Sifat al-‘Ilm (Pengetahuan)

Sifat al-‘Ilm (pengetahuan) maknanya sifat yang qadīm yang berada pada Dzat Allah yang tersingkap dengannya sesuatu yang diketahui dari yang wajib, yang mungkin, dan yang mustahil. Dan tetapnya sifat pengetahuan itu jelas, karena seandainya Allah tidak mengetahui, maka Dia disifati dengan kebalikannya, yaitu ketidaktahuan, dan tidak masuk akal Sang Pencipta disifati dengan kekurangan ini. Dan al-Qur’an menetapkan pengetahuan Allah dalam banyak ayat, di antaranya firman Allah: “Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Aḥzāb: 40)

Mengetahui maknanya menyingkap segala sesuatu, sehingga tampak dalam pengetahuan, bukan mengadakan maupun meniadakan. Pengetahuan Allah ﷻ tidak ada awalnya, artinya Allah ﷻ tahu bukan sebelumnya didahului tidak tahu, melainkan selalu tahu segala sesuatu, karena pengetahuannya bersifat qadīm. Adapun pengetahuan manusia dapat bertambah setelah tersingkap sesuatu di hadapannya, atau setelah ada proses belajar.

Ta’alluq (keterkaitan) sifat pengetahuan Allah ﷻ berkaitan dengan segala sesuatu, baik yang wajib, yang mungkin maupun yang mustahil. yaitu bukan hanya yang mungkin, melainkan juga yang wajib dan yang mustahil. Maka Allah ﷻ mengetahui segala sesuatu tentang DiriNya yang wajib WujudNya, segala sesuatu tentang makhluk yang mungkin wujudnya, dan segala sesuatu yang mustahil akan wujudnya.

Tentang Takdir dan Pengetahuan Allah ﷻ

Allah ﷻ menakdirkan sesuatu bukan artinya Allah ﷻ memaksa, melainkan Dia telah mengetahui apa yang akan terjadi. Qaḍa itu artinya pengetahuan Allah ﷻ tentang apa yang terjadi, karena pengetahuan Allah ﷻ tidak terbatas oleh waktu. Allah ﷻ tahu sebelum segala semuanya terjadi. Qadar artinya terwujudnya sesuatu sesuai dengan pengetahuan Allah ﷻ. Jadi, takdir itu tidak mengandung unsur pemaksaan terhadap makhluk, melainkan bahwa Allah ﷻ telah menyingkap dan menetapkan segala-galanya, sedangkan kita tidak pernah tahu isinya. Di kehidupan sehari-hari, kita diberi kebebasan untuk memilih, berpikir, mengindra, belajar, dan sebagainya. Setelah sesuatu terjadi, baru lah kita tahu bahwa yang terjadi itu lah takdir Allah ﷻ. 

Sifat al-Ḥayāt (Kehidupan)

Sifat al-Ḥayāt (kehidupan) artinya sifat Allah ﷻ  yang qadīm yang berada pada Dzat Allah ﷻ  yang dengannya Allah sah bersifat dengan sifat kekuasaan (qudrah), kehendak (irādah), pengetahuan (‘ilm), dan selainnya dari sifat-sifat ma’ānī. Dalilnya firman Allah ﷻ : “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (QS. Al-Baqarah: 255)

Sifat kuasa, kehendak, pengetahuan, pendengaran, penglihatan, pembicaraan tidak mungkin ada kalau tidak ada sifat kehidupan. Maka sifat kehidupan ini menjadi asas dari terdapatnya sifat-sifat ma’ānī yang lain.

Sifat as-Sama’ (Pendengaran)

Sifat pendengaran maknanya sifat yang qadīm yang berada pada Dzat Allah ﷻ , yang dengannya Dia menyingkap seluruh bentuk suara yang ada dengan ketersingkapan yang sempurna, tetapi ketersingkapan ini berbeda dengan ketersingkapannya sifat ‘ilm. Allah ﷻ  mendengar semua suara yang ada tanpa bergantung pada alat (pendengaran), karena pendengaran dengan alat berkonsekuensi pada kebutuhan (kepada alat itu), sedangkan Tuhan itu tidak mungkin berkebutuhan, kalau tidak demikian, maka Dia sama dengan makhluk, dan itu mustahil berdasarkan pembahasan yang telah lewat.

Allah ﷻ mendengar, melihat dan berbicara dengan cara yang secara absolut berbeda dengan makhluk. Allah ﷻ mendengar secara sempurna, tidak bergantung pada waktu, jarak jangkauan, intensitas suara, dll. Pendengaran menyingkap sesuatu berbeda dengan pengetahuan. Pada manusia, kita bisa membedakan apa yang didengar dengan apa yang diketahui. Semua yang Allah dengar dan lihat, sudah pasti Allah ketahui. Namun sifat mendengar dan melihat ditekankan lagi untuk memperjelas sifat kesempurnaan bagi Allah ﷻ, yang tidak punya kecacatan.

Sifat al-Baṣar (Penglihatan)

Sifat penglihatan maknanya sifat yang qadīm yang berada pada Dzat Allah ﷻ  yang dengannya tersingkap bagi-Nya seluruh jenis hal yang tersaksikan (yang ada), dan ini bukan dengan indra juga bukan anggota tubuh, seperti penglihatannya makhluk, karena Dia tersucikan dari kebutuhan. Dan banyak ayat dalam al-Qur’an telah membuktikan keberadaan kedua sifat as-sam’ dan al-baṣar, di antaranya: “Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisā`:134)

Penglihatan Allah ﷻ sebagaimana juga pendengarannya, berkaitan dengan sesuatu yang ada, bukan yang tidak ada.

Sifat al-Kalām (Firman)

Sifat al-Kalām maknanya sifat yang qadīm yang berada pada Dzat Allah ﷻ , yang berkaitan dengan apa yang menjadi keterkaitan sifat al-‘Ilm (yakni yang wajib, mustahil dan mungkin), yaitu keterkaitan sebagai penunjuk. Allah ﷻ  berbicara tentang diri-Nya, dan tentang selain diri-Nya dengan kalām nafsī yang qadīm, dan kalām nafsī itu ditunjukkan oleh kalam lafẓi-Nya yang hādiṡ. Dan adapun kalām nafsī-Nya itu tidak berupa huruf, tidak berupa suara, dan tidak menyerupai perkataan makhluk.

Dan dalilnya firman Allah: “Ada beberapa rasul yang telah Kami ceritakan (kisah) tentang mereka kepadamu sebelumnya dan ada (pula) beberapa rasul (lain) yang tidak Kami ceritakan (kisah) tentang mereka kepadamu. Allah telah benar-benar berbicara kepada Musa (secara langsung).” (QS. An-Nisā`: 164)

Sebagian orang menyangka bahwa Allah ﷻ berbicara dengan suara dan huruf seperti halnya makhluk, namun ini tidak sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jamā’ah. Sifat kalām (berbicara) Allah ﷻ adalah sifat yang qadīm dan tidak menyerupai ucapan makhluk. Allah tidak berbicara dengan suara, huruf, atau dalam susunan bahasa tertentu, karena semua itu memerlukan alat, terjadi dalam waktu, dan merupakan ciri makhluk. Allah ﷻ berbicara dengan cara yang layak bagi Dzat-Nya, dan kita tidak tahu bagaimana pembicaraan ini.

Dalam istilah ilmu kalām, kalām Allah ﷻ terbagi dalam dua pengertian: kalām nafsī dan kalām lafī

  1. Kalām nafsī adalah sifat qadīm yang ada pada Dzat Allah ﷻ, tidak tersusun dari suara atau huruf, tidak berubah, dan tidak bergantung pada bahasa. 
  2. Adapun kalām lafī adalah ungkapan atau bentuk penyampaian kalām nafsī dalam bentuk lafaz dan bahasa yang bisa dipahami manusia, seperti al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad ﷺ, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, atau suhuf yang diwahyukan kepada Nabi Ibrahim, dan kepada orang-orang pilihan-Nya ‘alaihimussalām

Analoginya kalam nafsi adalah ketika seseorang berbicara dalam pikirannya, di mana pembicaraannya luas, tidak terstruktur, dan kalam lafzi adalah kalam nafsi yang telah disusun dan disesuaikan dengan pemahaman lawan bicara. Walaupun tetap perlu diingat bahwa analogi ini sekedar penyederhanaan saja, sedangkan Allah sangat berbeda dengan makhluk, dan hakikatnya tidak terjangkau.

Maka, al-Qur’an yang kita baca dan dengar itu merupakan kalām lafẓī, dari sisi susunan, huruf, lafaz dan suara, tetapi ia menunjuk kepada makna kalām nafsī Allah ﷻ yang qadīm. Dengan demikian, al-Qur’an yang kita pahami dan baca bukanlah kalām Allah ﷻ yang bersifat qadīm, melainkan lafaz yang Allah ciptakan dan susunkan – dalam bahasa Arab, yang diwahyukan kepada Rasulullah ﷺ melalui Malaikat Jibril ‘alaihissalām, kemudian disampaikan melalui lisan Rasulullah ﷺ kepada para Sahabat, dan diriwayatkan secara mutawātir melalui hafalan dan pengajaran antara guru-murid dari berbagai jalur pengajaran yang masif dari generasi ke generasi, hingga sampai kepada kita dalam keadaan utuh dan terjaga dari perubahan – sebagai petunjuk (dalālah) bagi kalām -Nya yang qadīm.

(Muhammad Rayyan Makiatu),
Video (Playlist) di Youtube Channel Official Media KMIB.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian