Setiap zaman manusia dan keadaan berubah, maka perlu ada perubahan cara penyampaian Ilmu Warisan Nabi

Yang dimaksud di setiap zaman manusia dan keadaan berubah adalah komposisi manusia yang hidup di zaman itu dan keadaan yang mempengaruhinya khususnya umat Islam.
Di zaman Rasulullah adalah masa dimana Rasulullah shallallahu alaihi wassalam masih ada di tengah-tengah Shahabat. Ini adalah masa terbaik, paling diberkati paling dirahmati Allah, karena keberadaan Rasulullah shallallahu alaihi wasslam. Di masa itu komposisi Umat Islam yang hidup adalah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan mayoritas Umat Islam adalah Shahabat radhiallahu anhum.
Mengapa disebut mayoritas muslim di kala itu adalah Shahabat? Adakah muslim yang hidup di masa itu yang bukan Shahabat? Jawabnya ada, yaitu mereka yang bersyahadat tetapi tidak bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Contoh yang cukup dikenal kisahnya secara mutawatir adalah Uwais Al Qarni dan ibunya dari Yaman. Beliau pernah pergi ke Madinah ingin bertemu Rasulullah. Namun Rasulullah sedang tidak berada di Madinah. Sedang Uwais Al Qarni hanya diizinkan pergi sebentar saja oleh ibunya. Karenanya beliau tidak dapat menunggu lama. Uwais Al Qarni hanya dapat bertemu Siti Aisyah dan Shahabat lainnya radhiallahu anhum. Akhirnya beliau dengan kecewa harus kembali pulang ke Yaman tanpa bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Uwais Al Qarni radhiallahu anhu kemudian dikenal sebagai Tabi’in terbaik. Rasulullah berpesan kepada Sayidina Umar dan Sayidina Ali untuk meminta doa kepada Uwais Al Qarni jika bertemu dengannya.
Setelah Rasulullah wafat, maka komposisi umat Islam sudah berubah drastis, yaitu ketiadaan Rasulullah shallallahu alaih wassalam. Maka keadaanpun automatis berubah. Orang yang kemudian bersyahadat hilang peluangnya sama sekali untuk menjadi Shahabat. Paling tinggi muslim yang baru ini hanya mendapat gelar Tabi’in.
Semakin lama Umat Islam semakin banyak. kontak dengan budaya dan umat non Islam semakin banyak. Komposisi Umat Islam juga berubah, semakin banyak umat Islam non-Arab yang tidak bertutur asli Arab. Maka keadaan berubah dan keperluan umat Islam untuk mendapatkan akses Ilmu yang diwarisi dari Rasulullah berubah.
Perubahan-perubahan ini terus berlangsung hingga zaman sekarang dengan faktor perubahan lain yang menambah variable perubahan keadaan, seperti kemajuan teknologi, jumlah penduduk, budaya dan bangsa dalam umat Islam dan umat non Islam. Perubahan ini juga mempengaruhi kualitas umat Islam dilihat dari segi ilmu dan ketaqwaan.
Begitulah setiap zaman manusia dan keadaan berubah yang menyebabkan Ulama sebagai pewaris Ilmu Nabi perlu melakukan tindakan atau fatwa baru untuk menghadapi tantangan perubahan zaman itu agar ilmu Islam dan pengamalannya serta syiar Islam tetap dapat diakses oleh umat Islam dengan sebaik-baiknya. Agar Umat Islam tetap berada dalam jalan lurus yakni jalan orang-orang yang Allah telah beri nikmat ke atas mereka.

Zaman Rasulullah shallallahu alaihi wassalam

Islam diajarkan Nabi kepada Shahabat secara langsung tanpa bantuan Kitab tertulis atau ilmu alat

Semua Ilmu Islam berasal dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam. Di zaman Shahabat radhiallahu anhum ilmu Islam dipelajari tanpa melalui Kitab, melainkan secara langsung dengan hidup bersama Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Oleh sebab itu orang yang beriman yang beruntung dapat belajar dengan melihat bertemu Nabi mendapat gelar khusus yang tidak didapat oleh orang beriman lain. Umat Islam selain sahabat tidak dapat menyamai kedudukan Shahabat Nabi yang paling lemah sekalipun.
Seluruh diri Nabi adalah Ilmu. Akhlak Nabi adalah Al Qur’an. Perkataan, perbuatan dan diamnya Nabi atas perkara yang Nabi mengetahuinya adalah Hadits. Oleh sebab itu Kitab tidak diperlukan. Sahabat belajar tanpa melalui Kitab. Bahkan melarang menuliskan sabda Rasulullah kecuali ucapan yang mengandung ayat Al Quran, agar tidak tercampur antara Firman Allah (Al Quran) dengan sabda Nabi (Hadits). Ilmu Islam dan pengamalannya ketika itu sudah melekat pada diri Nabi dan langsung diterima para Shahabat setiap saat, bukan hanya melalui ta’lim, tetapi melalui semua interaksi dengan Nabi, bahkan dalam keadaan bertemu dan berpisah dengan Nabi. Ilmu-ilmu alat yang kita kenal yang sekarang dipelajari, seperti ilmu Fikih, Ilmu Tauhid, ilmu Tasawuf, ilmu Tajwid, Ilmu bahasa Arab (Nahu Sharaf), Ilmu Balaghah, Ilmu Mantiq dan lain-lain tidak diperlukan. Semua ilmu itu sudah ada dan diamalkan, tetapi belum disusun oleh para Ulama yang datang kemudian.

Rasulullah menulis ilmunya pada hati dan akhlaq Shahabat

Walaupun penulisan Al Quran tidak diperlukan, namun Rasulullah hakikatnya telah “menulis” ilmu Al Quran dan pengamalannya langsung pada diri Shahabat, sehingga perilaku shahabat adalah implementasi Al Quran yang terbaik di segala zaman. Rumah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam adalah kelas madrasah Islam, dimana Shahabat belajar khususnya keluarga Nabi. Rumah-rumah para Shahabat pun adalah kelas-kelas belajar Islam, sama dengan gurunya yang mulia, yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Bahkan di luar kelas (rumah), semua tempat adalah tempat praktek beramal bagi mereka. Mulai dari bekerja menjadi pedagang, bertani, bermusafir, beristirahatm bahkan ketika berjihad fi Sabilillah semua kehidupan Nabi dan Shahabat adalah ilmu dan amal. Subhanalah tidak ada ruang sedikit pun, serta waktu sedetikpun yang sia-sia dan kosong dari ilmu dan amal.

Hidup bersama Nabi adalah bagian dari Sirah Nabawiyah

Sirah Nabawiyah adalah ilmu tentang riwayat hidup Nabi Muhammad. Semua kisah Nabi mulai dari kehidupan pribadi, bersama Shahabat, bertemu pendeta, bertemu musuh menjadi bagian dari Sirah Nabawiyah. Maka hidup bersama Nabi adalah membaca Sirah Nabawiyah dengan cara mengalami langsung. Mereka tidak mendengar Sirah Nabi dari guru, atau membaca dari buku. Oleh sebab itu kesan yang diterima Shahabat Nabi dalam membaca Sirah Nabawiyah jauh berbeda dengan kita yang juga membaca dan mendengar Sirah Nabi.
Membaca dan mendengar kajian Kitab Syamail Muhammadiyah, tentu jauh berbeda dengan para Shahabat membaca dan mendengar kajian Kitab Syamail Muhammadiyah dengan mengalami secara langsung.
Kalau memperingati Maulid Nabi artinya membaca dan mengkaji Sirah Nabawiyah, maka para Shahabat setiap saat adalah membaca dan mengkaji Sirah Nabawiyah. Maka kita dapat memahami mengapa para Shahabat tidak perlu memperingati Maulid Nabi seperti kita. Karena Mereka selalu memperingati dan mensyukuri nikmat Allah hidup bersama Rasulullah shallalahu alaihi wassalam.
Para Shahabat mulai dari bangun tidur, kemudian melakukan kegiatan hariannya, sampai tidur lagi, tidak ada yang mereka fikirkan dan hayati kecuali beribadah dan mengingati Allah serta berkhidmat untuk dakwah Rasulullah shallallahu alahi wassalam. Ada yang selalu bersama Rasulullah, ada yang menjadi utusannya, ada yang menjadi kawan untuk berbincang, ada yang menjadi guru yang mengajar dan sebagainya. Selama mereka bersama dan berpisah dengan Nabi, mereka selalu berada dalam keadaan menuntut ilmu bersama Nabi, berjalan di atas sirothol mustaqim (jalan yang lurus), yaitu sirotholadzina an’amta alaihim (jalan mereka yang Allah telah memberi nikmat ke atas mereka). Begitulah barokahnya kehidupan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.

Zaman Khalifah Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu

Ketika Rasulullah wafat, komposisi Umat Islam adalah:
– 10 Shahabat yang dijanjikan Syurga.
– Ahli badar (313 dikurangi Shahabat sudah wafat, diantaranya ada yang termasuk 10 Shahabat yang dijanjikan Syurga.
– Muhajirin dan Anshar
– Shahabat Rasulullah yang lain
– Tabi’in
Sayidina Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah. Proses belajar dan mengajar ilmu warisan Rasulullah masih belum berubah sebagaimana di zaman Rasulullah, yaitu belajar melalui hidup bersama dengan Shahabat, karena pengamalan Islam, hafalan dan pemahaman Al Quran mereka sempurna. Mereka adalah murid didikan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Sesama mereka masih saling belajar, tanpa perlu menulis Kitab. Hanya sekarang guru mereka yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wassalam sudah tidak berada di tengah-tengah Shahabat. Malaikat Jibril sudah tidak lagi datang menyampaikan wahyu, sejak ayat terakhir Al Quran disampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Guru yang ada sekarang adalah para Ulama dari kalangan Shahabat yang dipimpin oleh Khalifah Sayidina Abu Bakar Siddiq.
Kehidupan mereka masih menjadi madrasah Islam yang memberikan ilmu Islam sekaligus memberi contoh bagaimana mengamalkannya. Tiap rumah para Shahabat masih menjadi “kelas” dalam Madrasah Islam itu. Masyarakat Islam menjadi tempat belajar yang effektif. Orang yang kemudian masuk Islam yang bertemu Shahabat namun tidak bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, mendapat gelar yang istimewa pula, yaitu Tabi’in. Tentu saja murid hasil didikan Rasulullah yaitu Shahabat lebih baik dari murid hasil didikan Shahabat.

Sebagian umat Islam menolak bayar zakat, Shahabat penghafal Quran banyak yang syahid

Ketika itu ada sebagian umat Islam dari beberapa daerah yang menolak membayar zakat yang dilihat sebagai pembangkangan terhadap syariat dan khalifah yang dapat dinila sebagai pemberontakan. Sehingga Khalifah Abu Bakar memerintahkan untuk memerangi mereka, sampai mereka kembali tunduk dan melaksanakan zakat.

Pertama kali Al Quran ditulis dalam satu Mushaf lengkap 30 Juz

Akhirnya pemberontakan dapat dipadamkan, namun banyak Shahabat yang hafal Al Quran syahid dalam pertempuran. Sehingga Sayidina Umar bin Khattab mengusulkan kepada Khalifah untuk menulis Al Quran secara lengkap dalam satu Mushaf. Pada awalnya Sayidina Abu Bakar menolak, dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya. Namun setelah beberapa kali berbincang, akhirnya Sayidina Abu Bakar menyetujui, dan menunjuk Sayidina Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu memimpin panitia penulisan Mushaf Al Quran.
Ini adalah bid’ah yang tidak pernah dilakukan Nabi. Namun ini adalah bid’ah yang baik yang diperlukan dan bahkan dapat dihukumkan wajib.
Ini menunjukkan di setiap zaman, perlu ada fatwa baru dari para Ulama, untuk kemaslahatan umat Islam, karena adanya perubahan zaman dan keadaan yang berbeda dari zaman sebelumnya.

Zaman Khalifah Sayidina Umar bin Khattab radhiallahu anhu

Setelah 2 tahun memerintah Sayidina Abu Bakar wafat, digantikan oleh Sayidina Umar bin Khattab radhiallahu anhu. Daerah yang ada dalam pemerintahan Islam sudah semakin besar, meluas ke wilayah bukan bangsa Arab yaitu bangsa Romawi dan Persia. Jumlah Tabi’in bertambah banyak. Kekuatan lahiriah seperti luas wilayah, jumlah umat Islam, kekayaan ekonomi dan ketentaraan bertambah kuat.
Namun jumlah Shahabat telah berkurang, Komposisi Umat Islam juga telah kehilangan sosok Sayidina Abu Bakar Siddiq radhiallahu anhu, yang oleh Rasulullah disebut sebagai manusia yang jika imannya ditimbang masih lebih berat dari iman seluruh muslimin (selain Rasulullah). Beliau adalah juga yang terbaik dari 10 Shahabat yang dijanjikan syurga, Maka kualitas umat Islam dalam hal ilmu dan kekuatan taqwa tidak sebaik di zaman Sayidina Abu Bakar Siddiq.

Sholat Terawih di bulan Ramadhan

Di setiap bulan Ramadhan, kaum muslimin memperbanyak ibadah di malam harinya untuk lebih mendapatkan manfaat dan keberkatan dari bulan Ramadhan.
Pada suatu bulan Ramadhan Sayidina Umar melihat kaum muslimin melakukan sholat di Mesjid Nabawi masing-masing, ada yang sendiri dan ada pula yang berjamaah. Melihat itu Sayidina Umar menfatwakan agar dibuat sholat Terawih dalam satu Jemaah dengan satu Imam agar lebih baik.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ 

Artinya: “Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, beliau berkata: ‘Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjamaah. Lalu Sayyidina Umar berkata: ‘Saya punya pendapat andai mereka aku kumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih bagus.” Lalu beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjamaah di belakang satu imam. Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjamaah),” (HR Bukhari).

Sayidina Umar mengatakan bahwa sholat Terawih itu sebaik-baik bid’ah. Ini menjelaskan bahwa
1. Ada bid’ah hasanah (yang baik) dan ada bid’ah dholalah (sesat). Artinya ada bid’ah yang wajib, yang sunnat, yang mubah, yang makruh dan yang haram (dholalah).
2. Apa yang tidak dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bukan automatis bid’ah dholalah.

Banyak manfaat dari adanya 1 jamaah sholat Terawih di dalam 1 Mesjid antaranya:
1. Orang yang tidak hafal Quran dapat ikut sholat mengkhatamkan Quran bersama Imam selama bulan Ramadhan.
2. Orang yang tidak fasih membaca Quran dapat belajar dengan mendengarkan orang yang fasih membaca Quran.
3. Bacaan seorang Imam dapat dikeraskan untuk semua jemaah di Mesjid. Kalau ada beberapa Imam, jika lebih dari satu Imam yang membaca keras dapat saling mengganggu jemaah yang lain.

Ketika fatwa dari Sayidina Umar bin Khattab ini dikeluarkan, semua Shahabat sepakat, sehingga sholat Terawih menjadi amalan sunnah mu’akkadah (shalat sunnah yang sangat dianjurkan). Jumah raka’at yang ditetapkan adalah 20 raka’at. Sejak saat itu sholat Terawih 20 Raka’at ini terus diadakan bahkan hingga sekarang di Mesjid Nabawi dan Mesjidil Haram.
Ini menjelaskan sekali fatwa baru Ulama pendahulu (dalah hal ini Sayidina Umar radhiallahu anhu dibuat dan sudah disepakati oleh Ulama yang ada sezamannya (dalam hal ini para Shahabat yang lain), maka fatwa ini berlaku seterusnya. Tidak ada ulama yang mengubah untuk kembali kepada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Karena fatwa itu diperlukan sesuai dengan zamannya.

Di zaman Sayidina Umar radhiallahu, adminsitrasi negara juga melakukan pembaharuan dalam hal penanggalan (kalender). Karena setiap surat ketika itu hanya ditulis tanggal dan bulan tetapi tidak ada tahun, sehingga menyusahkan administrasi tentang kapan waktu yang sebenarnya surat itu dikeluarkan. Sedang waktu itu bangsa Romawi dan Persia sudah menggunakan tahun.
Setelah musyawarah para Shahabat utama, akhirnya dipilih tahun Hijrah Nabi menjadi Tahun awal dan penanggalan Islam. Ini diantara pembaharuan yang dibuat di zaman Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu.

Zaman Khalifah Sayidina Usman bin Affan

Sayidina Umar memerintah 10 tahun. Beliau dibunuh ketika sholat Shubuh oleh orang bukan Islam, yang membuat Sayidina Umar merasa lega, karena dengan itu beliau merasa tidak ada orang Islam yang tidak redha padanya.
Shahabat sudah semakin berkurang. Jumlah 10 Shahabat yang dijanjikan syurga tinggal 6 orang. Sebelum Sayidina Umar wafat, beliau meminta mereka untuk bermusyawarah yang akhirnya memilih Sayidina Utsman bin ‘Affan radhiallahu anhu menjadi Khalifah.

Penulisan Mushaf Al Quran Rasm Utsmani

Wilayah Islam yang semakin luas, shahabat sudah tersebar di seluruh wilayah. Suatu ketika timbul masalah adanya perbedaan dalam Qiroat Al Quran yang menyebabkan perselisihan. Waktu itu baru ada 1 Mushaf Quran milik Negara yang ditulis ketika di zaman Khalifah Sayidina Abu Bakar Siddiq.
Untuk menselaraskan perbedaan, Sayidina Usman membuat lagi panitia penulisan Mushaf Quran 30 Juz untuk disebarkan di seluruh propinsi beserta gurunya. Al Quran yang selain tulisan dari Negara diminta dibakar, seluruh wilayah mesti menggunakan Mushaf yang ditulis oleh panitia yang ditunjuk oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Maka siapa yang ingin memperbanyak Mushaf Quran mesti menyalin dari Quran resmi dari Negara. Oleh sebab itu Mushaf yang ditulis itu disebut Rasm Utsmani.
Semua Shahabat sepakat terhadap penulisan ini dan Quran Rasm Utsmani ini terus diijadikan rujukan hingga sekarang.

Adzan sholat Jum’at dua kali

Di zaman Khalifah Sayidina ‘Utsman penduduk Madinah bertambah banyak, sehingga Mesjid Nabawi yang sudah diperluas di zaman Sayidina Umar tidak memadai lagi. Maka Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan memperluasnya lagi.
Jumlah Shahabat sudah semakin sedikit, tabi’in bertambah banyak. Jemaah Sholat Jum’at di Mesjid Nabawi sering datang ketika Adzan dikumandangkan. Di saat itu Khatib sudah naik mimbar. Karena Jemaah sholat Jumat sudah banyak, maka mereka masuk kelihatan berbondong bondong yang memerlukan waktu lebih lama, sampai semua jemaah duduk. Ini mengganggu Khatib melakukan Khotbah Jumat.
Maka Khalifah Utsman berfatwa agar di adakan Adzan dua kali pada waktu sholat Jum’at. Adzan pertama untuk memanggil jemaah. Adzan kedua menandakan Khatib sudah naik mimbar dan siap melakukan khutbah Jumat.

Zaman Sayidina Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu

Kesalahan membaca Quran yang berakibat fatal

Di zaman Sayidina Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu ada permasalahan baru, dalam penyebaran ilmu warisan Nabi, karena Umat Islam sudah semakin banyak dari bangsa non Arab, yang tentu kemampuan bahasa Arab mereka tidak sefasih orang Arab. Suatu kali ada yang memberitahukan kepada Sayidina Ali ada seorang membaca Al Quran, tetapi keliru membaca awal ayat 3 QS At Taubah yaitu seharusnya:

وَأَذَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦٓ إِلَى ٱلنَّاسِ يَوْمَ ٱلْحَجِّ ٱلْأَكْبَرِ أَنَّ ٱللَّهَ بَرِىٓءٌ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ۙ وَرَسُولُهُۥ

Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin , demikian juga RasulNya (berlepas diri)….

Namun orang itu keliru membaca wa Rasulihi bukan wa Rasuluhu. Yang artinya menjadi sebaliknya, yaitu demikian juga (Allah berlepas diri dari) Rasul. Pada waktu itu Al Quran masih ditulis tanpa titik, tanpa harakat dan tanpa tanda baca. Sehingga tulisan ayat itu dapat dibaca dengan kedua cara membaca seperti itu.

Perintah menulis ilmu Nahu Sharaf

Cara membaca yang keliru ini sangat fatal akibatnya, karena menjadi sangat berlawanan artinya dan menyalahi Aqidah Islam. Maka untuk mengatasi masalah itu, Sayidina Ali memerintahkan salah seorang Tabi’in yaitu Abu Aswad ad-Duali untuk menulis ilmu tata cara bahas Arab atau yang disebut Nahu-Sharaf dan penulisan Al Quran. Inilah pertama kali ilmu Nahu-Sharaf dan penulisan Al Quran dengan titik dan harakat di, dan seterusnya disempurnakan dari zaman ke zaman sehingga sekarang. Semua ini dibuat karena diperlukan. Sehingga kita sekarang dapat mudah belajar membaca Al Quran dan belajar bahasa Arab.

Seperti telah kita ketahui, di Zaman Sayidina Ali ada dua pemerintahan Islam yang disebabkan oleh fitnah pembunuhan Sayidina Usman bin ‘Affan. Kemudian diakhiri dengan penyerahan kekuasaan Sayidina Hasan bin Ali kepada Sayidina Muawiyah. Kemudian Umat Islam berada kembali dalam satu pemerintahan di bawah Kerajaah Bani Umayah yang dipimpin oleh Sayidina Muawiyah radhiallahu anhu.

Sayidina Umar bin Abdul Aziz rahimahullahu

Sayidina Umar bin Abdul Aziz r.a adalah salah satu Sultan dari Bani Umayah yang dikenal keadilannya. Beliau adalah keturunan Sayidina Umar bin Khattab Khalifah yang kedua.
Di zaman ini telah terjadi fitnah terhadap keluarga Nabi dan para Shahabat yang sudah berlangsung lama sejak zaman Sayidina Ali k.w dan Sayidina Muawiyah. Golongan yang berpihak kepada Sayidina Muawiyah yang ektrim banyak mengucapkan kata yang tidak layak bahkan melaknat kepada keluarga Nabi, karena Sayidina Ali adalah menantu Nabi. Sedang golongan yang berpihak kepada Sayidina Ali yang ekstrim juga mengcapkan kata-kata yang tidak layak bahkan melaknat kepada pendukung bani Umayah, yang juga dari kalangan Shahabat. Selain itu mulai beredar hadits palsu di antaranya karena perseteruan itu.

Menyebut radhiallahu anhum setelah menyebut nama Shahabat

Sayidina Umar bin Abdul Aziz pernah mengalami kejadian itu dari kedua belah pihak ketika beliau tumbuh membesar, dan beliau merasakan tidak suka dengan adanya saling melaknat yang dilakukan bahkan ketika sedang khutbah Jumah. Akhirnya ketika beliau sudah memegang kuasa, beliau melakukan kebijakan agar semua umat Islam berhenti saling mengucapkan kata tak layak kepada keluarga Nabi dan Shahabat. Kemudia beliau memerintahkan untuk membiasakan mengucapkan radhiallahu anhu/anhum/anha, jika nama Shahabat disebut. Demikian juga agar mencintai dan menjaga keluarga serta keturunan Nabi shallallahu alaihi wassalam. Memuliakan dan mencintai keluarga dan shahabat Nabi adalah disyariatkan dalam agama Islam.

Memerintahkan penyusunan (kodifikasi) Hadits Nabi

Karena konflik politik dalam tubuh Umat Islam, ada orang-orang yang membuat-buat Hadits atau memalsukan Hadits untuk kepentingan politik masig-masing. Hal ini cukup memprihatinkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra, karena Hadist adalah sumber hukum Islam setelah Al Quran. Oleh sebab itu, beliau memerintahkan para Ulama untuk mengumpulkan hadits Shahih, agar Umat Islam dapat menjaga ilmu warisan Nabi dari Hadits, sehingga muncullah ilmu Hadits. Maka sejak saat itu para Ulama lebih giat lagi mengumpulkan Hadits dan memilah-milah mana yang shahih mana yang tidak shahih. Maka lahirlah kemudian kodifikasi (penyusunan) Kitab-Kitab Hadits dari banyak Imam perawi Hadits, yang dapat kita nikmati hingga sekarang.

Wallahu a’lam


0 Kommentare

Schreibe einen Kommentar

Deine E-Mail-Adresse wird nicht veröffentlicht. Erforderliche Felder sind mit * markiert.

de_DEGerman