Al Khaliq (الْخَالِقُ), Al Baari’ (الْبَارِئُ), Al Mushawir (الْمُصَوِّرُ)

Al Khaliq artinya Maha Mencipta, Al Bari’ artnya Yang Maha Mendesign, Al Mushawir artinya Yang Maha Memberi rupa/bentuk disini juga ada makna seni pada rupa atau bentuk yang diciptakan. Maka segala seni yang ada ini berasal dari Allah Al Mushawir. Ketiga Nama ini saling berhubungan. Nama ini mirip dan saling berkaitan maknanya yaitu ada aktivitas Mencipta, namun berbeda.
Makna Al Khaliq adalah Maha Pencipta dari perencanaan, yang telah menentukan ukuran dan takaran secara keseluruhan. Makna Al Bari’ adalah Yang Mengadakan bahan bahan untuk penciptaan yang sudah diukur dan ditakar itu dari tiada. Makna Al Mushawir adalah Mencipta setelah adanya bahan-bahan tadi kemudian Membentuk ciptaan itu dengan bentuk dan rupa yang zahir, secara detail. Jika ada orang yang kembar yang mirip sekali rupa dan bentuknya, sesungguhnya ada perbedaan antara orang yang kembar itu. Inilah ciptaan Allah Al Mushawir yang Maha Memberi bentuk dan rupa.
Yang ajaib adalah kita semua diciptakan dari tanah, kemudian Allah tiupkan ruh ke dalam tubuh manusia sehingga menjadi hidup. Dan sesungguhnya tubuh manusia yang dari tanah itu adalah model miniatur bumi, ada bebatuan dan gunung di bumi, sebagaimana tulang yang menopang tubuh manusia. Tanah yang menutupi bumi, seperti daging yang menutup tulang.

Bahan tulang dan daging manusia itu sama dengan bahan tulang dan daging hewan. Tiupan ruh itulah yang membedakan manusia dari hewan. Syeikh Ahmad Tijani berkata, tumbuhan juga diberi ruh, disebut ruh Nabatiyah sehingga tumbuhan dapat tumbuh. Juga pada hewan dari yang besar hingga yang kecil sepertinya nyamuk. Ruh yang menghidupkan ini disebut dengan ruh hayat, sehingga hewan dapat bergerak. Pada manusia disebut ruhul Insan, pada Jin disebut ruhul Jann. Tapi yang membuat ruh itu berbeda dari semua ruh itu adalah ruhul Qudus, Ruh yang suci. Jika di zaman nama, ruh ini ada pada diri para Nabi dan Rasul. Di zaman setelah tidak ada Nabi, ruh itu ada pada para wali, para kekasih Allah.
Jika manusia tidak mempunyai ruh yang terpelihara, manusia bisa menjadi seperti hewab atau lebih buruk lagi.
Kita semua juga diberi ruh hayat sebagaimana hewan. Maka jika kita hidup untuk makan (hidup bertujuan untuk makan), bukan makan agar kita dapat hidup (makan untuk hidup agar dapat beribadah, maka kita menjadi seperti hewan.

Bagaimana Asma Allah Al Khaliq (الْخَالِقُ), Al Baari’ (الْبَارِئُ), Al Mushawir (الْمُصَوِّرُ) mendekatkan hambaNya

Perumpamaan bagaimana seseorang dapat mengenal Allah dengan 3 Asma ini adalah, jika seseorang melihat suatu lukisan yang indah, sehingga sangat mengagumi dan menyukainya. Maka ia ingin sekali membayar mahal untuk membelinya. Kemudian ingin bertemu dengan pelukisnya. Ketika bertemu dengannya tentu sangat bangga sehingga ingin berkenalan dan berbincang dengannya. Bahkan mungkin ingin minta tanda tangannya.
Apabila ada pengagum lukisan yang begitu ta’jub kepada pelukisnya, mengapa kita tidak ta’jub dengan ciptaan Allah yang begitu banyak yang luar biasa ini dan tidak bersaha untuk mengenal, bertemu dan dekat denganNya?
Kita lihat ciptaan Makrokosmos yaitu bumi, planet, bulan, matahari, bintang dan lain lain yang begitu teratur pergerakannya, sehingga kita lihat keindahan alam ini. Semua ini kalau tidak ada yang mengatur, tentu akan bertabrakan.
Demikian juga dengan penciptaan manusia, tidak ada rezeki yang tertukar atau jodoh yang tertukar, karena semua sudah ada dalam perencanaan yang tepat dan indah disisi Allah sebagai Yang Maha Pencipta. Ayat yang berbunyi

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).

Sering disalahfahami, karena mengira mengubah tanpa menyandarkan diri kepada Allah. Makna sebenarnya adalah kita tidak dapat mengubah nasib diri kita, sehingga kita mengubah persepsi hati kita kepada Allah dengan sangka baik. Inilah yang dimaksud dengan hadits Qudsi:

عن أبي هريرة – رضي الله عنه – قال : قال النبي – صلى الله عليه وسلم – : يقول الله تعالى : أنا عند ظن عبدي بي ، وأنا معه إذا ذكرني

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda, ’Sesungguhnya Allah berkata: “Aku sesuai prasangka hambaku pada-Ku dan Aku bersamanya apabila ia memohon kepada-Ku” (HR Muslim)

Asma Allah ini tidak boleh kita tiru, tetapi kita mesti mengaitkan menyandarkan diri kita pada Asma Allah ini. Seperti sepasang suami istri yang ingin punya anak, mestilah mengaitkan dan menyandarkan kepada Allah yang Maha Mencipta, karena bukanlah pasangan suami istri yang menciptakan anak.

Al Ghaffar(الْغَفَّارُ)

Al Ghaffar bermakna Yang Maha Mengampuni kesalahan. Maka jika kita ingin minta ampun kita mengatakan Astagfirullah, saya memohon ampun kepada Allah.
Imam Ghazali mengatakan Al Ghaffar bermakna yang menzhahirkan keindahan dan menutup kesalahan. Maka ada doa yang ditulis oleh Syeikh Sulaiman Al Jazuli, penulis kumpulan Sholawat Dalailul Khairat, yang berbunyi, “Allahummasturna bi sitrikal jamil” yang artinya Ya Allah tutuplah (kesalahan) kami dengan tirai penutup yang indah. Yang tahu aib seorang hamba adalah Allah dan hamba itu sendiri. Maka jika ada orang yang memuji kita, sebenarnya orang itu sedang memuji Yang Menutup aib kita dengan tirai yang indah. Kita tidak pantas dipuji, karena sebenarnya aib kita telah ditutup oleh Allah.
Inilah perbedaan antara makna ghafur, taubat dan ‘afuw. Makna ‘afuwun adalah Allah menghapus dosa-dosa kita. Ghafur atau Ghafar bermakna menutup dosa.

Takhaluq dan Ta’aluq dengan Asma Allah

Takhaluq adalah meniru akhlaq Sifat atau Perbuatan dari Asma Allah. Ta’aluq adalah menghubungkan diri kita dengan Sifat dan Perbuatan dari Asma Allah. Ada Asma Allah yang kita tidak boleh menirunya (bertakhaluq) dan kita mesti menghubungkan (berta’aluq) dengan Asma Allah itu seperti Ismu Allah Al Mutakabbir. Dan ada Asma Allah yang kita mesti bertakhaluq dan berta’aluq denganNya. Nama Allah Al Ghaffar termasuk dalah satu Asma Allah yang kita mesti bertakhaluq dan berta’aluq denganNya.

Bagaimana kita mendekatkan diri kepada Allah dengan Nama Allah, Al Ghaffar(الْغَفَّارُ)?

Sebagaimana makna Nama Allah Al Ghaffar yang Maha Menutupi aib dan kesalahan, maka seorang hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, hendaknya meniru Perbuatan Allah dengan Nama Allah ini yaitu menutupi kesalahan dan aib dari hambaNya. Kita semua takut dan malu jika aib kita dibuka dihadapan makhluk, namun semestinya kita lebih takut dan malu jika aib kita dibuka di hadapan Allah. Dan sesungguhnya tidak ada aib kita yang tertutup di hadapan Allah.
Jika kita ingin aib kita ditutup oleh Allah, maka sudah sepatutnya kita menutup aib hamba Allah yang lain, agar Allah juga menutup aib kita di hadapan makhluk. Jika kita ingin mendapatkan cahaya Nama Allah Al Ghaffar, maka kita tidak akan sibuk mencari aib orang lain, tetapi sibuk dengan aib diri sendiri yang selalu nampak di hadapan Allah. Kita takut jika aib kita dibuka oleh Allah, namun juga berharap besar kepada Allah agar Allah tidak memandang aib kita dan membersihkannya.

Al Qahar(الْقَهَّارُ)

Al Qahar artinya Yang Maha Memaksa musuhNya untuk tunduk dengan Kekuasaan. Sifat ini secara mutlak hanya ada pada Allah. Jika ada hamba Allah diberi kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu untuk menundukan makhluk dengan semena-mena, Allah tidak akan meredhoinya. Namun ada cahaya Sifat Al Qahar yang diberikan kepada hambaNya yang tertentu yang diredhoi untuk memancarkan Sifat Allah ini kepada makhluk.

Siapakah hamba Allah yang mendapat cahaya Al Qahar

Mereka adalah hamba Allah yang bertawakkal (berserah diri kepada Allah), yang ikhlas, yang selalu membersihkan hatinya dari selain Allah, sehingga tidak ada makhluk yang dapat menguasai hatinya. Syaithan tidak akan dapat menggodanya, walaupun syaithon sudah berazam akan menjerumuskan manusia ke neraka.
Ada hamba Allah dari kepala Negara yang diberi kekuasaan bathin dan lahiriah sehingga dapat mengalahkan musuhnya dengan adil dan terhormat. Inilah hamba Allah yang mendapatkan cahaya Al Qahar. Inilah yang terjadi pada hamba Allah (setelah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam) yang dikenal sebagai Sultan Salahuddin Al Ayyubi yang menguasai kembali Baitul Maqdis dan Palestina) dan Sultan Muhammad Al Fatih yang melakukan Futuh Konstatinople (Istanbul).
Ada pula hamba Allah dari kalangan Ulama yang mendapat cahaya Al Qahar, yaitu Ulama yang mandiri yang tidak dapat ditundukkan oleh orang lain atau penguasa. Namun tidak berarti Ulama ini memusuhi orang lain atau penguasa, melainkan benar-benar mandiri melaksanakan dakwah dan tugasnya sebagai Ulama, tanpa dapat ditundukkan atau dipengaruhi oleh orang lain atau penguasa. Ulama ini hatinya tidak takluk kepada penguasa. Mereka tidak tergantung atau menerima bantuan dari penguasa, namun mereka juga tidak memberontak ataupun mencaci-maki terhadap penguasa, namun tetap mandiri dan berkata-kata yang baik terhadapnya. Ulama seperti ini tidak banyak. Semoga Ulama seperti ini senantiasa ada di tengah-tengah kita.

Al Wahhab (الْوَهَّابُ)

Al Wahhab artinya Yang Maha Memberi hibbah. Hibbah itu berbeda dengan sedeqah. Hibbah adalah pemberian yang tidak menuntut balasan dari yang diberi. Allah adalah Al Wahhab yang Maha Memberikan karunia kepada hambaNya tanpa mengharapkan balasan atau pamrih apapun dari hambaNya. Sifat ini secara mutlak hanya ada pada Allah.

Siapa hamba Allah yang mendapat cahaya Nama Allah Al Wahhab?

Nama Allah ini temasuk dalam Asma Allah yang kita disuruh untuk bertakhalluq (meniru) denganNya. Yaitu memberi tanpa mengharap balasan, imbalan atau pamrih dari orang yang diberi.
Jika ada hamba Allah yang suka memberi tanpa mengharapkan balasan, atau mengharap namanya terkenal atau ingin dicoblos, maka orang ini disebut Wahhab atau Jawad dan menjadi Abdul Wahhab, hamba Allah yang Maha Pemberi. Namun orang seperti ini tidak mungkin mendapatkan sifat Wahhab ini kecuali itu adalah pemberian dari Allah Al Wahhab.
Kebanyakan hamba Allah mengharapkan balasan dari hamba Allah yang lain ketika memberikan sesuatu. Orang tua mengharapkan balasan dari anaknya, suami dan istri mengharapkan balasan dari pasangannya ketika memberikan sesuatu. Penguasa jika memberi ingin terkenal atau dicoblos. Orang seperti ini tidak dapat dikatakan wahhab.
Siapakah orang yang dapat disebut wahhab atau Abdul Wahhab? Orang yang mendapat cahaya Al Wahhab ini pada umumnya ada pada guru yang ikhlas yang memberikan ilmu kepada muridnya tanpa mengharapkan balasan dari mereka. Dan orang tua yang ikhlas yang merawat dan membesarkan anaknya tanpa mengharapkan apa-apa dari anaknya. Orang tua hanya mengharapkan keselamatan lahir dan bathin bagi anaknya.
Masyaikh adalah guru dan orang tua ruhani yang mengajarkan ilmu agama adalah muridnya. Maka guru dan ulama yang ikhlas memberikan ilmu kepada muridnya tanpa mengharap balasan dan pamrih dari anak muridnya. Mereka hanya mengharapkan keselamatan ruhani dari muridnya. Inilah adalah hamba Allah yang mendapatkan cahaya Nama Allah Al Wahhab.
Cara melatih diri kita agar mendapatnya cahaya Al Wahhab adalah dengan memberi sesuatu kepada hamba Allah, tanpa perlu nama kita disebut atau ingin menjadi terkenal, atau mendapat balasan apa-apa. Jika yang guru digaji, hendaknya mereka bekerja keras melebihi target yang diberikan. Walaupun seandainya muridnya memberi hadiah, namun itu bukan harapannya apalagi sampai memberikan tarif atas kerjanya mengajar ilmu agama kepada muridnya.

Wallahu a’lam.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian