BAB VII: MUQADDIMAH BERKENAAN PERKARA AZALI (lanjutan)
5. Sifat Kalam
Makna Kalam
Makna Kalam sering difahami dengan berbicara atau untuk Allah sering disebut berfirman. Terjemahan ini sebenarnya tidak selalu benar, dan bahkan mungkin menjadi keliru, jika dimaknai dengan bersuara dan berhuruf. Makna Kalam yang lebih mendekati adalah sifat yang menunjukkan sesuatu yang ada pada dirinya, baik berupa ilmu, ungkapan rasa, keinginan dan sebagainya, atau secara ringkasnya melakukan komunikasi. Oleh sebab itu tidak mesti komunikasi itu dilakukan dengan huruf dan suara, tetapi bisa juga dengan isyarat baik berupa gerakan, teriakan, siulan, warna dan sebagainya. Bayi yang belum dalam berkata-kata, mempunyai sifat kalam untuk memberitahu ibunya, bahwa dia lapar dengan menangis. Tetapi benda, seperti radio dan televisi yang mengeluarkan kata-kata dan gambar tidak dikatakan mempunyai sifat kalam.
Kalam Nafsi dan Lafzi
Sifat Kalam adalah Sifat Wajib Allah yang ada dari zaman Azali (lihat tulisan sebelum ini). Sifat Kalam ini bersifat Qidam (tidak ada awal) dan Baqa (tidak ada akhir) atau tidak terikat dengan waktu. Oleh sebab itu Kalam Allah bukan terdiri dari suara dan huruf, karena suara dan huruf adalah makhluk yang ada awal dan ada akhirnya, yang berubah dengan berjalannya waktu. Kalam makhluk yang panjang memerlukan waktu yang lebih lama dari kalam yang pendek. Ulama Ahlussunnah wal Jamaah menjelaskan Kalam Allah agar mudah difahami sebagai berikut:
1. Kalam Nafsi
Kalam Nafsi Allah
Kalam Nafsi adalah berkomunikasi kepada diri sendiri. Kalam Nafsi Allah adalah tidak bersuara dan tidak berhuruf dan disampaikan kepada Dzat Allah sendiri. Dzat Allah adalah satu-satunya Dzat yang dapat menangkap Kalam Allah secara sempurna. Karena Dzat Allah dan Kalam Allah bersifat Qidam dan Baqa, tidak berubah dari zaman Azali. Inilah Sifat Kalam Allah yang bukan makhluk. Sifat ini Wajib ada pada Dzat Allah.
Kalam nafsi makhluk
Dalam diri makhluk juga ada kalam nafsi, yaitu rasa/fikiran yang ada dalam hati yang disampaikan kepada diri sendiri. Kalam ini ada makna dan tidak bersuara dan berhuruf. Bahkan rasa/fikiran ini kadang kadang tidak dapat diucapkan dalam kata-kata yang bersuara dan berhuruf, karena susahnya mengungkapkan perasaan dan fikiran. Namun kalam nafsi makhluk adalah juga makhluk – walaupun tidak bersuara dan berhuruf – tetap mempunyai awal dan akhir dan memerlukan waktu sebagaimana wujud makhluk itu. Maka makhluk berubah dan bertambah usianya ketika melalui kalam nafsinya.
2. Kalam Lafzi
Kalam Lafzi menunjukkan makna Kalam Nafsi yang ada pada Dzat Allah
Adalah kalam yang mempunyai lafaz yaitu yang mempunyai suara dan huruf. Allah menciptakan kalam lafzi ini agar makhluk dapat memahami makna Kalam Nafsi Allah yang ada pada Dzat Allah, karena makhluk terikat dengan waktu. Al Qur’an yang berlafaz, berhuruf dan bersuara yang dimulai dari Surat Al Fatihah sampai Surat An-Nas adalah makhluk. Tetapi lafaz Al Qur’an ini adalah menunjukkan makna Al Qur’an sebagai Kalam Nafsi yang ada pada Allah yang Azali. Kalam Lafzi ini diwahyukan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam.
Lafaz Al Qur’an dijaga oleh Allah
Lafaz Al Qur’an adalah dari Allah dan dijaga oleh Allah keasliannya hingga akhir zaman, sebagaimana firman Allah dalam QS 15 Al-Hijr ayat 9. Oleh sebab itu, walaupun ada Al Qur’an dalam bentuk Kalam Lafzi berhuruf dan bersuara, kita tetap menyebutnya Kalam Allah, sebagai rasa ta’zhim (memuliakan) karena menunjukkan makna Al Qur’an sebagai Kalam Allah yang ada pada Dzat Allah. Bahkan ketika kita memegang Mushaf Al Qur’an dan membacanya hendaknya dalam keadaan berwudhu’. Ketika kita membacanya Allah berikan pahala di setiap hurufnya.
Lafaz Kitab Suci selain AL Qur’an tidak dijaga oleh Allah
Berbeda dengan Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa, Nabi Daud dan Nabi Isa alaihimussalam. Kitab Taurat, Zabur dan Injil tidak dijaga oleh Allah, bahkan Allah sudah memberitahukan dalam Al Qur’an (QS 2. Al-Baqarah : 79) bahwa Kitab-Kitab itu sudah diubah oleh para pemuka agamanya, sehingga berbeda dari makna Taurat, Zabur dan Injil sebagai Kalam Nafsi yang ada pada Dzat Allah yang Azali.
Perkara yang dikomunikasikan oleh Kalam Allah
Perkara yang dikomunikasikan oleh Sifat Kalam Allah adalah sama dengan perkara yang diketahui oleh Sifat Ilmu Allah yaitu semua perkara dalam hukum akal, yaitu:
- perkara wajib, contoh: Allah adalah Maha Esa, dalam QS 112 Al-Ikhlas : 1
- perkara mungkin, contoh: Allah menciptakan alam semesta, dalam QS 50 Qaf : 38
- perkara mustahil, contoh: Tuhan ada lebih dari satu, dalam QS 21 Al-Anbiya : 22
Kepada siapa Allah mengkomunikasikan Sifat Kalam Allah
Kepada siapa Allah mengkomunikasikan Sifat Kalam Allah adalah sama dengan perkara yang didengar oleh Sifat Sama’ dan yang dilihat oleh Sifat Bashar yaitu semua perkara yang wujud:
- baik yang Wajib Wujud yaitu Dzat Allah itu sendiri, yaitu Kalam Nafsi
- maupun yang mungkin wujud, yaitu makhluk yang Allah ciptakan. Kalam ini dapat berupa Kalam Lafzi yang mempunyai suara dan huruf (tersurat) dan Kalam yang tidak berhuruf dan bersuara (tersirat).
Pembagian Kalam dilihat dari adanya kaitan dengan keadaan (realitas) atau tidak
1. Khabar
Yaitu kalam (pernyataan) yang berkaitan dengan suatu keadaan:
– Shiddiq (benar) adalah pernyataan yang sesuai dengan keadaan (realitas) sebenarnya, tanpa melihat keyakinan atau i’tiqad dari yang membuat pernyataan itu.
– Kadzib (dusta) adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan (realitas) yang sebenarnya, tanpa memandang keyakinan (i’tiqad) dari orang yang membuat pernyataan itu.
Contoh: Nabi Muhammad shallahu alaihi wassalam adalah Rasulullah. Pernyataan ini adalah benar, baik dikatakan oleh orang yang beriman, maupun dikatakan oleh orang yang kafir ataupun orang yang munafik, sebagaimana firman Allah dalam QS 63. Al-Munafiqun:1 yang artinya:
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Nabi Muhammad), mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar utusan Allah.” Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar utusan-Nya. Allah pun bersaksi bahwa orang-orang munafik itu benar-benar para pendusta.
Dalam ayat ini pernyataan orang munafik adalah shiddiq (benar) bahwa Nabi Muhammad adalah seorang Rasul. Walaupun ucapan itu berasal dari orang munafik, tetapi sesuai dengan keadaan sebenarnya, maka pernyataan itu disebut shiddiq (benar), yaitu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam memang benar Rasulullah. Tetapi Allah mengatakan bahwa orang munafik adalah pembohong, karena hati (keyakinan/ i’tiqad) mereka tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Rasul.
Insya’a
Yaitu pernyataan yang tidak dapat dikaitkan dengan suatu keadaan (realitas), karena belum terjadi. Maka pernyataan ini tidak dapat dikatakan apakah ianya shiddiq (benar) atau kadzib (dusta). Pernyataan ini adalah berupa perintah, harapan, larangan atau pertanyaan. Pernyataan ini tidak menyatakan suatu keadaan, oleh sebab itu tidak dapat dikatakan shiddiq (benar) atau kadzib (dusta).
Mengapa kita perlu mempelajari pembagian kalam (pernyataan) seperti ini? Perkara pembagian ini diperlukan untuk menjelaskan Sifat Wajib bagi Nabi dan Rasul, agar kita tidak keliru dalam memahami perbuatan dan perkataan Nabi shallallahu alaihi wassalam, yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
BAB VIII. MUQADDIMAH BERKENAAN SIFAT AMANAH BAGI RASUL
Nabi dan Rasul wajib bersifat shiddiq (selalu berkata benar)
Nabi dan Rasul wajib mempunyai sifat shiddiq (benar). Sifat ini berkaitan dengan perkataan Nabi yang selalu benar. Nabi selalu berkata sesuai keadaan dengan sebenarnya. Mustahil Nabi berkata dusta. Jika Nabi berkata telah bertemu Malaikat Jibril, maka Nabi memang benar telah bertemu Jibril. Jika Nabi berkata bahwa syurga dan neraka itu ada, memang benar bahwa syurga dan neraka itu benar-benar ada. Mengapa Nabi dan Rasul sudah pasti berkata benar? Karena jika sekali saja mereka berbohong, pengikutnya tidak tahu mana dari perkataanya yang benar dan yang dusta.
0 Komentar