Baris 8
سَـمِـيْعٌ الْبَـصِيْـرُ والْمُتَكَلِـمُ ۞ لَهُ صِفَـاتٌ سَـبْـعَـةٌ تَـنْـتَظِمُ
Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berfirman, Allah mempunyai 7 Sifat yang berurutan
Sifat Kalam (Maha Berfirman)
Sifat Kalam adalah di antara Sifat Ma’ani yang paling susah untuk difahami, namun sangat penting untuk diketahui. Untuk memahaminya, kita memerlukan usaha yang lebih serta mengulang-ulang, dalam mempelajari ilmu tentang Sifat Kalam ini. Oleh sebab itu Ilmu Aqidah atau Ilmu Tauhid disebut juga dengan ilmu Kalam.
Sifat Kalam Allah bersifat Salbiyah
Sifat Kalam adalah termasuk Sifat Ma’ani yang Wajib ada pada Allah. Sebagaimana Sifat Ma’ani Allah yang dijelaskan sebelum ini, Sifat Kalam Allah juga bersifat Salbiyah sebagaimana Dzat Allah (lihat https://kmibremen.de/archive/6683, https://kmibremen.de/archive/6789 dan https://kmibremen.de/archive/7100 ).
Maka Sifat Kalam bersifat Qidam dan Baqa yaitu tidak ada awal dan tidak akhirnya. Sifat Kalam Allah tidak terikat oleh waktu sebagaimana Dzat Allah. Sifat Kalam tidak serupa dengan kalam makhluk dan tidak tergantung dari selainNya. Sifat Kalam tidak terikat dengan ruang dan alat. Sifat Kalam Allah bersifat Wahdaniyah, Sifat Kalam tidak terbagi-bagi dan tidak ada dzat lain yang mempunyai Sifat Kalam seperti Sifat Kalam Allah.
Makna Kalam pada umumnya
Kata Kalam sering diartikan dengan berbicara. Oleh kebanyakan manusia berbicara difahami dengan mengeluarkan perkataan yang terdiri dari huruf dan suara. Pemahaman kata kalam ini tidak dapat dipergunakan terhadap Sifat Kalam Allah. Karena kalam yang berhuruf dan bersuara ada awalnya, ada akhirnya dan memerlukan waktu untuk dapat melakukannya. Sedang telah disebutkan di atas bahwa Dzat dan Sifat Allah tidak terikat oleh waktu, tidak ada awal dan tidak ada akhirnya. Setiap yang ada awal atau ada permulaanya adalah perkara yang baru yang diciptakan atau makhluk, maka ini mustahil ada pada Dzat Allah.
Sesuatu yang ada awal dan akhir, yang terikat oleh waktu menunjukkan ada kelemahan, di antaranya
1. Orang memerlukan waktu untuk menyatakannya . Sehingga kalimat yang panjang memerlukan waktu yang lebih lama dari pada kalimat yang lebih pendek, artinya perkataan itu dibatasi dan terikat oleh waktu.
2. Suara dan huruf yang dikeluarkan memerlukan alat untuk bersuara dan memerlukan media untuk menyampaikan. artinya tergantung dengan yang lain yaitu ruang dan media.
Lalu apa yang dimaksud dengan Kalam Allah?
Sifat Kalam Allah menurut faham Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah memahami Sifat Kalam dengan makna kalam yang telah dijelaskan di atas. Mereka tidak memahami Sifat Kalam yang selain itu. Maka menurut mereka, kalam Allah itu bersifat hadits (baru) dan diciptakan. Dan ini adalah mustahil ada pada Dzat Allah yang bersifat Qidam dan Baqa. Oleh sebab itu kaum Mu’tazilah berkeyakinan Allah tidak mempunyai sifat Kalam, karena Kalam adalah makhluk.
Niat mereka ini sebenarnya baik, yaitu ingin mensucikan Allah dari kekurangan yang ada pada sifat makhluk. Inilah pentingnya ilmu yang benar, karena niat yang baik tidak dapat membenarkan suatu yang salah menjadi benar. Kesalahan dalam Aqidah inilah yang disebut bid’ah yang sebenarnya.
Allah berfirman dalam QS An Nisa : 164
وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَٰهُمْ عَلَيْكَ مِن قَبْلُ وَرُسُلًا لَّمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ ۚ وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا
Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.
Maka menurut kaum Mu’tazilah, ketika disebutkan dalam Al Qur’an bahwa Allah berfirman kepada Nabi Musa, mereka memahami bahwa Allah menciptakan kalam yang kemudian disampaikan kepada Nabi Musa. Sehingga merekapun mengatakan bahwa Al Quran itu makhluk.
Kerajaan Abassiyah lama dikuasai oleh Raja dan pemerintah yang berfaham Mu’tazilah, sehingga menekan, menyiksa bahkan membunuh Ulama yang mengatakan Al Quran adalah Sifat Kalam Allah dan bukan makhluk. Di antaranya yang terkenal adalah Imam Ahmad bin Hanbal, yang mengasaskan salah satu Mazhab Fiqih dalam Ahlussunnah wal Jamaah. Beliau pernah disiksa dan lama dipenjara karena mempertahankan keyakinan bahwa Al Quran adalah Kalam Allah dan bukan makhluk.
Sifat Kalam menurut faham Wahabi/Salafi
Ada lagi faham yang sekarang dikenal dengan faham Wahabi/Salafi yang pemahamannya berbanding terbalik dengan faham Mu’tazilah. Mereka berkeyakinan bahwa Allah mempunyai Sifat Kalam yang bukan makhluk. Namun mereka tidak ingin susah-susah berfikir, sehingga memahami Qur’an dan Sunnah secara tekstual, sebagaimana yang tertulis. Sehingga jika disebut dalam Quran sebagai mana QS An-Nisa ayat 164 di atas, bahwa Allah berbicara dengan Nabi Musa, mereka memahami sebagaimana pemahaman berbicara pada umumnya yaitu berhuruf dan bersuara.
Maka menurut faham Wahabi/Salafi, kalam Allah adalah berhuruf dan bersuara. Hanya kemudian mereka tambahkan bahwa suara Allah berbeda dari suara makhluk. Sebagaimana mereka memahami Allah punya Wajah, punya Tangan dan punya Kaki dengan makna zahinya. kemudian mereka katakan Wajah, Tangan dan Kaki Allah berbeda dengan wajah, tangan dan kaki makhlukNya. Mereka berkeyakinan bahwa Allah punya jism, tetapi jism Allah berbeda dengan jism makhluk. Oleh sebab itu golongan ini juga disebut golongan Mujasimah.
Bagi mereka tidak masalah Kalam Allah mempunyai awal dan akhir atau terikat oleh waktu. Mereka berdalih lagi bahwa Kalam Allah ada dalam Sifat Kehendak Allah. Sehingga mereka katakan Allah bebas Berkehendak untuk berbicara kepada Nabi Musa (lihat video ini). Sedang menurut Ahlussunnah wal Jamaah, Sifat Iradah (Berkehendak) dan Qudrah (Berkuasa) hanya berkaitan (mempunyai ta’aluq) dengan semua perkara yang Jaiz (mungkin), bukan perkara yang Wajib dan bukan yang Mustahil. Maka kalau Sifat Kalam dianggap ada dalam ta’aluq Iradah, ini sama dengan menyatakan Sifat Kalam adalah termasuk dalam perkara Jaiz saja dan bukan Sifat Wajib bagi Allah, yang boleh dilakukan dan boleh Allah tinggalkan. Sifat Jaiz Allah akan dibahas dalam kajian-kajian Aqidatul Awwam yang akan datang.
Maka kalau dikatakan faham Mu’tazilah adalah ekstrim kanan maka faham Wahabi/Salafi adalah ekstrim kiri dalam pemahaman tentang Kalam Allah.
Sifat Kalam menurut Ahlussunah wal Jamaah
Faham Ahlussunnah wal Jamaah adalah faham pertengahan di antara faham Mu’tazilah dan faham Wahab/Salafi. Kita akan melihat betapa cerdas Ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang diperjuangkan oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Maturidi dalam menjelaskan Sifat Kalam Allah.
Ulama Ahlussunnah wal Jamaah membagi Kalam menjadi 2:
1. Kalam Nafsi
Yang pertama adalah Kalam Nafsi yaitu Kalam yang mempertunjukkan atau mempresentasikan ilmu yang diketahuinya kepada diri sendiri. Kita dapat memahami dan merasakan bahwa Kalam nafsi ada pada diri kita sendiri, ketika kita berkata dalam hati. Kalam atau perkataan kita itu adalah tanpa huruf dan suara. Bahkan terkadang apa yang ada dalam hati tidak dapat diucapkan atau dibahasakan dengan lisan.
Kalam nafsi yang ada pada diri kita adalah diciptakan yang mempunyai awal dan akhirnya, yang memerlukan waktu untuk melakukannya. Oleh sebab itu kalam nafsi pada makhluk adalah terbatas, sebagaimana terbatasnya dzat makhluk.
Kalam Nafsi yang ada pada Dzat Allah bersifat Salbiyah, sebagaimana telah dijelaskan di atas, bersifat Qidam (tidak ada awal) dan Baqa (tidak ada akhirnya), tidak terikat oleh waktu. Inilah yang dimaksud Sifat Kalam Allah yang bukan makhluk. Al Quran disebut Kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Kitab Taurat, Zabur dan Injil adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa, Nabi Daud dan Nabi Isa alaihim salam.
Yang berkaitan (ta’aluq) dengan Sifat Kalam
Sebagaimana telah disebutkan bahwa makna sifat Kalam adalah sifat yang mempertunjukkan Sifat Ilmu yang ada pada Dzat Allah yang tidak berhuruf dan bersuara. Oleh sebab itu Sifat Kalam berkaitan (berta’aluq) sebagaimana Sifat Ilmu, yaitu berkaitan dengan semua perkara yang Wajib, yang Mustahil dan yang Jaiz. Ilmu Allah dipertunjukkan oleh Sifat Kalam Allah. Ilmu Allah yang dipertunjukan kepada Dzat Allah itu sendiri, itulah yang dimaksud dengan Kalam Nafsi.
2. Kalam Lafzi
Yang kedua adalah Kalam Lafzi, yaitu Kalam yang mempunyai lafaz yaitu huruf dan suara. Sifat Kalam Ini adalah mempertunjukkan Sifat Ilmu Allah kepada makhlukNya. Kita sebagai makhluk yang amat terbatas oleh waktu dan ruang yang terbatas juga, hanya dapat menerima media komunikasi dengan suara dan huruf, agar kita dapat berupaya untuk memahami Ilmu Allah dengan membaca dan mempelajarinya. Kalam Lafzi ini adalah makhluk yang diciptakan.
Disyariatkan memuliakan Kalam Lafzi yang mempertunjukkan Sifat Kalam yang ada pada Dzat Allah.
Kitab Al Quran atau yang disebut juga Mushaf Al Quran yang berupa tulisan yang terdiri dari huruf yang ditulis dalam bahasa Arab di lembaran kertas adalah makhluk. Oleh sebab itu kita disyariatkan untuk memuliakan Mushaf Al Quran, karena di dalamnya memuat Kalam (Lafzi) yang menunjukkan sebagian Ilmu Allah. Kita disyariatkan untuk selalu dalam keadaan suci dari hadats besar dan kecil ketika menyentuhnya. Allah berfirman dalam QS Al Waqiah ayat 78
لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Demikian juga suara bacaan Al Quran menurut syariat mesti dimuliakan dan diperhatikan ketika kita mendengarnya, agar kita mendapat rahmat Allah, sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-A’raf [7] ayat 204:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al-Quran maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.”
Pahala dan barokah juga tetap Allah berikan ketika kita membacanya atau mendengarnya, walaupun kita tidak memahaminya, karena sikap mengagungkan (ta’zhim) kita kepada Al Quran sebagai Kalam Allah.
Allah menjaga Al Quran hingga akhir zaman
Berbeda dengan text dalam Kitab Taurat, Zabur dan Injil yang dalam perjalanan waktu sudah diubah oleh manusia, text Kitab Al Quran tetap asli sampai sekarang, sebagaimana ianya diturunkan, karena Allah yang menjaganya.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Susunan teks bahasa Arab Al Quran dari surat Al Fatihah sampai surat An Naas adalah langsung dari Allah sendiri dan bukan dari karangan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam. Disini hikmahnya Rasulullah shallallahu alaihi wassalam adalah seorang Ummiy yaitu tidak dapat membaca dan menulis. Sehingga kita semua bertambah yakin, bahwa ilmu yang didapat Rasulullah shallallahu alaihi wassalam adalah benar benar dari Allah dan bukan dari hasil membaca dari Kitab yang ada sebelumnya.
Kalam yang tersurat dan yang tersirat
Setelah kita mengetahui bahwa adanya Kalam Allah yang tersurat (berhuruf dan bersuara) yaitu Kitab Suci Al Qur’an yang menunjukkan Ilmu Allah, sebenarnya Allah juga berkalam kepada kita tanpa huruf dan suara yaitu melalui ciptaanNya. Seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini menunjukkan tanda-tanda Keagungan Allah dengan ilmuNya.
Makhluk pun dapat menunjukkan ilmunya kepada makhluk lain tanpa huruf dan suara, yaitu dengan isyarat, baik dengan anggota badan yaitu tangan, kaki, raut muka atau dengan benda. Maka lawan kata dari Kalam yang sebenarnya bukanlah bisu, karena orang bisupun dapat menunjukkan ilmunya kepada orang lain dengan isyarat. Yang dimaksud ilmu disini dapat berupa perasaan, permintaan dan sebagainya. Semakin banyak ilmu seseorang semakin banyak orang itu dapat berbicara tentang pengetahuannya.
Bahkan sebuat radio, televisi atau pengeras suara, yang mengeluarkan suara dan huruf tidak bersifat kalam, karena benda-benda itu adalah benda mati yang tidak bersifat kalam yang dapat mempertunjukkan ilmu yang ada padanya.
Jadi hakikat lawan kata kalam yang sebenarnya adalah bukan bisu, melainkan tidak dapat menunjukkan atau mempersentasikan ilmu yang ada pada dirinya.
Allah selalu berkalam kepada makhlukNya
Sifat Kalam adalah termasuk Sifat Ma’ani yang Wajib ada pada Allah. Maka Allah selalu berkalam dengan makna mempertunjukkan ilmuNya kepada makhlukNya, sebagaimana Sifat Bashar (Maha Melihat) dan Sifat Sama’ (Maha Mendengar). Sifat Maha Melihat dan Sifat Maha Mendengar hanya berkaitan dengan perkara yang wujud, baik yang Wajib (Dzat Allah) maupun yang Jaiz wujudnya (makhluk). Perkara yang wujud ini sama dengan pada Sifat Kalam Allah jika dikaitkan dengan kepada siapa Allah berkalam, yaitu kepada Dzat Allah sendiri dan kepada makhlukNya.
Sebagaimana Sifat Bashar dan Sifat Sama’, Allah selalu Melihat dan Mendengar makhlukNya, maka Allah juga selalu berkalam kepada makhlukNya. Namun kebanyakan manusia tidak merasakannya dan memahaminya. Hanya orang yang Ihsan yang dapat merasakan dilihat oleh Allah.
Dalam Hadits Jibril:
قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
(Malaikat Jibril) bertanya (kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam) “ Beritahukan kepadaku tentang ihsan “. Lalu beliau (shallallahu alaihi wassalam) bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”.
Wallahu a’lam
Text lengkap dan terjemah Aqidatul Awwam dalam dilihat di Kitab Aqidatul Awam Dan Terjemah [PDF] (terjemahkitab.com).
0 Komentar