Baris 9
فَـقُـدْرَةٌ إِرَادَةٌ سَـمْـعٌ بَصَـرْ ۞ حَـيَـاةٌ الْـعِلْـمُ كَلاَمٌ اسْـتَمَرْ
Berkuasa, Menghendaki, Mendengar, Melihat, Hidup, Mempunyai Ilmu, Berbicara secara terus berlangsung
Sifat Ma’anawiyah
Setelah kita membahas 1 Sifat Nafsiyah yaitu Wujud, 5 Sifat Salbiyah yaitu Qidam, Baqa, Mukhalafatu lil Hawadits, Qiyamuhu bi Nafsihi dan Wahdaniyah, 7 Sifat Ma’ani yaitu Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’ Bashar dan Kalam, maka ada 7 Sifat Ma’anawiyah yaitu Kaunuhu Qodiran, Muridan, ‘Aliman, Hayan, Sami’an, Bashiran dan Mutakaliman, sehingga seluruhnya ada 20 Sifat Wajib Allah.
Sifat Ma’ani Qudrah ada pada Dzat Allah. Maka Sifat Ma’anawiyah dari Dzat Yang ada padaNya Sifat Qudrah disebut ‘Qodiran (Dzat Yang Maha Berkuasa).
Sifat Ma’ani Iradah ada pada Dzat Allah. Maka Sifat Ma’anawiyah dari Dzat Yang ada padaNya Sifat Iradah disebut Muridan (Dzat Yang Maha Berkehendak).
Sifat Ma’ani Ilmu ada pada Dzat Allah. Maka Sifat Ma’anawiyah dari Dzat Yang ada padaNya Sifat Ilmu disebut ‘Aliman (Dzat Yang Maha Mengetahui).
Sifat Ma’ani Hayat ada pada Dzat Allah. Maka Sifat Ma’anawiyah dari Dzat Yang ada padaNya Sifat Hayat disebut Hayan (Dzat Yang Maha Hidup).
Sifat Ma’ani Sama’ ada pada Dzat Allah. Maka Sifat Ma’anawiyah dari Dzat Yang ada padaNya Sifat Sama’ disebut Sami’an (Dzat Yang Maha Mendengar).
Sifat Ma’ani Bashar ada pada Dzat Allah. Maka Sifat Ma’anawiyah dari Dzat Yang ada padaNya Sifat Bashar disebut Bashiran (Dzat Yang Maha Melihat).
Sifat Ma’ani Kalam ada pada Dzat Allah. Maka Sifat Ma’anawiyah dari Dzat Yang ada padaNya Sifat Kalam disebut Mutakaliman (Dzat Yang Maha Berfirman).
Sifat Ma’nawiyah bersifat Salbiyah sebagaimana Sifat Ma’ani. Misalnya ‘Aliman (Dzat Yang Maha Mengetahui), adalah bersifat Salbiyah sebagaimana Dzat Allah, yaitu Sifat ‘Aliman itu tidak ada awal (Qidam), tidak ada akhir (Baqa, tetap, tidak bertambah dan tidak berkurang), tidak serupa dengan ilmu makhlukNya (Mukhalafatu lil hawadits), tidak tergantung dari makhluknya (Qiyamuhu bi Nafsihi) dan tidak ada Dzat selain Allah yang mempunyai Ilmu sebagaimana Dzat Allah yang ada padanya Sifat ‘Ilmu (Wahdaniyah).
Khilafiyah yang dibolehkan
Menurut Imam Abul Hasan Al Asy’ari, pembahasan Sifat Ma’ani sudah mencakup Sifat Ma’anawiyah. Sedangkan Imam Abu Mansur Al-Maturudi memisahkan Sifat Ma’ani dan Sifat Ma’anawiyah. Perbedaan (khilafiyah) ini adalah hanya perbedaan istilah yang hakikatnya sama pemahamannya.
Ulama Tauhid mempersatukan ilmu Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dari dua Ulama besar itu, sehingga sering disebut dengan Aqidah Ahlussunnah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Beginilah cara Ulama Ahlussunnah wal Jamaah dalam menghadapi khilafiyah yang dibolehkan, yaitu tetap mencari persamaan dan bahkan saling menguatkan. Dalam perkara Fiqih Ulama mengakui 4 Mazhab yang Mu’tabar (Hanafi, Maliki, Syafei dan Hanbali) untuk mempersatukan umat Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
Demikian Ulama Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan bagaimana kita bersikap terhadap khilafiyah yang bukan pokok dalam beragama, yaitu tetap berusaha mempersatukan dalam perbedaan. Sesama umat Islam yang berbeda Aqidah kita bersaudara dalam Islam. Sesama manusia yang berbeda agama dan negara kita bersaudara dalam kemanusiaan. Sebagai bangsa Indonesia dalam perbedaan suku, agama dan ras, kita bersatu dan berkasih sayang karena sesama bangsa Indonesia.
Baris 10
وجَـائـِزٌ بِـفَـضْـلِهِ وعَدْلِهِ ۞ تَـرْكٌ لِـكُـلِّ مُمْـكِـنٍ كَفِعْلِهِ
Sebab karunia dan keadilan-Nya, Ia boleh mengerjakan sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya
Sifat Jaiz Allah
Yang dimaksud Sifat Jaiz adalah Sifat yang mungkin Allah melakukannya dan mungkin Allah meninggalkannya. Sifat ini juga penting kita pelajari, agar kita berkeyakinan bahwa Allah adalah Maha Sempurna dan tidak berkurang atau bertambah KesempurnaanNya karena Allah melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang Jaiz.
Sifat Jaiz selalu berkaitan dengan makhlukNya
Sifat Jaiz ini selalu berkaitan dengan makhlukNya yang mungkin (jaiz) Allah ciptakan atau juga mungkin Allah tidak ciptakan. Allah tidak bertambah dan berkurang KesempurnaanNya karena Menciptakan atau tidak Menciptakan makhluk. Allah tidak bertambah dan berkurang KesempurnaanNya karena Menciptakan makhluk yang banyak atau sedikit. Allah tidak bertambah dan berkurang KesempurnaanNya karena manusia beriman atau tidak beriman.
Dalam suatu Hadits Qudsi, Allah berfirman:
يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِــي شَيْئًا ، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مـِنْ مُلْكِي شَيْئًا
“Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bertaqwa, hal itu sedikitpun tidak menambah Kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikitpun tidak mengurangi Kekuasaan-Ku” (HR. Muslim, no.2577)
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah tidak perlu dengan makhlukNya, Sifat Kesempurnaan dan Keagungan Allah tidak tergantung dari makhlukNya. Justru kita sebagai makhluk Allah yang selalu memerlukan Allah. Iman dan amal soleh manusia tidak memberi manfaat apapun kepada Allah. Maka manfaat iman dan amal soleh manusia akan kembali kepada manusia itu sendiri.
Demikian juga kekafiran dan maksiat dari manusia tidak dapat memberikan mudharat kepada Allah. Mudharat akibat dari kekafiran dan maksiat manusia itu akan kembali kepada manusia itu sendiri.
Keyakinan terhadap Sifat Jaiz Allah secara benar adalah sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari, agar kita dapat lebih bijak dalam menghadapi dunia yang penuh cobaan ini.
Kekeliruan Faham Mu’tazilah tentang Sifat Jaiz Allah
Faham Mu’tazilah adalah faham yang mendahulukan akal dari wahyu. Menurut mereka Allah Wajib melakukan perkara yang terbaik terhadap manusia menurut akal mereka . Maka seorang yang soleh sampai wafatnya, maka Allah Wajib memasukannya ke dalam syurga. Demikian juga seorang yang berbuat dosa sampai wafatnya, Allah Wajib menghukumnya dan memasukannya ke dalam neraka.
Kisah Imam Abul Hasan Al Asy’ari keluar dari faham Mu’tazilah
Imam Abul Hasan Al Asy’ari mempunyai ayah tiri yaitu Abu Ali Al Jubai yang menikahi ibunya setelah ayahnya meninggal dunia. Beliau adalah Ulama kaum Mu’tazilah, sehingga Imam Abul Hasan sempat belajar kepadanya dan menjadi Ulama Mu’tazilah, sampai beliau berumur 40 tahun.
Pada suatu hari Imam Abul Hasan Al Asy’ari bertanya kepada ayah tirinya sebagai berikut:
Ada 3 bersaudara A, B dan C. A adalah seorang beriman yang soleh hingga wafat. Adiknya yaitu B adalah tidak beriman hingga wafatnya. Adiknya lagi yaitu C adalah meninggal ketika masih kecil. Bagaimana nasib mereka bertiga?
Abu Ali Al Jubai merasa mudah menjawabnya. Katanya A pasti masuk syurga, karena amal solehnya. B masuk neraka karena tidak beriman kepada Allah. C tidak berada di syurga dan tidak pula di neraka, karena belum dewasa.
Imam Abul Hasan Al Asy’ari kemudian bertanya, C tentu akan protes kepada Allah: Ya Allah mengapa saya tidak dibiarkan hidup sampai tua sehingga saya bisa masuk syurga seperti kakak saya A?
Abu Ali Al Jubai berkata. Allah akan berkata, itulah yang terbaik untukmu, karena jika engkau dibiarkan hidup, mungkin saja engkau akan berbuat maksiat dan tidak beriman sehingga engkau masuk neraka seperti kakakmu B.
Imam Abul Hasan Al Asy’ari kemudian berkata lagi: B pasti akan protes juga kepada Allah: Ya Allah mengapa Engkau biarkan aku hidup, sehingga aku menjadi orang yang tidak beriman dan masuk neraka. Jika Engkau matikan aku waktu kecil, tentu nasibku seperti adikku C.
Di sini Abu Ali Al Jubai tidak dapat menjawab lagi, karena terbuka kekeliruan faham Mu’tazilah. Imam Abul Hasan Al Asy’ari pun keluar dan faham Mu’tazilah, dan kembali faham Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah serta memperjuangkannya menghadapi kaum Mu’tazilah. Berkat perjuangan beliau banyak Ulama dan umat Islam kembali kepada Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah yang kemudian diakui oleh Jumhur Ulama Ahlussunnah wal Jamaah.
Baik dan Buruk menurut manusia adalah relativ
Menurut Ahlussunnah wal Jamaah, baik dan buruk adalah relativ menurut manusia. Oleh sebab itu ada perkara yang baik untuk seseorang tapi buruk untuk orang lain. Contoh virus Corona adalah buruk untuk orang yang mesti beraktivitas dengan bertemu dengan orang lain. Pertemuan menyebabkan penularan penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Dengan virus Corona, banyak juga orang mendapat keuntungan besar, di antaranya para produsen dan penjual masker penutup hidung/mulut dan vaksin. Namun bagi orang beriman, kita mesti yakin bahwa Allah selalu melakukan yang terbaik menurut Allah. Oleh sebab itu kita mesti selalu berprasangka baik kepada Allah, sebagaimana Hadits riwayat Abu Hurairah sebagai berikut:
إِنَّ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللهِ مِنْ حُسْنِ الْعِبَادَةِ
Artinya, “Sungguh, berbaik sangka kepada Allah merupakan ibadah terbaik yang dipersembahkan sang hamba kepada Tuhannya.”
Manusia masuk syurga karena Rahmat Allah dan masuk neraka karena Keadilan Allah
Menurut Ahlussunnah wal Jamaah, Allah memasukan manusia ke syurga dan ke neraka adalah Sifat Jaiz yang boleh Allah lakukan dan tinggalkan. Tidak dikarenakan oleh amal manusia. Manusia masuk syurga karena Rahmat Allah dan masuk neraka karena Keadilan Allah. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam masuk syurga bukan karena amal beliau, tetapi karena rahmat Allah. Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wassalam:
لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ
“Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR Muslim)
Ilmu Aqidah menguatkan ajaran Tasawuf
Jangan bersandar kepada amal soleh, melainkan mengharapkan rahmat Allah
Manusia dapat masuk syurga karena rahmat Allah. Jadi apa manfaat ibadah amal soleh yang dilakukannya? Kita sebagai hamba Allah melakukannya karena kita hamba Allah. Kita melakukan amal soleh hanya semata-mata karena beribadah kepada Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS Adz-Dzariyat 56:
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Kita beribadah adalah karena mengharapkan rahmat Allah. Mengharapkan rahmat Allah adalah termasuk ibadah yang dilakukan oleh bathin. Allah berfirman dalam QS Al Baqarah: 218:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS. Al-Baqarah [2]: 218)
Jadi kita disuruh beribadah sebagai usaha kita agar Allah memberikan rahmatNya kepada kita. Kita akan sadar bahwa kita dapat melakukan ibadah adalah juga karena rahmat Allah, dengan Kuasa dan Kehendak Allah. bukan karena kekuatan kita sendiri. karena Allah juga menciptakan amal makhlukNya sebagaimana firman Allah dalam QS As-Saffat : 96
وَٱللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
Maka ketika kita tergerak untuk dapat beramal soleh adalah karena hidayah dan rahmat Allah. Sehingga kita tidak merasa hebat karena telah berbuat baik. Merasa diri baik dan hebat karena telah melakukan amal soleh akan menjadikan kita ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri) dan lupa diri bahwa kita adalah hamba Allah lemah, yang tidak dapat melakukan apapun kecuali karena Kuasa dan Kehendak Allah. Tidak berputus asa terhadap rahmat Allah, jika tergelinicir dalam dosa. Selalu memohon ampun dan mengharap rahmat kepada Allah,
Dengan memahami Sifat Jaiz Allah dengan benar, maka sebagai orang yang beriman kepada Allah, tidak akan terfikir olehnya akan berputus asa terhadap rahmat Allah. Karena dia yakin bahwa Allah mengampuni hambaNya adalah termasuk perkara Jaiz (mungkin) bagi Allah. Mudah bagi Allah untuk mengampuni hambaNya, selama hambaNya mau bertaubat. Allah berfirman dalam QS Az-Zumar 53-54:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53) وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (54)
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).”
Dari ayat ini para Ulama selalu menasehati berapa kalipun seorang hamba melakukan dosa, selama hamba memohon ampun Allah akan mengampuni hambaNya. Seorang Ulama berkata kepada orang yang merasa susah untuk meninggalkan dosa: Jangan putus atas terhadap rahmat Allah, teruslah engkau bertaubat, jangan bosan untuk bertaubat jika terbuat dosa sampai engkau bosan melakukan dosa. Dengan rahmat Allah, semoga suatu saat Allah akan memudahkannya untuk meninggalkan dosa.
Ketika mendapat musibah, muhasabah terhadap dosa sendiri, tidak menyalahkan orang lain apa lagi menyalahkan Allah
Jika kita tergelincir melakukan amal buruk atau dosa, hendaknya kita mengakui itu adalah kesalahan kita dan memohon ampun kepada Allah, dan bukan menyalahkan orang lain apalagi menyalahkan Allah, na’udzu billahi min dzalik. Sebagai hamba yang lemah yang senantiasa memohon hidayah dan rahmat Allah. Allah berfirman dalam QS An-Nisa 79:
مَّآ أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدًا
Artinya: Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.
Sedangkan Allah menghukum dan memasukkan manusia ke dalam neraka adalah karena Sifat Maha Adil dari Allah, dan bukan karena Allah menzalimi manusia. Allah berfirman dalam QS An-Nisa 40:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَٰعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.
Tidak merasa selamat karena berbuat taat dan tidak merasa diri lebih baik dari orang lain. Selalu tawadhuk dan bersangka baik kepada Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam pernah bersabda (Hadits Arbain Imam Nawawi)
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
“Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang jujur dan terpercaya: Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya diperut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara: menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan memahami Sifat Jaiz Allah ini, menjadikan hamba Allah akan selalu senantiasa bersandar kepada rahmat Allah. Dia tidak lupa diri ketika sedang taat dan justru membuatnya selalu bersyukur kepada Allah yang telah memberi rahmat dan kekuatan, sehingga mempermudahnya untuk taat kepada Allah. Dia sebagai hamba Allah tahu bahwa mudah bagi Allah untuk memberi hidayah atau mengubah hati seseorang, sehingga dia lebih mensyukuri nikmat atas pemberian Allah dan khawatir akan kehilangan iman.
Demikian juga sebaliknya ketika seorang hamba tergelincir dalam dosa, hamba ini tidak berputus asa dari rahmat Allah, sehingga dia lebih mudah untuk “move on” kepada memohon ampun kepada Allah, dan terus berusaha untuk menebusnya dengan kebaikan, karena yakin, bahwa mudah bagi Allah untuk memberi ampunan dan rahmat kepadanya.
Jika kita melihat orang yang berbuat maksiat atau belum beriman, kita tidak merasa lebih baik atau memandang rendah kepadanya. karena semua itu adalah perkara yang Jaiz dan mudah bagi Allah untuk mengubahnya, sehingga kita selalu mempunyai rasa roja’ (harap) dan khauf (takut) kepada Allah. Mungkin saja seorang yang dahulunya solah dan, taat tetapi di akhir hayatnya menjadi durhaka, kita berlindung kepada Allah dari yang demikian. Dan mungkin juga seorang yang dahulunya suka bermaksiat, tetapi di akhir hayatnya bertaubat dan wafat dalam keadaan husnul khatimah, semoga Allah beri kita hidayah selalu.
Mempunyai cita-cita yang tinggi
Dengan meyakini Sifat Jaiz Allah ini, juga bermanfaat memberikan seorang hamba untuk mempunyai cita-cita yang tinggi untuk keberhasilan di dunia dan di akhirat. Kita disuruh untuk selalu berikhtiyar untuk mencapai cita-cita, sebagai ibadah kita kepada Allah, dengan berdoa kepada Allah untuk diikhlaskan niat untuk mencapai cita-cita serta berusaha yang sesuai dengan syariatNya. Sedangkan hasilnya kita bertawakal menyerahkannya kepada Allah.
Kita tidak bersandar kepada diri dan kemampuan kita ketika berusaha dan berdoa, tetapi kita bersandar kepada Allah dan selalu mengharapkan rahmat Allah. Karena semua yang akan terjadi adalah hanya atas Sifat Qudrat dan Iradat Allah dan bukan karena kemampuan kita.
Keyakinan untuk untuk mencapai cita-cita yang tinggi itu adalah termasuk ibadah yang diperintahkan oleh Allah. Allah berfirman dalam QS Al Furqan : 74
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya: Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Disini terlihat manfaat ilmu Aqidah untuk memperkuat ilmu Tasawuf. Sebagaimana telah disebutkan di kajian yang lalu, jika ilmu agama diumpamakan sebagai piramida, Ilmu Aqidah adalah yang paling bawah, diatasnya ilmu Fiqih, dan yang paling atas adalah ilmu Tasawuf. Artinya untuk mempelajari ilmu Tasawuf kita perlu dengan ilmu Aqidah dan Fiqih, agar ilmu Tasawuf yang kita pelajari sesuai dengan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
Melihat Allah di Syurga (Ru’yatullah)
Allah berfirman dalam Al Qur’an Surat Al Qiyamah 22 – 23
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
Ayat ini menyatakan dengan jelas, bahwa orang beriman kelak di syurga akan melihat Allah. Sebagian besar nikmat syurga yang digambarkan dalam Al Quran adalah nikmat lahiriah, misalnya taman yang mengalir sungai dibawahnya, minuman, bidadari dan sebagainya. Sedangkan melihat Allah adalah nikmat ruhaniyah dalam syurga.
Ru’yatullah menurut kaum Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah memahami melihat Allah adalah melihat sebagaimana manusia melihat dengan mata terhadap suatu benda yang ada di hadapannya. Maka kaum Mu’tazilah mengatakan mustahil manusia dapat melihat Allah, karena dengan melihat seperti ini, mensyaratkan Allah itu mempunyai jasad (jism). Ini adalah mustahil bagi Allah, karena Allah bukan jism. Jism selalu mempunyai ukuran dan terikat dan ruang dan waktu. Hanya makhluk yang berjism.
Kaum Mu’tazilah memahami QS Al Qiyamah 23 di atas, bukan “melihat” Allah, tetapi “menunggu” nikmat dari Allah.
Ru’yatullah bagi golongan Wahabi/Salafi
Faham Wahabi/Salafi adalah faham yang berlawanan dari pemahaman kaum Mu’tazilah. Mereka meyakini orang beriman di syurga akan melihat Allah sebagai mana melihat bulan. Mereka meyakini makna zahir dari hadits Rasulullah shallallahu alaihi wassalam :
أَمَّا إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ لاَ تُضَامُّوْنَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا فَافْعَلُوا يَعْنِي العَصْرَ وَالفَجْرَ ثُمَّ قَرَأَ جَرِيْرٌ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا
“Sesungguhnya kalian akan memandang Rabb kalian sebagaimana kalian memandang bulan ini. Kalian tidak berdesakan ketika memandang Allah. Jika kalian mampu, untuk tidak melewatkan shalat sebelum terbitnya matahari dan shalat sebelum tenggelamnya matahari (shalat Ashar dan Subuh), lakukanlah!”
Mereka memahami melihat Dzat Allah adalah dengan mata. Karena mereka memang meyakini bahwa Dzat Allah adalah jism, sebagaimana telah dijelaskan dapad kajian yang telah lalu.
Ru’yatullah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlussunnah wal Jama’ah memahami Ru’yatullah di antara faham Mu’tazilah dan faham Salafi Wahabi. Ru’yatullah (melihat Allah) adalah ciptaan Allah sebagaimana perbuatan makhluk yang lain. Perbuatan makhluk adalah juga makhluk (ciptaan) Allah. Ini disebutkan dalah QS As-Shaffat : 96
وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.
Oleh sebab itu kemampuan melihat Allah bagi orang beriman di syurga kelak adalah ciptaan Allah. Oleh sebab itu perkara ini adalah Jaiz bagi Allah.
Ahlussunnah wal Jama’ah meyakini bahwa orang beriman di syurga akan melihat Allah sebagaimana telah disebutkan dalam Qur’an dan hadits. Penjelasan adalh sebagai berikut
- Orang beriman melihat Allah dengan mensucikan Allah dari sifat yang tidak layak bagi Allah. Dzat Allah tidak terikat oleh waktu dan ruang, tidak berjism, sebagaimana telah dijelaskan dalam kajian yang telah lalu tentang Sifat Salbiyah Qidam dan Baqa, Qiyamuhu binafsihi, Mukhalafatu lil hawadits, dan Wahdaniyah. Jadi bagaimana cara melihat Allah nanti? Para Ulama menjawab, bagaimananya kita serahkan kepada Allah. Allah yang menciptakan perbuatan “melihat Allah” bagi orang yang beriman.
- Orang beriman melihat Allah, maksudnya adalah Allah akan memberikan kepada orang beriman ilmu yang lebih banyak tentang Allah dari ilmu yang didapatnya di dunia. Nikmat ilmu adalah nikmat yang tanpa batas dan sangat indah. Di dunia kita sudah dapat merasakan nikmat memahami ilmu. Semakin mulia sesuatu, maka semakin indah pula ilmu tentang sesuatu itu. Yang paling mulia adalah Allah, maka ilmu yang paling indah untuk dinikmati adalah ilmu tentang Allah.
Wallahu a’lam
Text lengkap dan terjemah Aqidatul Awwam dalam dilihat di Kitab Aqidatul Awam Dan Terjemah [PDF] (terjemahkitab.com).
0 Kommentare