Sifat al-Qudrah (Kuasa)

Sifat al-Qudrah (kuasa) maknanya sifat yang Qadīm yang berada pada Dzat Allah ﷻ  yang dengannya Allah ﷻ  mengadakan atau meniadakan segala makhluk-Nya. Adapun dalilnya bahwa seandainya Dia tidak mampu, maka Dia lemah, dan sifat kelemahan ini mustahil pada Allah ﷻ , karena adanya alam semesta ini, sedangkan wujudnya alam ini harus memiliki penguasa. Adapun ayat-ayat yang banyak di dalam al-Qur’an telah menunjukkan hal ini, di antaranya: “Katakanlah, ‘Berjalanlah di (muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan (semua makhluk). Kemudian, Allah membuat kejadian yang akhir (setelah mati di akhirat kelak). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (QS. Al-‘Ankabūt: 20).

Hubungan Sifat Qudrah dan Perbuatan Manusia

Sering menjadi pertanyaan, kalau semua perbuatan itu ciptaan Allah ﷻ dengan kuasa-Nya, bagaimana dengan peran manusia? Analogi sederhana, bahwa ada seorang anak kecil yang ingin makan, namun dia tidak mampu makan dan minum tanpa disuapi, maka ayahnya yang memberikan makanan kepada si anak. Dalam analogi ini, anak berkeinginan untuk makan, namun ayahnya yang melakukan perbuatan memberi makan. Begitu pula, manusia tidak punya kuasa, melainkan Allah ﷻ lah yang menciptakan gerak dan diamnya manusia, sedangkan manusia hanya mengupayakan. Maka dapat disimpulkan juga bahwa ketika kita katakan Allah ﷻ lah yang menciptakan perbuatan manusia, itu tidak menafikan fakta bahwa manusia itu lah yang memilih dan mengupayakan pekerjaannya

Dalam ilmu tauhid juga dikenal istilah kasb, yaitu upaya untuk melahirkan perbuatan. Ketika manusia memilih dan mengupayakan untuk berbuat sesuatu (misalnya seseorang berniat dan berupaya untuk shalat), Allah ﷻ lah yang menginginkan dan menciptakan perbuatan itu (Allah ﷻ menggerakkan anggota tubuhnya untuk shalat). Perbuatan ini pada lahiriahnya pada bahasa sehari-hari disebut sebagai perbuatan manusia, namun pada hakikatnya seluruhnya adalah perbuatan Allah ﷻ. Lahiriah dan hakikat ini tidak boleh dicampur aduk pemahamannya. Oleh karena Allah ﷻ berikan kebebasan manusia untuk memilih dan mengupayakan perbuatannya, maka pilihan dan upayanya ini yang akan dipertanggungjawabkan di hari akhir.

Ketika seorang muslim mengerti hakikat ini, maka manakala dia berucap “Lā ilāha illallāh”, maka dia paham bahwa Allah itu Esa dalam segala aspeknya. Manakala sadar bahwa semua kejadian dan perbuatan itu merupakan ciptaan Allah ﷻ, maka dia tidak akan gelisah ketika melihat hal yang tampak buruk, dan tidak menyombongkan diri ketika melakukan kebaikan, sekaligus merasa bertanggungjawab atas perbuatan yang diupayakannya.

Kalau Allah saja yang punya kuasa menyembuhkan, dan kekuatan penyembuhan itu bukan terletak pada obat, maka kenapa ketika sakit, tidak meminta kepada Allah saja, melainkan tetap berobat ke dokter? Jawabannya yaitu, bahwa manusia diperintahkan untuk menempuh sebab yang alami (الأخذ بالأسباب), seraya meyakini bahwa pada hakikatnya ialah Allah ﷻ yang memberikan kesembuhan. Allah lah yang menyembuhkan melalui adanya obat, sementara obat tidak mampu memberikan efek penyembuhan dengan dirinya sendiri, melainkan Allah lah yang memberi efek dengan Kuasa-Nya. Hubungan antara adanya obat dengan adanya penyembuhan itu hanyalah mungkin secara akal, bukan wajib, sehingga Allah tidak butuh adanya obat untuk memberi efek penyembuhan, dan sebaliknya, Allah tidak wajib memberi efek penyembuhan walaupun adanya obat.
Ketika seorang hamba melaksanakan perintah Allah untuk menempuh sebab alami untuk berobat dengan niat karena Allah, maka perbuatannya itu dinilai sebagai ibadah, maka hamba itu telah mendapatkan pahala. Kalau Allah beri dia sembuh dan sehat dia menjadi bersyukur. Kalau belum diberi kesembuhan, dia akan bersabar. Ini diantara manfaat mempelajari Ilmu Aqidah, red.

Sifat al-Irādah (Kehendak)

Sifat al-Irādah (Kehendak) maknanya sifat yang qadīm yang berada pada Dzat Allah yang dengannya Dia bisa mengkhususkan (menentukan) sesuatu dari kemungkinan-kemungkinan yang boleh terjadi. Contohnya seperti pengkhususan (penentuan) untuk mengadakan sesuatu di suatu tempat, bukan di tempat lain; pada waktu tertentu, bukan di waktu yang lain; dan pada suatu bentuk, bukan bentuk yang lain. Maka pengkhususan ini harus memiliki mukhaṣṣiṣ (sebab yang mengkhususkan), dan Dialah Allah dengan kehendak-Nya yang qadīm.

Adapun dalilnya bahwa kalau seandainya Allah itu tidak menghendaki, maka Dia dipaksa, dan itu bertentangan dengan ketuhanan. Karena Allah yang Maha Pencipta, yang telah menciptakan alam dengan bentuk yang kita lihat sekarang, haruslah Dia berbuat dengan kehendak, bukan dengan paksaan, karena paksaan itu meniscayakan adanya yang memaksa, sedangkan Allah Maha Kuasa atas hamba-hamba-Nya. Tidak ada sesuatupun yang memaksa Allah, melainkan justru segala sesuatu itu tunduk kepada-Nya.

Adapun dalil tetapnya sifat Iradah di dalam al-Qur’an ada banyak, di antaranya: “Sesungguhnya ketetapan-Nya, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka, jadilah (sesuatu) itu.” (QS. Yāsīn: 82)

Perbedaan sifat kehendak dan kuasa Allah ﷻ, yaitu Allah ﷻ dengan sifat kuasa-Nya itu mengadakan dan meniadakan, sedangkan dengan irādah-Nya itu mengkhususkan sesuatu yang umum atau menentukan suatu skenario dari banyak potensi yang mungkin secara akal. Tidak mungkin alam semesta yang sebegitu terukur dan teratur ini terjadi tanpa adanya kehendak dari yang mendesain alam ini.

Perbedaan Kehendak dan Ridha Allah

Ada perbedaan antara menghendaki dan meridhai. Menghendaki artinya mengkhususkan pilihan-pilihan tertentu, adapun meridhai artinya memberi pahala dan menerima. Sesuatu yang Allah kehendaki terjadi belum tentu Allah ridha. Contohnya, Tuhan tidak meridhai keburukan, tapi menghendaki keburukan, Tuhan juga tidak meridhai perbedaan agama, tapi menghendaki perbedaan agama, sebab Allah menghendaki kebebasan memilih bagi manusia dan juga menghendaki apa pun yang terjadi, dan atas pilihan manusia itulah Allah meridhai atau tidak. Maka dapat dipahami bahwa yang mengkhususkan (menentukan) segala sesuatu secara hakiki adalah Allah, adapun secara lahiriah, manusia yang mengupayakan.
Dengan meyakini Sifat Iradah Allah, setelah kita berusaha dan berdoa, kita akan selalu redho menerima apa yang menjadi Kehendak Allah, karena kita telah berusaha melaksanakan perintahNya.

Ta’alluq (Keterkaitan terhadap Objek) dari Sifat Qudrah dan Irādah

Sifat Qudrah dan Irādah Allah ini hanya berkaitan dengan hal yang mungkin. Sebab telah dipahami bahwa kuasa-Nya untuk mengadakan dan meniadakan, maka pengadaan dan peniadaan ini hanya berkaitan dengan hal yang mungkin (bisa jadi ada, bisa jadi tiada), sebab objek yang dijadikan ada atau dijadikan tiada haruslah objek yang boleh menjadi ada atau tiada, bukan objek yang wajib ada atau mustahil ada secara akal. Sebab hal yang wajib itu pasti ada dengan dirinya sendiri, dan yang mustahil itu pasti tidak ada sama sekali, sedangkan yang mungkin itu boleh jadi ada dan boleh jadi tidak ada. Begitu pula dengan sifat kehendak-Nya, hanya terkait dengan objek yang boleh untuk dikhususkan dari potensi segala yang mungkin, bukan objek yang secara akal wajib atau mustahil ada dengan kekhususan tertentu. Perhatikan contoh di bawah.

Kalau ada pertanyaan, seperti, “Apakah Allah bisa menciptakan angka 2 yang lebih besar dari angka 4?” (padahal mustahil angka 2 lebih besar dari angka 4 secara akal), “Apakah Allah bisa menciptakan sesuatu yang serupa dengan diri-Nya?” (padahal sesuatu yang diciptakan dari ketiadaan tidak akan mungkin serupa dengan diri-Nya, sedangkan Dia tidak diciptakan dari ketiadaan), “Bisakah Allah menciptakan batu begitu besar, sehingga Dia sendiri tidak mampu mengangkatnya?” (padahal kuasa-Nya tidak bisa dibatasi dengan adanya batu , dan mustahil menjadikan Tuhan maha kuasa sekaligus tidak kuasa), maka dapat dipahami pertanyaan ini mengandung hal yang mustahil atau bersifat paradoks, dan bukan lagi berkaitan dengan hal yang mungkin secara akal. Oleh sebab itu, pertanyaan ini dinilai aneh, dan hal ini bukan berarti membatasi Kuasa dan Kehendak Allah. Adapun pertanyaan seperti “Bisakah Allah membuat api tidak membakar?”, merupakan pertanyaan yang valid, sebab api yang membakar maupun tidak membakar adalah hal yang mungkin secara akal (tidak ada kontradiksi atau paradoks), meskipun api itu bersifat membakar secara kebiasaannya. 

Maka dapat disimpulkan bahwa kuasa dan kehendak Allah ini hanya berkaitan dengan hal yang mungkin, bukan hal yang wajib atau mustahil secara akal. Sebab hal yang wajib itu pasti ada dengan dirinya sendiri, dan yang mustahil itu pasti tidak ada sama sekali, sedangkan yang mungkin itu boleh jadi ada dan boleh jadi tidak ada.

(Muhammad Rayyan Makiatu),
Video (Playlist) di Youtube Channel Official Media KMIB.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian