bahwa umatku akan menguasai semua itu”.

Lalu Rasulullah mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Hal yang sama terjadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi. Rasulullah kembali bertakbir, dan sabdanya: “Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana megahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya”.

Hukum Adat:
Waktu itu Umat Islam masih sedikit bahkan serba kekurangan secara lahiriahnya. Sehingga untuk menghadapi pasukan aliansi Qurasy pun terpaksa bertahan dengan membuat parit dan mencukupi keperluan logistik apa adanya. Bagaimana dapat bercita-cita menguasai Persia dan Romawi?
Hukum Akal:
Walaupun umat Islam yang ketika itu masih sedikit dan lemah secara lahiriah adalah Jaiz (mungkin) bagi Allah untuk menjadikan Umat Islam suatu saat mengalahkan Persia dan Roma suatu hari nanti. Dan itu sangat mudah bagi Allah.
Hukum yang diwahyukan:
Semua kata-kata Nabi adalah wahyu, sebagaimana disebut dalam Firman Allah di Surat An Najm ayat 3-4  

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ.إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ 

“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Alquran ) menurut keinginannya. Tidak lain (Alquran  itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” 

Jadi ketika para shahabat mendengar ucapan Rasulullah itu, tidak ada sedikitpun terfikir oleh mereka untuk tidak percaya akan ucapan Rasulullah itu bahwa umat Islam akan berjaya menguasai Persia yang Romawi yang ketika itu adalah 2 negara super power. Karena apa yang diucapkan Nabi adalah perkara yang diwahyukan pasti akan terjadi. Beliau selalu berkata benar dan tidak pernah berdusta. Nabi tidak menyebut waktunya kapan dapat mengalahkan Persia dan Romawi, tetapi ini adalah suatu kepastian di suatu hari nanti.
Disini sudah terlihat betapa penting memahami cara berfikir yang benar agar kita dapat memahami ilmu Aqidah.

Nasib Abu Lahab

Kita mengenal cerita tentang Abu Lahab yang menentang Nabi hingga akhir hayatnya. Dan kita tahu bahwa Abu Lahab akan masuk neraka. Pertanyaan: dari mana kita mengetahui kesimpulan itu?
Hukum Akal:
Menurut hukum akal adalah Jaiz (mungkin) bagi Allah untuk mengampuni Abu Lahab dan memasukannya ke dalam syurga. Itu sebabnya Rasulullah tetap diperintah untuk berdakwah kepada Abu Lahab. Selama hidupnya ada pilihan baginya untuk mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wassalam atau menentangnya.
Nasib Abu Lahab di akhirat adalah tetap ada dalam Kuasa dan Kehendak Allah untuk Allah mengampuni atau menghukumnya.
Hukum Adat:
Kita tidak dapat membuat kesimpulan apapun tentang nasib Abu Lahab di akhirat, karena panca indra kita tidak dapat melihat/mendengar peristiwa di akhirat. Kita hanya mengetahui melalui berita yang diwahyukan. Akhirat bukanlah peristiwa empirik yang bisa diamati oleh panca indera. Akhirat termasuk perkara sam’iyat.
Hukum yang diwahyukan:
Dalam Firman Allah di Surat Al-Lahab dinyatakan bahwa Abu Lahab dan istrinya akan masuk neraka bersama istrinya. Jadi kita mengetahui nasib Abu Lahab di akhirat kelak adalah dari hukum yang diwahyukan atau dalil Naqli. Jadi keadaan Abu Lahab di akhirat menurut dalil Aqli yang Jaiz (mungkin) bagi Allah – untuk mengampuni atau menghukumnya atas Kehendak dan KuasaNya – sudah ditentukan oleh Allah menurut dalil Naqli yaitu Abu Lahab dan istrinya akan masuk ke neraka.
Ini menunjukkan pula bahwa dalam Ahlussunnah wal Jamaah dalil Naqli (dari hukum yang diwahyukan) didahulukan dari dalil Aqli.

Ahlussunnah wal Jamaah mendahulukan dalil Naqli (hukum yang diwahyukan) dari pada dalil Aqli (hukum akal)

Ahlussunnah wal Jamaah mendahulukan dalil Naqli (hukum yang diwahyukan) dari pada dalil Aqli (hukum akal). Ini adalah ketentuan yang ada pada asas Ahlussunnah wal Jamaah. Jika akal kita belum faham, mungkin akal yang belum dapat memahami berita yang diwahyukan. Dalil Aqli tidak akan bertentangan dengan Dalil Naqli, bahkan Dalil Aqli selalunya menguatkan keyakinan yang telah dijelaskan oleh dalil Naqli.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian