Sifat Mukhālafatu lil-Ḥawādiṡ

Sifat mukhālafatu lil-ḥawādiṡ artinya bahwa Allah ﷻ  berbeda dengan semua yang hadis, yaitu sesuatu yang pernah tidak ada (baru) atau makhluk (yang diciptakan), sebab Allah ﷻ  adalah Qadim. Allah bukan makhluk yang jisim (sesuatu yang tersusun dan memiliki ukuran) dan bukan pula ‘araḍ (aksiden, sifat yang melekat pada dzat). Dia tidak bertempat dan tidak terikat dengan waktu, karena semua itu (jisim, ‘araḍ, tempat, waktu) adalah ḥādiṡ, sedangkan Allah ﷻ  itu Qadīm, tidak berada pada diri-Nya sesuatu yang ḥādiṡ. Adapun dalilnya secara akal bahwa seandainya Allah ﷻ  itu tidak berbeda dengan makhluk, maka Dia menjadi ḥādiṡ seperti makhluk, sedangkan ini bertentangan dengan apa yang sudah dijelaskan sebelumnya pada sifat qidam dan baqā`.

Dalil dari al-Qur’an: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Sebagian umat Islam ada yang beritikad bahwa Allah ﷻ bertempat di atas langit, berpindah-pindah, duduk, memiliki tangan, memiliki kaki, dan sebagainya, padahal keyakinan Ahlus-sunnah wal-jamā’ah adalah bahwa Allah ﷻ berbeda dengan makhluk, sesuai dengan firman-Nya. 

Jisim artinya sesuatu yang tersusun dari bagian-bagian, memiliki volume atau ukuran, dan dapat menerima sifat. Contohnya manusia, batu, hewan, air, udara. Adapun ‘araḍ artinya sesuatu yang melekat berada pada dzat (jisim) dan tidak bisa berdiri sendiri. Contohnya ukuran, warna, gerak atau diam, dll.

Allah ﷻ   tidak terdiri dari bagian-bagian, tidak bertempat, dan tidak terikat waktu, karena Dia bukan jisim. Karena kalau Tuhan itu jisim, maka Dia butuh tempat dan butuh terhadap bagian-bagian pembentuknya, sedangkan hal ini tidak mungkin. Selain itu, tempat dan waktu adalah sesuatu yang memiliki awal, bukan sesuatu yang azali. Sebelum Allah menciptakan alam, tidak ada waktu dan tidak ada tempat, maka Allah ada tanpa terikat waktu dan tanpa terikat tempat.

اللهُ لا يتصلُ بشيئٍ ولا ينفصلُ عنه شيئٌ

Allah ﷻ tidak bersambung dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak terpisah dari diri-Nya sesuatu apapun. Jadi jangan membayangkan Tuhan menyatu dengan makhluk, atau ada sesuatu yang terpisah dari Dzat Tuhan ketika Tuhan menciptakan sesuatu. 

Sifat Qiyām bin-Nafsi 

Berada pada diri-Nya sendiri, maknanya bahwa Allah   tidak butuh pada maḥall (sesuatu yang ditempati) serta tidak butuh pada mukhaṣṣiṣ (sebab yang mengkhususkan), dan yang dimaksud maḥall itu adalah dzat. Padahal Tuhan   bukan lah suatu sifat yang berada pada dzat, melainkan Dia adalah Dzat yang memiliki sifat-sifat. Adapun mukhaṣṣiṣ itu adalah murajjiḥ (sebab penguat) atau sebab, dan Allah   tidak butuh akan suatu sebab, karena Dia adalah wajib al-wujūd, yang wujud-Nya dari Dzat-Nya sendiri, bukan dari selain-Nya.

Dari sifat salbiyyah ini dipahami bahwa Allah ﷻ tidak bergantung pada selain-Nya. Berdiri pada diri-Nya sendiri ini maknanya ada 2:

  1. Allah tidak butuh kepada sesuatu yang ditempati (maḥall / محلّ)
  2. Allah tidak butuh kepada sebab yang mengkhususkan (mukhaṣṣiṣ / مُخَصِّص)

Maḥall adalah wadah, tempat, atau media di mana suatu sifat, bentuk, atau perubahan melekat atau terjadi. Contohnya: warna melekat pada benda, maka permukaan benda itu menjadi maḥall bagi warna. 

Mukhaṣṣiṣ adalah sebab yang membuat sesuatu yang umum menjadi khusus, dengan kata lain, penentu spesifik. Contohnya: Kitab al-Qaul al-Mufīd disusun dengan ringkas dan tanpa istilah teknis yang berat. Dalam konteks ini, pertimbangan terhadap target audiens pemula berfungsi sebagai faktor yang mengkhususkan bentuk dan kedalaman pembahasan, layaknya mukhaṣṣiṣ dalam proses penyusunan isi. Dalam konteks penciptaan, suatu fenomena tidak terjadi kecuali ada penentu khusus, dan itulah mukhaṣṣiṣ

Sifat ini juga dikuatkan oleh masing-masing dalil rasional dan kitab suci. Akal berkata bahwa kalau Allah ﷻ  butuh pada maḥall, maka Dia menjadi sifat. Bagaimana bisa, sedangkan Dia adalah Dzat yang memiliki sifat?! Kemudian apabila Dia butuh pada murajjiḥ (sebab penguat), maka Dia menjadi ḥādiṡ sebagaimana makhluk. Sedangkan dalil yang pasti telah membuktikan bahwa Dia tidak bermula dan kekal.

Adapun dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah ﷻ : “Wahai manusia, kamulah yang memerlukan Allah. Hanya Allah Yang Maha Kaya (tidak butuh kepada yang lain) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fāṭir: 15)

Allah ﷻ tidak butuh pada maḥall apapun, karena Dia bukanlah sebuah sifat yang bergantung pada suatu dzat, melainkan Dzat yang memiliki sifat.

Suatu yang terjadi dengan cara tertentu harus memiliki sebab penguat, sebab penguat ini disebut murajjiḥ. Contohnya, Ustaz Nuruddin terlahir di Indonesia, bukan di negara lain, padahal terlahir di mana pun potensinya sama-sama mungkin menurut akal. Dalam hal ini, dan semua fenomena alam semesta memiliki murajjiḥ, yaitu kehendak Allah ﷻ. Adapun Allah ﷻ tidak butuh murajjiḥ yang mengkhususkan karakter-Nya, karena Dia berada pada diri-Nya sendiri, tidak bergantung pada yang lain. Kalau Dia bergantung, maka Dia menjadi mungkin (contingent-being), sedangkan ini mustahil. Yang membuat-Nya ada, karena keberadaan-Nya tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak disebabkan oleh apa pun.

Sifat alWaḥdāniyyah (Esa, tidak berbilang)

Sifat waḥdāniyyah maknanya tidak berbilang, dan makna Allah ﷻ  sebagai Dzat yang Esa itu adalah tidak menerima keberbilangan, maka Dia Esa, tidak ada duanya dalam dzat-Nya, dalam sifat-Nya, dan dalam perbuatan-Nya. Maka maknya waḥdāniyyah ini mencakup dzat, sifat, dan perbuatan. Adapun makna keberadaannya sebagai Dzat yang Esa dalam Dzat bahwa Dzat Allah ﷻ  tidak diserupai oleh dzat yang lain, sebagaimana Dia tidak menerima keterbagian. Maka tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyerupai Dzat-Nya dari segala aspek. Dan Dzat Allah itu Esa, tidak terdiri dari bagian-bagian.

Adapun keesaan dalam sifat itu maknanya bahwa sifat Allah tidak diserupai oleh sifat makhluk, dan Esa dalam sifat juga bermakna bahwa Allah tidak memiliki sifat berganda atau lebih dari jenis sifatnya, seperti halnya Dia punya dua kuasa atau dua kehendak misalnya. Dan Esa dalam perbuatan maknanya bahwa semua perbuatan yang terjadi pada makhluk itu diciptakan oleh-Nya, dan tidak ada pencipta selain-Nya, sekalipun manusia itu mengupayakan perbuatannya secara lahiriah.

Semua benda dalam alam semesta ini, dzatnya tersusun dari bagian-bagian, dan banyak dzat benda lain yang mirip dengannya, sedangkan hal ini berbeda dengan Allah ﷻ. Makna waḥdāniyah itu bahwa Allah Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dalam tiga cakupannya:

  1. Esa dalam dzat:
    1. Dzat-Nya tidak terdiri dari bagian-bagian;
    2. Dzat-Nya tidak diserupai oleh yang lain;
  2. Esa dalam sifat:
    1. Masing-masing sifat Allah tidak berbilang (e.g. Kuasa Allah ﷻ hanya ada satu, meskipun objek yang dikuasainya ada banyak);
    2. Sifat Allah ﷻ tidak diserupai oleh sifat makhluk;
  3. Esa dalam perbuatan: Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta itu diciptakan oleh Allah ﷻ, tiada yang lain yang menciptakan perbuatan.

Semua hal, perubahan sifat alam, terjadinya fenomena alam, termasuk perbuatan manusia, yang baik maupun yang buruk, sejatinya adalah perbuatan (ciptaan) Allah ﷻ. Termasuk fenomena alam yang melanda, atau perbuatan maksiat manusia, juga secara hakikatnya adalah ciptaan Allah ﷻ. Karena kalau kita katakan bahwa Allah hanya menciptakan yang baik, tapi tidak menciptakan yang buruk, berarti kuasa Tuhan tidak mutlak dan ada sesuatu selain Tuhan yang juga kuasa berbuat menciptakan sesuatu, sedangkan ini bertentangan dengan sifat Tuhan yang Esa.

Sifat Esa itu kukuh dalam akal, sebab apabila Dia tidak Esa, maka tidak akan ada sesuatu pun dari alam semesta, disebabkan oleh kelemahan alam semesta itu. Adapun al-Qur’an mengukuhkannya dalam ayat-ayat yang banyak, di antaranya firman Allah dalam surah al-Ikhlāṣ: “Katakanlah, ‘Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu (yang semua makhluk butuh kepada-Nya). Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.’”, dan surah al-Ikhlāṣ ini adalah ringkasan yang memadai untuk ilmu tauhid.

Kalau ada lebih dari satu tuhan, sementara Tuhan wajib memiliki kehendak dan kuasa yang absolut, maka ada 2 skenario: 

  1. Mereka bertentangan kehendaknya satu sama lain, maka:
    1. kalau salah satu menang, yang kalah berarti lemah → padahal Tuhan tidak mungkin lemah;
    2. kalau keduanya tidak bisa mewujudkan kehendaknya karena sama kuatnya → keduanya lemah dan tidak layak disebut Tuhan;
  2. Mereka sepakat satu sama lain, maka:
    1. Salah satunya tidak menambah apapun terhadap yang lain → maka tuhan kedua menjadi tidak berguna dan sia-sia; atau
    2. kalau keduanya berguna → keduanya bergantung pada kerja sama dan kekuasaannya tidak penuh;

Contohnya, kalau ada dua tuhan menguasai objek yang sama, misalnya matahari, maka yang satu ingin dia terbit, yang satu ingin dia tidak terbit, maka ini mustahil. Contoh lain, apabila dua tuhan menguasai objek yang berbeda, maka artinya kehendak mereka terbatas pada objek yang dikuasainya saja, dan kekuasaannya tidak absolut, maka tidak pantas dikatakan Tuhan. Maka semua skenario, di mana ada lebih dari satu Tuhan yang Maha Esa itu tidak diterima oleh akal.

Firman Allah ﷻ dalam al-Qur’an: “Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah, Tuhan pemilik ʻArasy, dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiyā`: 22)

(Muhammad Rayyan Makiatu),
Video (Playlist) di Youtube Channel Official Media KMIB.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian