Memahami tiga jenis hukum yang telah kita bahas pada kajian sebelum ini adalah dasar untuk kita memahami thema yang akan dibahas di bab ini yaitu tentang perbedaan mazhab (golongan) yang berkaitan dengan perbuatan manusia.

Dalil Naqli tentang perbuatan manusia

Dalam hukum Wadh’i yang diwahyukan, Allah berfirman dalam Al Qur’an Surat As-Saffat:96

وَٱللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Terjemah: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”

Ayat ini menegaskan bahwa Allah yang menciptakan manusia dan juga perbuatan manusia. Namun dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah:286, Allah berfirman:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ

Terjemah: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya

Dalam ayat ini Allah juga menegaskan bahwa manusia akan menanggung akibat dari perbuatannya, baik amal soleh maupun maksiyat.

Kedua ayat ini adalah dalil Naqli yang kelihatannya seperti bertentangan, di satu sisi Allah menciptakan perbuatan manusia di sisi yang lain manusia mesti bertanggung jawab atas perbuatannya, Sehingga di abad-abad awal Hijriyah setelah wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan para shahabat radhiallahu ‘anhum, terbentuk tiga golongan faham.

1. Golongan Jabriyah atau Jabariyah

Golongan ini berkeyakinan bahwa Allah sebagai Pencipta manusia dan perbuatan manusia. Allah Maha Mengetahui, Berkuasa dan Berkehendak kepada manusia. Sehingga semua yang terjadi adalah takdir Allah yang sudah tertulis dari zaman azali (sebelum alam semesta diciptakan). Mereka menganggap manusia tidak mempunyai keinginan dan tidak dapat menentukan perbuatannya, sehingga manusia menjadi baik dan jahat adalah karena ketentuan dari Allah, dan menyandarkan perbuatan manusia itu kepada Allah, sehingga manusia tidak bertanggung jawab atas perbuatannya sama sekali. Menurut mereka, Allah sudah menentukan manusia itu masuk ke syurga atau masuk ke neraka, sehingga manusia tidak dapat memilihnya lagi.
Mereka berkeyakinan, jika mereka bermaksiat seperti mencuri, berzina atau meminum arak, mereka katakan Allah yang telah menentukan semua ini, maka semua perbuatan itu adalah Allah yang menanggungnya dan bukan tanggung jawab manusia. Faham seperti ini menjadikan mereka berdosa dua kali yaitu pertama karena perbuatan maksiat yang dilakukannya dan kedua karena tuduhan buruk kepada Allah yang menyebabkan meraka berbuat maksiat.

Faham ini tidak dapat bertahan lama, karena pada kenyataannya manusia secara sadar dapat memilih dan menentukan perbuatannya. Manusia tidak terpaksa untuk beramal soleh atau berbuat maksiat. Faham ini tidak ada lagi di zaman sekarang. Namun gejalanya mungkin masih ada menjangkiti sebagian manusia secara tidak sadar, tanpa menyebutkan nama faham itu, yang membuat manusia menjadi malas berusaha dan cepat menyerah dengan keadaan.

2. Golongan Qadariyah

Manusia dapat menciptakan perbuatannya

Golongan Qodariyah/Mu’tazilah ini adalah anti thesis dari golongan Jabariyah. Golongan ini berkeyakinan Allah yang menciptakan alam semesta ini dan memberikan kemampuan pada manusia untuk mencipta perbuatannya. Sehingga mereka berkeyakinan bahwa manusia yang menciptakan perbuatannya, Kemudian setelah penciptaan itu, Allah membiarkan manusia berbuat sekehendaknya. Dan mereka beranggapan Allah baru mengetahui perbuatan manusia setelah manusia itu melakukannya.

Manusia menciptakan perbuatannya secara langsung dan tidak langsung

Mereka menganggap, manusia dapat menciptakan perbuatannya baik secara langsung (Mubasyarah) – seperti menciptakan perbuatan kaki yang berjalan. Maupun secara tidak langsung (Tawallud) – seperti menciptakan perbuatan batu yang memecahkan dengan menciptakan perbuatan tangan melempar batu.

Perbuatan manusia ada yang terkendali dan ada yang tidak terkendali

Mereka mengetahui ada perbuatan manusia yang tidak dapat dikendalikan seperti detak jantung, menggigil kedinginan dan sebagainya, sehingga menurut mereka gerakan ini memang Allah yang menciptakan. Sedang perbuatan yang ada dalam kendali manusia, mereka yakini merekalah yang menciptakannya. Mereka beranggapan Allah telah memberi kemampuan kepada manusia untuk menciptakan perbuatannya, sebagaimana kemampuan Allah menciptakan alam semesta ini. Karena itu mereka berkeyakinan bahwa perbuatan yang ada dalam kendali mereka, Allah tidak ikut campur dan manusia sendiri yang menentukan perbuatan dan menanggung akibatnya.

Faham Qodariyah/Mu’tazilah telah melakukan minimal 2 bid’ah yang sesat yaitu:

1. Menyangka Allah tidak mengetahui perbuatan manusia, sebelum manusia melakukkannya. Padahal Allah mempunyai Sifat Qidam dan Baqa, yang menegaskankan bahwa Allah tidak terikat dengan waktu seperti makhluk. Maka Allah Maha Mengetahui makhlukNya dan apa yang terjadi pada makhlukNya itu sejak zaman azali (sebelum alam semesta diciptakan), sehingga Ilmu Allah sudah sempurna, tidak berubah, tidak bertambah dan tidak berkurang dengan berjalannya waktu (setelah alam diciptakan).
2. Menganggap bahwa manusia dapat menciptakan perbuatannya pada tingkatan tertentu. Padahal Allah yang menciptakan perbuatan manusia, sebagaimana disebut dalam QS As-Saffat:96 di atas.

Faham ini bertahan lebih lama dari faham Jabariyah, bahkan sampai menguasai pemerintahan di zaman Kekhalifahan Abbasiyah. Namun dengan datangnya Ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi, maka faham Mu’tazilah kemudian runtuh dan akhirnya punah, karena kecerdasan Ulama Ahlussunnah wal Jamaah dalam menjelaskan faham yang benar. Manusia yang berakal sehat pasti akan menerima hujjah Ulama Ahlussunnah wal Jamaah dan meninggalkan faham Qodariyah/Mu’tazilah. Sebagaimana faham Jabariyah, gejala faham Mu’tazilah mungkin masih menjangkiti umat Islam hingga sekarang tanpa mengaku bahka meraka berfaham Mu’tazilah.

3. Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah

Golongan ini adalah golongan mayoritas umat Islam yang ada hingga di zaman kita ini. Kehebatan Ulama Ahlussunnah wal Jamaah adalah dapat menjelaskan kebenaran dalil Naqli dari dua ayat Qur’an di atas dengan dalil Aqli yang tajam dan dapat diterima fitrah akal manusia yang membuat golongan Jabariyah dan Qodariyah sadar dan kembali kepada faham Ahlussunnah wal Jamaah.

Manusia dan perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, namun manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan

Sebagaimana disebut dalam Qur’an Surat As-Saffat:96, kita meyakini bahwa Allah adalah Pencipta diri kita dan perbuatan kita. Oleh sebab itu Allah Mengetahui secara detail tentang diri kita dan perbuatan kita. Allah Maha Kuasa dan Maha Berkehendak untuk menciptakan kita dan perbuatan kita.

Walaupun perbuatan kita diciptakan oleh Allah, kita diberi keinginan untuk memilih perbuatan kita. Allah menciptakan kemampuan untuk kita dapat berbuat keinginan kita. Sehingga ketika kita mempunyai suatu keinginan misalnya kita ingin berjalan menuju suatu tempat, Allah menciptakan perbuatan kita yang mendukung kita dapat berjalan berupa – pandangan mata melihat jalan yang akan ditempuh, kaki melangkah, tangan ikut bergerak sebagai penyeimbang badan yang bergerak. Pada waktu perbuatan ini terjadi, banyak organ tubuh lain yang berfungsi untuk memungkinkan perbuatan itu, seperti, nafas yang memasukan dan mengeluarkan udara ke paru-paru, detak jantung yang menyebabkan darah mengalir, gerakan otot yang menggerakkan tulang dan banyak lagi yang kita tidak tahu. Inilah bukti bahwa perbuatan kita itu adalah ciptaan Allah bukan ciptaan kita. Allah Dzat Yang Menciptakan mesti berbeda dari dzat ciptaanNya dan berbeda dari perbuatan ciptaanNya. Manusia adalah makhluk maka perbuatannya juga makhluk dan bukan ciptaan manusia.

Kasab adalah penghubung antara keinginan dan perbuatan yang terjadi

Keinginan yang mendorong perbuatan ini disebut Kasab atau sering diterjemahkan dengan usaha. Sehingga perbuatan yang diciptakan Allah itu disandarkan tanggung jawabnya kepada manusia. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Quran Surat Al Baqarah ayat 286 yang menyebutkan “Ia (manusia) mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya“. Manusia mesti bertanggung jawab atas akibat dari kasab (usahanya itu), baik yang berupa amal soleh maupun amal maksiat.
Manusia mengetahui hubungan antara keinginannya dan perbuatan yang didorong oleh keinginannya itu melalui hukum adat (lihat kajian yang lalu) yang dia amati dan alami secara berulang-ulang pada dirinya. Maka manusia menjadi benar-benar merasakan bahwa dia dapat menentukan pilihan atas suatu perbuatan yang Allah ciptakan atas dorongan keinginannya.
Allah Maha Mengetahui manusia dan perbuatanNya, tetapi manusia bebas memilih perbuatannya sendiri dan Allah ciptakan perbuatan kita sesuai dengan keinginan manusia.

Niat menjadi landasan kasab dan nilai dari amal

Niat adalah menjadi landasan seseorang untuk melakukan kasab (usaha). Niat adalah yang mentukan nilai dari usaha manusia, sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi :

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya semua amalan itu tergantung pada niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang (balasan dari) apa yang diniatkannya

Perbuatan manusia yang diciptakan oleh Allah tunduk pada Kehendak dan Kuasa Allah

Allah menciptakan perbuatan manusia atas dasar keinginan manusia. Namun tidak semua keinginan manusia untuk berbuat sesuatu dipenuhi oleh Allah dalam penciptaannya. Perbuatan yang diciptakan itu tetap tunduk pada Kuasa dan Kehendak Allah. Semua perbuatan manusia dapat terjadi hanya karena Kuasa dan Kehendak Allah. Oleh sebab itu kadang kita mengalami bahwa keinginan kita tidak dapat direalisasikan menjadi perbuatan, misalnya kita ingin pergi ke luar rumah, tetapi badan kita lemas, ingin berdiri, tetapi kaki kita tak dapat digerakkan. Ini menunjukkan bahwa Allah yang memberi kekuatan dan kemampuan kepada kita untuk dapat melalukan perbuatan. Oleh sebab itu, ketika kita mendengar suara Adzan ajakan untuk sholat dan ajakan untuk menuju kemenangan:

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ

“Marilah mendirikan salat, marilah mendirikan salat”

حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ

“Marilah menuju kemenangan, marilah menuju kemenangan”

Hendaknya kita membaca doa:

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ

Artinya: tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah

Hikmah meyakini bahwa segala perbuatan kita adalah ciptaan Allah dan kita bertanggung jawab atas perbuatan kita.

Hikmah dari keyakinan bahwa hanya dengan Kuasa dan Kehendak Allah suatu perbuatan dapat terjadi. kita akan selalu merasakan kehambaan kepada Allah. Kita tidak merasa keberhasilan adalah milik kita. Sebaliknya suatu kegagalan adalah karena kesalahan kita.
Kita akan selalu bersyukur kepada Allah atas rahmatNya yang telah memberi karunia nikmat kesehatan dan kelapangan yang memungkinkan kita beramal soleh. Demikian juga jika kita tidak dapat merealisasikan suatu keinginan setelah kita berusaha, kita tidak putus asa untuk selalu mengharapkan rahmat Allah, agar kita terus berusaha atau kita mendapatkan hikmah dan kebaikan dari tidak terlaksananya keinginan kita itu.

Tawfiq dan Khudlan

Dalam kehidupan, ada kalanya orang berniat baik dan kemudian berusaha melaksanakan amal baiknya. Dan Allah menciptakan perbuatannya dan membuat keadaan yang memudahkan orang itu melaksanakan amal baiknya itu sehingga semua berjalan dengan lancar, maka Allah telah memberikan Tawfiq kepadanya. Ini adalah rahmat dari Allah yang mesti disyukuri. Puncak dari Tawfiq adalah Ishmah (terbebas dari dosa), sebagaimana yang terjadi pada Nabi dan Rasul. Oleh sebab itu mereka ini disebut Ma’shum (terbebas dari dosa)

Sebaliknya ada kalanya ada orang yang berada di lingkungan yang kurang baik, sehingga dia menjadi terpengaruh dengan lingkungannya yang membuat dia mudah berbuat maksiat dan sukar untuk berbuat baik. Perkara ini disebut Khudlan, Allah membiarkan orang itu jatuh dalam kemaksiatan.

Semua ini adalah ujian dari Allah agar kita dapat selalu berprasangka baik kepada Allah bahwa Allah tidak mungkin berbuat zalim kepada hambaNya dan Allah adalah bersifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Dengan mengetahui ini, hendaknya kita selalu berdoa kepada Allah agar selalu diberikan tawfiq, dan untuk dapat selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diterima. Disinilah kita melihat pentingnya belajar ilmu agama, seperti ilmu Kalam yang kita pelajari ini untuk memperkuat ilmu Tauhid.

Wallahu a’lam

Terjemah Kitab Al Muqaddimah




0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian