Keutamaan Ilmu
Ilmu adalah perkara penting dalam amalan Tariqat Alawiyah. Sebagian orang menyangka kepada kita penganut Ahlussunnah wal Jamaah dakwahnya tidak ilmiah. Mereka menyangka kita hanya ikut-ikutan atau ikut tradisi orang terdahulu tanpa ilmu. Padahal pendakwah kita sangat mementingkan ilmu. Para Ulama, Kyai dan Habaib kita adalah sangat berilmu. Tetapi dalam dakwahnya mereka lebih menunjukan kebijakan dalam menghadapi masyarakat (tanpa banyak menyebutkan dalil Quran dan Hadits).
Sedang ada sebagian orang yang berdakwah banyak menyebutkan dalil Quran dan Hadits, sehingga mereka merasa lebih berdakwah berdasarkan Quran dan Sunnah, dan menyangka bahwa kita tidak beramal sesuai dengan Quran dan Sunnah. Mereka tidak tahu bahwa Ulama dan Habaib kita sudah mengolah dan mengemas dakwah berdasarkan Quran dan Sunnah dengan ilmu yang tepat untuk disajikan kepada masyarakat, sehingga mudah diikuti dan diamalkan oleh masyarakat awam.
Mereka yang berdakwah dengan banyak menyebutkan Ushul yakni dalil Quran dan Hadits, seakan-akan menyuruh orang awam untuk mengambil kesimpulan dari Quran dan Hadits itu. Padahal orang awam lebih sibuk dengan urusan keduniaan dan tidak mendalami ilmu agama. Untuk memahami Quran dan Hadits diperlukan ilmu alat yang banyak. Sedang orang awam tidak mempelajarinya, sehingga mereka tidak tahu mana yang mutlak mana yang muqoyyad, mana yang umum, mana yang khas dan lain-lain. Para Ulama dan Habaib kita mempelajari ilmu alat tersebut sehingga dapat memahami dan mensajikannya kepada masyarakat.
Orang yang paling celaka adalah orang yang mengambil pemahaman Al Quran dengan fikirannya sendiri. Rasulullah bersabda, “barangsiapa yang mentafsirkan Al Quran dengan fikirannya sendiri dapat keluar dari agama Islam”.
Maksudnya adalah dalam manhaj kita Ahlussunnah wal Jamaah, ilmu sangat penting. Dakwah tanpa ilmu adalah kosong. Walaupun misalnya seseorang itu hafal ayat Quran dan sebagian Sunnah, tetapi tanpa memahami dengan benar. Maka pemahamannya itu tidak ada gunanya. Sebagaimana firman Allah:
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.
Ulama kita mengatakan kita ikut Imam Fulan atai Kyai Fulan, bukan berarti Ulama kita tidak berilmu atau tidak mengikuti Quran dan Sunnah. Melainkan Ulama kita lebih memilih bijak dalam berdakwah. Karena pemahaman orang berbeda-beda. Rasulullah shallallahu alahi wassalam bersabda yang artinya, berapa banyak orang yang mendengar sesuatu disampaikan oleh seseorang lebih faham dari pada orang yang mendengar langsung dari sumbernya. Ini menunjukkan bahwa pemahaman tiap orang itu berbeda-beda.
Ulama Habaib kita dari kalangan Ba’alawi yang berdakwah ke Indonesia yaitu para Wali Songo berdakwah dengan 5 asas Tariqat Alawiyah yang telah kita sebut di bagian pertama kajian ini. Artinya mereka berdakwah berdasarkan ilmu yang kuat. Ketika mereka datang mereka tidak langsung menyalahkan tradisi yang sudah berjalan di Nusantara ketika itu. Mereka justru menggunakan tradisi itu untuk menjadi jalan dakwah. Tetapi cara ini bukan berarti mesti terus dijalankan. Yang penting adalah tujuan dakwah itu tercapai yaitu memahamkan masyarakat tentang Islam.
Misalnya jika orang tidak suka mendengar acara Maulid, maka kita ganti saja dengan acara mari mengenal Nabi kita. Dalam acara itu dibacakan sirah Nabawiyah dan Hadits tentang Rasulullah seperti dalam Kitab Syamail Muhammadiah. Maka hakikatnya acara ini juga acara Maulid Nabi seperti yang kita kenal selama ini hanya berbeda casingnya. Semua ini tentu dijalankan sesuai dengan ilmu yang telah kita sebut tadi, agar tujuan dakwah kita sampai kepada mereka.
Ulama-Ulama yang datang berdakwah ke Nusantara terdahulu mengambil ilmu dari Ulama Habaib Ba’alawi yang mengamalkan Tariqah Alawiyah. Cara berdakwah ini diteruskan oleh Ulama sesepuh kita yaitu KH Hasyim Asy’ari dan Ulama yang juga lain. Mereka mengambil ilmunya dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Sayyid Zaini Dahlan mendapat ilmunya dari Habib Abubakar bin Abdullah bin Thalib Al Attas. Jadi sanad ilmu mereka bersambung ke Bani Alawiyah yang ada di Hadhramaut. Ajaran mereka tidak berlebihan dan tidak kekurangan melainkan berada di tengah, karena mereka mengedepankan ilmu. Mereka tidak asal berbicara, tetapi senantiasa berlandaskan ilmu yang diajarkan oleh Rasulullahu shallallahu alaihi wassalam.
Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith membahas 6 bahasan dalam mengenal ilmu yaitu:
1. Bagaimana Allah mensifatkan ilmu, pujian terhadap ilmu dan buruknya kebodohan
2. Hadits tentang ajakan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam untuk menuntut ilmu
3. Ucapan Ulama Salaf dan Khalaf tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang memiliki ilmu
4. Pembahasan sedikitnya ilmu lebih baik dari pada banyaknya ibadah (yang tanpa ilmu).
5. Keutamaan penuntut ilmu dan orang yang benar benar mendalami ilmu agama
6. Anjuran untuk bertanya kepada Ulama yang mengamalkan ilmunya dan menambahkan ilmunya secara terus menerus.
Sebagian keutamaan ilmu telah ditulis dalam Catatan Mengaji Kitab Al Manhaju As Sawi bersama Habib Ali Zainal Abidin Alkaff (1)
Orang yang berilmu jika tidak mengamalkan ilmunya, paling tidak dia mengetahui mana yang benar dan yang salah. Suatu hari nanti, besar kemungkinan dia akan mengetahui akan kesalahannya itu dan bertaubat. Begitulah manfaat ilmu.
Kalau dia mengajarkan ilmunya itu dan ilmu itu diamalkan oleh orang lain, maka orang berilmu itupun juga mendapat manfaatnya. Dan seterusnya bermanfaat selama ilmu itu diamalkan olehnya dan orang lain. Begitulah ilmu yang bermanfaat akan memberikan kebaikan kepada yang memilikinya.
Orang yang berilmu pandai apa yang mesti disampaikan
Perhatikan bagaimana seorang yang ilmunya mendalam sangat peka terhadap memilih kata-kata dalam menjawab pertanyaan agar tetap beradab kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Sayidina Abbas bin Abdul Mutholib radhiallahu anhu adalah paman Rasulullah shallallahu alaihi wassalam yang hanya terpaut 2 tahun lebih tua dari Rasulullah.
Ketika seorang Shahabat Nabi bertanya kepadanya: “Wahai Abbas, siapakah yang “lebih besar” (dalam bahasa Arabnya “akbar”) diantara anda dan Rasulullah?”.
Maka dijawab oleh Sayidina Abbas radhiallahu anhu: “Rasulullah “lebih besar” dari padaku, tetapi aku dilahirkan terlebih dahulu dari Rasulullah”.
Sayidina Abbas memahami bahwa pertanyaan tadi berkaitan dengan usia mana yang lebih tua (dalam bahasa Arabnya “akbar”) antara beliau dengan Rasulullah. Namun makna “akbar” juga dapat diartikan dengan “lebih besar” oder “lebih agung, lebih mulia”.
Karena beliau orang yang mendalam ilmunya beliau jawab: “Rasulullah “lebih besar” dari padaku, tetapi aku dilahirkan terlebih dahulu dari Rasulullah”. Beliau tetap menjawab sesuai pertanyaan yang dimaksud yaitu beliau lebih tua, namun tetap berakhlak kepada Rasulullah, dengan mengatakan Rasulullah “lebih mulia dariku”.
Demikian adab seorang yang mendalam ilmunya kepada Rasulullah shallallahu alaih wassalam.
Begitulah orang yang berilmu belajar dari bagaimana Allah memuliakan RasulNya dalam Al Quran dengan tidak memanggil dengan nama Nabi “Ya Muhammad” melainkan dengan gelar Nabi, seperti Ya Ayyuhal Muzzammil, Ya Ayyuha Al-Muddatstsir, Ya Ayyuha An-Nabiyu, Ya Ayyuha Ar-Rasul dan lain-lain. Allah memuji Rasulullah karena akhlaknya dalam Al Quran Surat Al Qalam: 4.
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Ini menunjukkan agar kita berhati hati jika membicarakan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Kita harus pandai memilih kata. Jangan sampai keluar kata-kata dari kita yang dapat mengesankan merendahkan, menghina atau menyinggung Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Sebagaimana sebagian orang bercanda dengan kata-kata yang berkaitan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.
Dikisahkan ada seorang Tabi’in bernama Waqi’ ibnul Jarrah tergelincir karena menyampaikan suatu Hadits yang seolah-olah menghina Rasulullah, karena telah salah memilih kata-kata. Namun kemudian sadar dan minta maaf kepada masyarakat ketika itu. Beliau adalah seorang alim salah satu guru dari Imam Syafei.
Hal ini terjadi juga pada dai atau penceramah yang tidak hati hati dalam memilih kata ketika mebicarakan Allah, Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan agama kita, karena menjadikannya bahan candaan. Begitulah manusia yang kurang ilmu, hanya memahami sesuatu karena sesuai kebiasaannya di tempat dan zaman dia berada. Padahal makna kata atau kalimat dalam Quran dan Hadits dapat berbeda dengan makna kata di zaman dan dan tempat kita berada.
Demikian juga orang yang tidak mendalam ilmunya menjelaskan di depan orang awam tentang ayat “Allah beristawa (bersemayam) di atas Arasy” dengan makna zahirnya, yaitu yang bagi kebiasaan orang awam dengan makna duduk. Ini akan menimbulkan fitnah fahaman Mujassimah (fahaman yang meyakini Allah itu mempunyai jism (tubuh), walaupun kemudian dikatakannya jism Dzat Allah berbeda dengan jism makhluk). Orang awam akan membayangkan Allah duduk di atas Arasy, Na’udzubillahi min dzalik.
Ada juga orang yang tak mendalami ilmu, mencoba menjelaskan di depan orang awam tentang Hadits dari Riwayat Muslim dimana Rasulullah shallallahu alaihi wassalam yang mengatakan “Ayahku (Abi) dan ayahmu (Abuka) masuk neraka”. Dengan mengatakan bahwa yang dimaksud itu adalah makna zahirnya yaitu, ayah kandung Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Ini adalah penjelasan yang menyinggung perasaan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, dan tidak benar. Semestinya kita melihat ada dalil yang lain yang menjelaskan bahwa seluruh garis keturunan dari Nabi Adam hingga Rasulullah shallallahu alaihi wassalam adalah seluruhnya manusia mukmin, tidak ada yang musyrik. Disini para Ulama memaknai kata “Abu” bukanlah bermakna ayah kandung, melainkan bermakna paman. Dan telah kita ketahui dari Firman Allah bahwa paman Rasulullah yaitu Abu Lahab memang akan masuk neraka.
Dalam Al Quran disebutkan Nabi Ya’qub bertanya kepada anak-anaknya
Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan ayah-ayahmu (nenek moyangmu) Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”
Dalam ayat ini disebutkan anak-anak Nabi Ya’qub berjanji akan menyembah Tuhan dari ayah-ayah Nabi Ya’qub. Yang dimaksud dengan ayah-ayah disini disebutkan, yaitu Ibrahim (kakek Nabi Ya’qub), Nabi Ismail (paman Nabi Ya’qub) dan Nabi Ishaq (ayah kandung Nabi Yaqub). Jadi jelas dalam Al Quran saja makna kata “Abu (ayah)” tidak selalu bermakna ayah kandung.
Begitulah pentingnya Ilmu bagi kita. Sedang orang yang jahil (bodoh) yaitu tidak berilmu, suatu saat pasti akan terjatuh kepada kema’siatan, karena ketidaktahuannya, walaupun ia seorang abid (yang gemar beribadah), sebagaimana diceritakan pada kisah Abdullah bin Mubarak yang ingin meminta doa kepada seorang abid yang ternyata jahil, tidak tahu bahwa bersetubuh dengan keledai termasuk berzina yang merupakan dosa besar.
Syeikh Ali bin Abu Bakar Sakran berkata, kejahilan adalah bagai api yang membakar agama seseorang hamba, dan sedang ilmu adalah air yang memadamkan api tersebut.
Tanya Jawab
Tanya: Apa yang dimaksud dengan hadits yang menyatakan, bahwa orang yang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya disiksa di neraka sebelum penyembah berhala?
Jawab: Memang orang berilmu yang tidak beramal lebih berat dosanya dari orang jahil yang tidak beramal. Dalam hadits lain diesbutkan orang yang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya akan disiksa seperti kuda yang tali kendalinya dari api neraka. Namun Hadits yang seperti ini diperuntukkan bagi orang yang berilmu, untuk menunjukkan besarnya tanggung jawab orang yang berilmu.
Bukan disampaikan kepada orang awam jahil, karena nanti orang jahil akan berkata untuk apa saya belajar jika nanti disiksa juga. Sedang untuk orang awam, kita mesti sodorkan Hadits tentang keutamaan ilmu dan buruknya akibat dari kejahilan. Bahwa tidak sama kedudukan orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu, agar orang terdorong untuk menuntut ilmu. Agar tidak melakukan dosa terus karena jahil, atau merasa berbuat baik padahal dia melekukan dosa, karena tidak mempunyai ilmu.
Tanya: Bagaimana agar kita dapat istiqomah mengamalkan ilmu yang telah kita pelajari?
Jawab: Istiqomah adalah sesuatu yang tidak mudah. Disebutkan dalam Quran bahwa Istiqomah dengan terpisahkan dan imam. Maka usaha agar kita dapat Istiqomah dalam beramal adalah :
1. Memupuk keimanan (Rukun Iman yang 6, red.), karena dengan itu kita terdorong untuk beramal.
2. Kita senantiasa berdoa kepada Allah agar dimudahkan dan diberkati dalam mengamalkan ilmu yang telah kita ketahui
3. Kita membuat lingkungan yang baik. Yaitu lingkungan yang memudahkan kita istiqomah beramal. Kita tidak melihat orang lain, tapi kita mulai dan melihat diri sendiri dengan membuat lingkungan yang baik.
Tanya: Apakah penggunaan kata Abu (ayah) dalam ayat yang menyebutkan bahwa ayah Nabi Ibrahim adalah penyembah berhala, dapat kita memaknai dengan paman dari Nabi Ibrahim?
Jawab: Benar sekali. Ini adalah pendapat yang kita ambil. Karena ada dalil yang mengatakan bahwa ayah Nabi Muhammad ke atas sampai ke Nabi Adam adalah semua orang beriman. Banyak hadits yang menyebutkan, bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan dari keluarga pilihan sampai ke Nabi Adam. Dalam QS 26 Asy-Syu’ara ayat 219, Allah berfirman
dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.
Maksud ayat ini adalah perpindahan sulbi Nabi ﷺ dari Nabi Adam adalah melaluil sulbi manusia yang bersujud, artinya semua adalah manusia beriman.
(Dalam Tafsir Ibnu Katsir, mengatakan bahwa Al-Bazzar dan Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan melalui dua jalur dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengemukakan takwilnya sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa makna yang dimaksud ialah perpindahan sulbi Nabi ﷺ dari sulbi manusia yang bersujud, artinya manusia beriman. https://risalahmuslim.id/quran/asy-syuaraa/26-219/ red.)
0 Kommentare