Hukum Syariat (lanjutan)

Dalam kajian yang lalu dijelaskan bahwa hukum Syariat adalah hukum Wadh’i dari Allah yang berupa perintah untuk dilaksanakan dalam bentuk amalan lahiriah bagi Mukallaf, maka hukum Syari’at disebut juga hukum Taklifi (yang membebani). Namun ada juga hukum Wadh’i dari Allah yang hanya menunjukkan tanda berlakunya hukum Syariat. Hukum Wadh’i yang berupa tanda-tanda berlakunya hukum Syariat ini terjadi pada semua makhluk, baik manusia maupun bukan, misalnya masuknya bulan baru di bulan Ramadhan. Pada manusia tidak hanya terjadi pada Mukallaf, tetapi juga pada yang bukan Mukallaf, contoh: adanya najis air kencing dari anak laki-laki dibawah umur 2 tahun yang hanya mimum susu dari ibunya.
Hukum Wadh’i ini mayoritasnya berkaitan pada fenomena alam yang diluar kuasa manusia. Oleh sebab itu, sebagian Ulama tidak memasukkan hukum ini kepada hukum Syari’at, melainkan hanya hukum Wadh’i. Sebagian lagi memasukannya ke dalam hukum Syariat.
Hukum Wadh’i ini dibagi 3 yaitu:
1. Sebab yaitu suatu perkara yang adanya menjadikan tanda berlakunya perkara yang lain (Musabab). Jika perkara itu (sebab) tidak ada maka perkara yang lain (musabab) itu juga tidak ada. Contoh:
– tergelincirnya matahari pada siang hari yang menunjukan masuknya waktu Zhuhur yang mewajibkan Hukum Syariat Sholat Fardhu Zhuhur bagi Mukallaf. Jika Matahari belum tergelincir pada siang hari, belum ada kewajiban hukum Syariat sholat Zhuhur.
– munculnya bulan baru di bulan Ramadhan, sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan yang mewajibkan hukum Syariat puasa di bulan Ramadhan bagi Mukallaf. Jika bulan baru di bulan Ramadhan belum ada, belum ada kewajiban hukum Syariat puasa Ramadhan.
Hukum sebab musabab ini selain ada pada Hukum Syariat, juga ada dalam Hukum Adat dan Hukum Akal yang akan dijelaskan kemudian.
2. Syarat adalah suatu perkara yang tidak wujudnya memastikan tidak wujudnya perkara lain. Tetapi wujudnya tidak mesti mewajibkan wujudnya perkara lain itu. Tidak wujudnya perkara itu menyebabkan tidak berlakunya kewajiban suatu hukum Syariat, tetapi wujudnya belum tentu menjadikan berlakunya suatu hukum Syariat. Contoh:
– Cukupnya kepemilikan harta dalam waktu setahun (haul) oleh seorang Mukallaf. Jika belum cukup setahun (haul) sudah pasti belum ada kewajiban hukum Syariat membayar zakat bagi Mukallaf. Namun jika sudah cukup syarat setahun kepemilikan (haul), mukallaf belum tentu wajib membayar zakat, karena masih tergantung apakah jumlah hartanya apakah sudah mencapai nisab atau belum. Jika harta sudah mencapai nisab dan telah dimiliki cukup setahun, maka seorang mukallaf wajib melaksanakan hukum Syariat membayar zakat.
3. Mani’ adalah suatu perkara yang wujudnya menghalangi wujudnya suatu hukum Syariat. Jika perkara ini tidak wujud, maka tidak ada penghalang untuk melaksanakan suatu kewajiban hukum syariat. Contoh:
– Haid bagi wanita yang membuatnya haram (menghalangi) berlakunya sholat fardhu baginya. Jika tidak wujud haid bagi wanita maka tidak ada penghalang bagi wanita yang Mukallaf untuk melakukan hukum Syariat sholat.

2. Hukum Adat

Hukum Adat adalah hukum yang menunjukkan rutinitas atau kebiasaan yang terjadi berulang-ulang pada alam semesta (makhluk). Sebagaimana makhluk adalah ciptaan Allah, maka hukum Adat ini juga ciptaan Allah. Hukum adat ini adalah tanda Kebesaran Allah yang juga merupakan rahmat Allah untuk memudahkan kehidupan manusia untuk dimanfaatkan. Contoh:
– suatu benda yang kita angkat jika dilepaskan, akan jatuh ke bawah dengan kecepatan tertentu.
– api akan membakar benda yang dapat terbakar.
– dan sebagainya
Peristiwa ini sering disebut hukum wajib adat. Secara hukum adat wajib adanya hubungan antara satu perkara dengan perkara lain. Namun sebenarnya hukum wajib adat ini bukan berlaku atas kuasa makhluk itu sendiri, melainkan karena Allah yang menghendaki hukum adat itu berlaku. Allah dapat memutus hubungan antara perkara itu, sesuai KehendakNya.

Hukum adat memungkinkan manusia merumuskan suatu hukum alam untuk dapat dimanfaatkan

Rutinitas atau kebiasaan dari alam semesta ini terjadi berulang-ulang, sehingga manusia dengan akalnya dapat membuat suatu rumus tentang hukum alam yang berlaku, misalnya rumus yang menggambarkan kecepatan jatuhnya suatu benda. Hukum adat ini sering juga disebut hukum alam. Jika berkenaan dengan fisika disebut ilmu dan hukum fisika, jika berkenaan dengan reaksi kimia disebut ilmu dan hukum kimia dan sebagainya. Dari hukum adat inilah manusia dapat merumuskan ilmu pengetahuan alam dari zaman ke zaman yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia.

Hukum adat di akhirat berbeda dari hukum adat di dunia

Di Akhirat kelak tidak berlaku lagi hukum adat seperti di dunia. Di sana manusia akan hidup selamanya, tidak akan melemah karena tua dan mati seperti ketika hidup di dunia. Contoh, di syurga nanti manusia jika makan banyak tidak akan gemuk dan menjadi sakit bahkan tidak perlu buang air, jika minum arak tidak mabuk. Di syurga manusia hanya hidup bersenang-senang tanpa takut akan sakit, susah dan melemah karena tua. Begitulah hukum adat di Akhirat sangat berbeda dengan hukum adat di dunia.

Hukum adat di dunia dapat berubah jika dikehendaki Allah dan bukan karena dikehendaki manusia

Oleh sebab makhluk dan hukum adat adalah ciptaan Allah maka Allah dapat mengubah hukum adat sesuai dengan KehendakNya. Kejadian yang berlaku di luar hukum adat, disebut kejadian khawariqul adat. Berbeda dengan rutinitas kebiasaan manusia yang berupa kebiasaan manusia, seperti kebiasaan bangun pagi atau bekerja setiap hari. Kebiasaan ini dapat diubah oleh manusia jika ingin mengubah kebiasaannya itu, dengan izin Allah. Oleh sebab itu kejadian yang di luar kebiasaan manusia seperti ini tidak termasuk khawariqul adat, sebagaimana yang disebut dalam hukum adat. Manusia tidak dapat mengubah hukum adat ini sesuai kehendaknya.

Khawariqul adat (hukum yang menyalahi adat)

Sebagaimana disebut di atas, hukum yang menyalahi adat atau khawariqul adat dapat terjadi karena Allah Berkehendak mengubahnya. Peristiwa ini Allah izinkan dengan beberapa maksud. Ada 5 pembagian Khawariqul ‘Adat tergantung dari siapa yang terkait dengan peristiwa itu terjadi.
1. Mu’jizat artinya yang melemahkan. Allah jadikan Mu’jizat berlaku pada Nabi atau Rasul dengan tujuan untuk memberitahukan kepada manusia bahwa orang itu adalah Nabi atau Rasul, – sebagaimana makna Mu’jizat – agar melemahkan manusia yang melihatnya sehingga tunduk dan ta’at kepada Nabi atau Rasul itu. Contoh:
– Tongkat Nabi Musa yang membelah laut merah. Dengannya Nabi Musa telah menang melawan tukang sihir Fir’aun
2. Karomah artinya kemuliaan atau kehormatan. Allah memberikan Karomah kepada para WaliNya sebagai Kemuliaan dan Kehormatannya, sehingga orang orang yang ada disekitarnya mengetahui bahwa orang itu adalah seorang Wali yaitu orang yang sangat menjaga syariat dan bertaqwa. Hatinya bersih dan selalu taat dan dekat kepada Allah.
3. Ma’unah artnya Pertolongan. Allah memberikan Ma’unah kepada orang biasa untuk membantunya misalnya dalam menghadapi suatu mushibah. Orang soleh yang mendapat ma’unah akan bertambah ta’at dan bersyukur kepada Allah.
4. Istidraj artinya menjadikan seseorang (merasa) naik derajat yang membuat pelakunya tertipu. Allah menjadikan istidraj pada orang fasik, sesat dan durhaka kepadaNya untuk mengujinya dan menipunya. agar menjadi bertambah sesat. Contoh: Istidraj yang terjadi pada Dajjal yang mengaku tuhan. Dajjal akan muncul dan melakukan tipuan seolah-olah dia adalah tuhan yang berkuasa melakukan perkara yang bertentangan dengan hukum adat, seperti menghidupkan manusia yang sudah mati. Orang yang mendapat istidraj akan bertambah durhaka kepada Allah dan jauh dariNya.
Oleh sebab itu peristiwa Khawariqul Adat bukanlah tanda seseorang itu taat dan bertaqwa kepada Allah. Tanda seseorang itu taat kepada Allah adalah bagaimana sikapnya terhadap Hukum Syariat Allah, apakah dia taat atau durhaka terhadapnya. Disini kelihatan pentingnya kita belajar ilmu Aqidah, agar tidak mudah tertipu dengan peristiwa yang luar biasa.
5. Ihanah artinya penghinaan kepada seseorang karena kedurhakaannya. Allah menjadikan Ihanah kepada orang yang durhaka untuk menghinanya. Contoh: Ihanah yang terjadi pada Musailamah Al Kadzab yang mengaku Nabi dan mencoba mengikuti Mu’jizat Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, tetapi justru menjadi penghinaan untuknya. Seseorang menceritakan kepada Musailamah bahwa Rasulullah dapat menjadikan sumur yang kering menjadi berair dan dapat bermanfaat untuk umatnya dengan berdoa kemudian meludahinya. Maka Musailamah diminta untuk melakukan yang sama pada suatu sumur kering. Ketika Musailamah berdoa dan meludahi sumur itu. Yang terjadi bukan sumur kering itu menjadi berair, tetapi sumur itu malah menjadi runtuh dan lebih buruk keadaannya dari sebelumnya. Ini adalah penghinaan bagi Musailamah Al Kadzab.

Pembagian Hukum Adat menurut hubungan ikatan antara 2 perkara yang berulang-ulang menjadi 4 bagian
  1. Ada dengan ada: contoh hubungan ikatan antara api dengan panas. Kedua perkara ini selalu terjadi dalam alam secara berulang-ulang. Hubungan ini dapat diubah atau dipatahkan atas Kehendak Allah sehingga menyalahi hukum adat, yaitu api menjadi dingin atau sejuk, sebagaimana yang terjadi sebagai Mu’jizat Nabi Ibrahim ketika dibakar oleh Raja Namrud di tengah-tengah lapangan luas dan disaksikan oleh penduduk. Hikmah kejadian ini adalah untuk disaksikan orang banyak untuk menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Nabi dan berada di pihak yang benar
  2. Ketidak-adaan dengan ketidak-adaan. Contoh: hubungan tidak makan dan tidak kenyang. tidak belajar dan tidak bertambah ilmu. Hubungan ini dimaksudkan agar manusia ketika sedang lapar dan ingin menghilangkan rasa lapar, disyariatkan untuk makan agar menjadi kenyang. Demikian juga agar manusia menambah ilmu dan pandai, manusia itu mesti belajar. Maka belajar disyariatkan oleh Allah kepada manusia, jika manusia ingin menambah ilmu dan menjadi pandai. Dengan demikian haram hukumnya jika orang berdoa ingin menjadi pandai dan berilmu tetapi tidak mau belajar.
  3. Ada dengan ketidak-adaan. Contoh: adanya lapar berhubungan dengan ketiadaan makan. Penjelasan ini dapat dilihat pada point 2.
  4. Ketidak-adaan dengan ada. Contoh: tidak adanya makan berhubungan dengan adanya lapar. Penjelasan ini dapat dilihat juga pada point 2.

3. Hukum Akal (pendahuluan)

Hukum akal adalah hukum yang dapat diketahui dengan melalui akal kita. Hukum akal tidak akan berubah dan tidak dapat dipatahkan. Hukum akal dapat difahami dengan akal tanpa perantara Rasul sebagaimana hukum Syariat dan tanpa melakukan percobaan yang berulang-ulang sebagaimana hukum adat. Oleh sebab itu hukum akal bukan ciptaan Allah, melainkan sudah wujud sebelum adanya makhluk.
Misalnya Wajib bagi akal bahwa Allah adalah Wujud dan hanya satu. Mustahil bagi akal bahwa Allah tidak ada dan adanya tuhan selain Allah. Perkara yang Wajib dan Mustahil ini tidak akan berubah dan dipatahkan oleh Kehendak dan Kuasa Allah. sebagaimana Wajib dan Mustahilnya hukum adat. Karena Kehendak dan Kuasa Allah hanya berta’aluq (berkaitan) kepada sesuatu yang Jaiz (mungkin) yaitu yang bukan Wajib dan Mustahil bagi akal. Perkara yang Jaiz ini hanya ada pada makhluk. Disini kita melihat pentingnya belajar tentang hukum-hakam ini agar kita tidak tertukar antara hukum adat dan hukum akal.

Wallahu a’lam

Terjemah Kitab Al Muqaddimah


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian