Sifat Wujud
Makna sifat wujud adalah kenyataan (taḥaqquq), dan makna keberadaan Allah sebagai dzat yang ada adalah bahwa Allah itu nyata pada diri-Nya sendiri, maksudnya bahwa Allahﷻ itu ada secara nyata, bukan hanya ide atau imajinasi manusia, sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang yang kurang pengetahuan dari kalangan ateis.
Sesuatu dikatakan wujud, bukan karena terlihat atau terdeteksi secara indrawi atau metode empiris, melainkan karena dia memiliki kenyataan, sebagai sesuatu yang nyata. Misalnya, kita tidak perlu melihat pembuat pesawat terbang untuk mengetahui bahwa pembuatnya itu nyata, karena dampak perbuatannya terlihat, maka dapat disimpulkan bahwa ada yang membuat dampak tersebut. Maka wujudnya sesuatu tidak terikat pada bisa atau tidaknya dia dideteksi secara indrawi, namun dapat dipastikan dengan logika dan rasio, karena sesuatu yang keberadaannya dipastikan oleh akal (bukan sekedar ide dan imajinasi), bisa dikatakan nyata. Allah ﷻ dibuktikan dengan akal, bukan dengan indra yang terbatas.
Sebagian orang menuduh keberadaan Tuhan sebagai ide manusia saja, sehingga menyebut Tuhan itu ada banyak, masing-masing agama punya Tuhannya sendiri. Padahal, gambaran tentang wujud Tuhan tidak sama dengan wujud Tuhan. Wujud Tuhan itu bukanlah ide yang ada dalam imajinasi manusia, melainkan yang berada nyata dan berbeda dengan alam.
Dan adapun dalil wujud-Nya kukuh secara rasional (akal) maupun tekstual (wahyu). Adapun dalil secara rasional yaitu kebaruan alam semesta. Kita berkata alam itu baru (ada dari ketiadaan), dan segala sesuatu yang baru harus ada yang mengadakannya. Maka kesimpulannya, alam ini ada yang mengadakannya, dan dia adalah Allah ﷻ. Dan dalil secara teks wahyu ada banyak, di antaranya firman Allah ﷻ : “Ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah” (QS. Muḥammad : 19)
Kita dapat mengatakan Allah itu ada, dalilnya adalah alam semesta.
- Alam semesta berawal dari ketiadaan.
- Segala sesuatu yang berawal dari ketiadaan, pasti ada yang mengadakannya.
- Kesimpulannya, alam semesta ini ada yang mengadakannya.
Yang mengadakannya ialah Allah ﷻ, Dzat yang wājib al-wujūd yang sifatnya berbeda dengan alam semesta.
Sifat Qidam
Sifat qidam artinya ketiadaan permulaan (tidak bermula), dan makna keberadaan Allah ﷻ sebagai Dzat yang qadīm bahwa wujud-Nya tidak punya permulaan dan tidak didahului oleh ketiadaan. Sifat qidam itu dikukuhkan oleh akal dan wahyu sekaligus. Karena apabila Allah ﷻ tidak qadīm, maka wujud-Nya akan butuh kepada yang lain. Maka konsekuensinya akan terjadi daur atau tasalsul, sedang keduanya tergolong mustahil tanpa ada keraguan, dan semua yang berakibat pada kemustahilan maka dia jelas kebatilannya.
Allah ﷻ berfirman: “Dia lah Yang Maha Awal, Maha Akhir, Maha Zahir (Maha Tampak dengan kekuasaan-Nya), dan Maha Batin (Maha Tersembunyi hakikat-Nya). Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ḥadīd: 3)
Sifat qidam artinya ketidakbermulaan, dan dzat yang memiliki sifat qidam disebut Qadīm. Lawan dari sifat qidam disebut “hādiṡ”, atau baru, artinya memiliki awal. Alam semesta ini didahului oleh ketiadaan, maka disebut juga alam ini bersifat hādiṡ.
Daur (lingkaran setan) adalah saling ketergantungan melingkar antara dua hal, artinya sesuatu bergantung pada sesuatu lain yang pada gilirannya bergantung kembali pada hal pertama. Misalnya, A ada karena B, dan B ada karena A, maka A dan B saling membutuhkan untuk bisa ada. Daur ini mustahil karena A tidak bisa ada kecuali setelah ada B, dan B tidak bisa ada kecuali setelah ada A. Maka keduanya tidak akan pernah bisa ada karena saling menunggu satu sama lain.
Tasalsul (regresi infinit) adalah rangkaian sebab-akibat yang tidak pernah berhenti, atau rantai tak berujung ke belakang, artinya tidak ada sebab pertama. Misalnya, A ada karena B, B ada karena C, C ada karena D, dan seterusnya tanpa ujung (tak terhingga). Tasalsul ini mustahil karena kalau tidak ada sebab pertama yang berdiri sendiri, maka semuanya tergantung pada sesuatu yang juga tidak ada (tidak berujung), akibatnya tidak akan ada apa pun yang benar-benar ada.
Oleh karena penjelasan di atas, daur dan tasalsul ini ditolak oleh akal, maka kesimpulannya, bahwa Allah yang wājib al-wujūd ada berdiri sendiri, tanpa diawali apa pun.
Sifat Baqā`
Makna sifat baqā`adalah kekal, dan arti keberadaan Allah ﷻ bersifat baqā`ialah bahwa wujud-Nya tiada berakhir. Dan sifat baqā`itu dikukuhkan dengan akal dan wahyu sekaligus. Kalau Allah ﷻ itu tidak kekal, berarti dia musnah (fana), dan sesuatu yang musnah itu mungkin (mumkin al-wujūd), dan segala sesuatu yang mungkin itu butuh—dalam pengadaannya dan peniadaannya—kepada selainnya. Sedangkan kebutuhan itu menafikan ketuhanan secara pasti. Karena Tuhan (sesembahan) itu tidak bisa disebut sebagai Tuhan (yang berhak disembah) kecuali jika wujud-Nya dari diri-Nya sendiri.
Allah ﷻ berfirman: “Semua yang ada di atasnya (bumi) itu akan binasa. (Akan tetapi,) wajah (zat) Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. Ar-Raḥmān: 26-27)
Allah ﷻ bersifat kekal secara absolut dari diri-Nya sendiri, tidak mengalami penuaan dan tidak memungkinkan kebinasaan. Sedangkan ruh makhluk, surga dan neraka, secara akal tidak wajib bersifat kekal, hanya mungkin kekal, dan sebagaimana yang kita ketahui dari riwayat, ruh, surga, dan neraka ini akan dikekalkan oleh Allah ﷻ. Dan hal yang dikekalkan ini selalu butuh kepada-Nya.
(Muhammad Rayyan Makiatu),
Video (Playlist) di Youtube Channel Official Media KMIB.
0 Komentar