Al Malik (الملك)
Al Malik tidak memerlukan makhlukNya, namun makhlukNya sangat tergantung kepadaNya
Al Malik dapat di baca Al Maalik yang maknanya Maha Pemilik atau Al Malik yang berarti Raja, namun disini tidak dibahas lebih dalam tentang perbedaan dua makna ini. Menurut Imam Ghazali makna Allah sebagai Al Malik adalah Dzat Yang cukup dengan DzatNya dan tidak memerlukan yang selainNya (makhlukNya), inilah hakikat Raja. Namun yang selainNya (yaitu seluruh makhlukNya) sangat memerlukan Allah. Maka tidak ada sesuatu pun selain Allah yang terlepas (dari ketergantungan) dari Dzat Allah, dari Asma dan Sifat Allah. Inilah salah satu makna dari Al Malik.
Al Malik memiliki alam semesta namun tidak tergantung padanya
Segala sesuatu ini adalah karena Allah yang mengadakannya. Maka segala sesuatu itu adalah milik Allah secara mutlak. Maka tidak mungkin ada sesuatu selain Allah yang mempunyai sifat Raja seperti Raja pada Ismu Allah Al Malik. Hanya Allah yang mempunyai Sifat Al Malik dengan makna yang disebut tadi. Maka gelar Presiden, Raja, Kepala Negara atau gelar hebat yang lain di dunia ini adalah sangat terbatas pada perkara duniawi. Oleh sebab itu ketika para politisi ingin mendapat jabatan dalam pemilihan pergi mendatangi Kyai, atau dukun atau “pakar survey” untuk pemenangan pemilihan jabatan itu. Jadi yang disebut gelar Raja/Presiden pada manusia, adalah juga tergantung pada orang lain, sehebat-hebat Raja atau Presiden tetap membutuhkan orang lain. Itu sebabnya mereka juga datang kepada “Raja Qolbu”, yaitu ahli dzikir yang diberi Allah kemampuan untuk menguasai hati manusia.
Inilah perbedaan antara gelar Al Malik (Raja) pada Allah dengan raja pada manusia. Perbedaan antara kerajaan Allah dan kerajaan yang dimiliki makhluk. Allah sebagai Al Malik (Raja) memiliki seluruh alam semesta, tetapi tidak memerlukannya. Allah tidak perlu dengan langit dan bumi, tidak perlu dengan Malaikat dan sebagainya. Alam semesta termasuk Malaikat sangat bergantung kepada Allah. Sedang manusia sebagai raja atau presiden sangat memerlukan bawahannya seperti menteri-menterinya atau penasehatnya dan sebagainya.
Siapakah yang mendapat pancaran cahaya Al Malik?
Hamba Allah yang hatinya tidak dikuasai oleh siapapun kecuali Allah.
Sifat Al Malik dari Allah ini terpancar pada ruhani hamba yang dipilihNya. Yaitu hamba Allah yang hatinya tidak tergantung kepada makhlukNya dan hanya tergantung pada Allah. Hamba Allah ini benar-benar menghambakan diri kepada Allah. Maka hamba Allah inilah yang hati manusia tunduk kepadanya. Mereka bukan raja atau pimpinan secara politik, tetapi mereka adalah raja secara spiritual, namun hatinya tidak dikuasai oleh siapapun kecuali Allah. Hatinya hanya bergantung kepada Allah. Karena penghambaan dirinya yang sejati hanya kepada Allah, tidak ada yang memiliki dan menguasai hatinya kecuali Allah. Maka banyak orang yang tunduk kepadanya. Inilah “raja Qolbu” yang mendapat pancaran cahaya Al Malik dari Allah subhanallahi wa ta’ala.
Semakin tinggi rasa kehambaan seorang wali kepada Allah, semakin tinggi kedudukannya di sisi Allah
Semakin sempurna rasa kehambaan seseorang kepada Allah, semakin tinggi kedudukannya disisi Allah, sebagai raja spiritual di kalangan makhluk Allah, semakin banyak manusia yang tunduk kepadanya, bahkan raja dunia akan tunduk kepada hamba sejati Allah itu, hamba sejati dari Allah sebagai Al Malik, walaupun orang ini secara lahiriah kelihatan biasa saja.
Siapa mendapat cahaya Al Malik ini maka fikirannya, qolbunya dan ruhnya selalu terpaut dengan Allah. Bagaimana mereka terpaut kepada Allah?
Tiga golongan wali yang terhubung dengan Allah
Yang pertama golongan yang akal fikirannya ketika melihat makhluk Allah senantiasa melihat “campur tangan” dan Perbuatan Allah.
Yang kedua adalah qolbunya yang dapat memandang pada dua hal yaitu Nama dan Sifat Allah. Maka mereka yang qolbunya terisi dengan Asma dan Sifat Allah, merekalah adalah raja (qolbu) dunia yang sebenarnya.
Yang ketiga adalah yang paling tinggi, yaitu ruhnya dapat memandang Dzat Allah. Merekalah yang disebut dengan Wali-wali Qutub (Ghauts). Yang karena doa-doa merekalah hujan akan turun, negara menjadi aman dan bencana akan diangkat oleh Allah. Jika bencana seperti wabah virus corona ini belum diangkat oleh Allah. Maka sebenarnya mereka belum berdoa agar wabah ini cepat terangkat, karena salah satu adab bagi mereka adalah tidak akan meminta sesuatu kepada Allah yang berbeda atau berselisih dari Kehendak Allah.
Wali yang secara qolbu terhubung dengan Asma dan Sifat Allah, mereka masih berdoa untuk diangkatnya wabah ini. Allah telah terima doanya sebagai ibadah, tetapi Allah belum kabulkan doanya.
Cara menghubungkan hati kepada Allah
Berpuasa dari materi
Allah adalah Dzat yang tidak dapat dijangkau dengan fikiran. Lalu bagaimana agar kita menjadi hamba Allah yang hakiki yang dapat terhubung dengan Allah? Jawabnya adalah kita mesti memutus hajat ruhani kita kepada materi. Allah berfirman “Puasa adalah milikKu, maka Aku akan membalasnya langsung”. Orang yang berpuasa memutus akses materi kepadanya, maka di saat itulah dia sedang melatih rasa kehambaan kepada Allah, dia menyerahkan dirinya secara total pengaturannya kepada Allah. Maka dia pantas menjadi “raja” sebenarnya.
Puasa dari dunia non-materi
Para wali sering berpuasa, tidak hanya puasa dari hajat lahiriah (materi) tetapi juga puasa dari hajat non-materi, seperti puasa dari popularitas, puasa dari pujian, puasa dari ingin karamah dan sebagainya. Orang yang berpuasa, menyerahkan pengaturan emosi dan syahwatnya hanya kepada Allah. Semakin orang ini melepaskan dirinya dari terhubung dengan materi dunia, semakin kuat hubungan ruhaninya kepada Allah.
Mengapa kita sangat berminat kepada dunia ini? Karena kita selalu terhubung dengan dunia. Semakin kuat kita mencintai dunia, maka semakin kita membelakangi hubungan kita dengan Allah.
Nabi bersabda:” Sungguh lelah budak-budak Dinar”. Pencari dunia akan lelah ruhaninya, baik orang yang mencari dunia yang kecil (orang kecil) sampai orang mencari dunia yang besar (orang kaya), baik yang halal, apalagi yang haram. Semakin hati kita berkiblat kepada dunia, akan semakin lelah ruhani kita. Orang yang lelah ruhaninya inilah yang menyebabkan stress. Inilah yang terjadi pada orang kaya tetapi hatinya masih terus berkiblat pada dunia baik materi (harta) maupun non-materi (popularitas, ingin banyak followers, viewers dan sebagainya)”. Kita dapat menguji diri kita, apakah ketika ada orang yang suka, memuji, bertambah viewer medsos kita kita bertambah senang dan sebaliknya ketika ada orang tidak suka, mengejek, sedikit viewer medsos dsb, apakah kita bersedih? Jika kita masih demikian, maka kita masih terpaut pada dunia.
Maka jika kita ingin selalu dapat berhubung dengan Allah, maka kita mesti melepaskan diri kita dari berkiblat kepada dunia baik yang materi maupun yang non materi dan berkiblat hanya kepada Allah.
Inilah jalan para Nabi dan Wali dapat mencapai kedudukan kerajaan dunia dan akhirat. Hatinya senantiasa berdzikir mengingati Allah, karena hatinya tidak dikuasai oleh siapapun kecuali oleh Allah Al Malik, Raja Yang Maha Memiliki. Para Malaikat pun senantiasa berdzikir kepada Allah yang menjadikan mereka dapat melakukan tugasnya. Semakin tinggi kualitas dan kuantitas dzikir Malaikat, semakin tinggi kedudukan Malaikat tersebut. Semakin tinggi kualitas dan kuantitas dzikir seseorang maka semakin tinggi pula kerajaan Allah yang berdiri di hati mereka, semakin tinggi keterpautan mereka kepada Allah. Demikianlah makna Ismu Al Malik, Allah yang Maha Memiliki yang tidak bergantung selainNya. Demikianlah hamba Allah yang mendapatkan cahaya Ismu Al Malik, yang tidak terpaut hatinya kecuali hanya kepada Allah Al Malik.
Al Qudus (القدوس)
Al Qudus artinya Maha Suci Allah dari sifat kekurangan dan kesempurnaan makhluk
Ismu Al Qudus selalu dipasangkan dengan Ismu Al Malik. Al Qudus artinya Maha Suci Allah dari Sifat-Sifat yang dicapai oleh inderawi, juga tidak dapat dicapai oleh khayalan dan tidak dapat dicapai dengan angan angan atau dirasa-rasakan. Maka apapun yang tertangkap oleh indera kita, atau khayalan, atau angan-angan (fikiran) atau dirasa-rasakan (oleh hati), itu bukanlah Allah. Getaran-getaran hati kita kepada Allah, itupun bukan Allah, itu hanyalah perasaan kita tentang Allah, bukan Dzat Allah.
Makna Al Qudus adalah Maha Suci Allah dari sifat kekurangan makhluk dan juga dari sifat kesempurnaan makhluk. (Misalnya sempurnanya manusia, jika sehat dan lengkap anggota badannya, mempunyai pasangan, keluarga, punya keturunan dan sebagainya), Maha Suci Allah dari yang disifatkan itu. Orang yang tidak belajar ilmu Aqidah yang benar akan mudah terjebak dengan kesempurnaan sifat makhluk yang dibayangkan olehnya. Contohnya adalah kaum Mu’tazilah yang mengedepankan akal tetapi kemudian terjebak pada akalnya sendiri. Mereka berpendapat bahwa Sifat Maha Adil Allah, adalah Allah akan memberikan ganjaran sesuai dengan amalnya. Jadi mereka berfikir, manusia masuk syurga adalah karena amalnya, tidak masuk akal baginya bahwa Allah memasukan seseorang bukan karena amalnya. (Menurut Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, seseorang masuk syurga karena Sifat Rahmat Allah).
Kaum Mu’tazilah berfikir bahwa Mustahil Allah menciptakan keburukan. Menurut mereka Allah wajib hanya menciptakan kebaikan. Golongan ini disebut juga faham Qodariyah. Imam Ahmad bin Hambal tidak mau berbicara dengan kaum Mu’tazilah, karena mereka ini telah melakukan bid’ah. Jadi yang disebut bid’ah di zaman itu adalah golongan yang membuat bid’ah di perkara Aqidah yang asas (pokok), bukan perkara fikih yang furu` (cabang).
Memahami makna Allah istawa di atas Arasy dengan cahaya Ismu Al Qudus
Kita sering mendengar QS Thaha ayat 5
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.
Dengan memahami Ismu Allah Al Qudus maka kita dapat memahami bahwa makna istawa (bersemayam) bukanlah makna zahirnya, karena makna zahir bersemayam adalah menyerupakan Allah dengan makhlukNya pada tingkatan pertama, yaitu menempati dan ada persentuhan 2 dzat dan ini Mustahil bagi Allah. Maka ahli Kalam (ilmu Aqidah) mentakwil (mengalihkan) makna istawa agar orang awam tidak terkeliru memahaminya. Yaitu dengan makna Istaula (menguasai), namun makna berkuasa inipun bukanlah seperti berkuasanya makhluk yang terbatas, termasuk terbatas waktu. Karena ini juga menyerupakan Allah dengan makhluknya pada tingkatan kedua. Takwil ini hanyalah untuk memudahkan kita faham. Namun makna hakiki (sebenarnya) dari istawa (bersemayam) kita serahkan kepada Allah. Inilah keyakinan Ulama Ahlussunnah wal Jamaah Asy’iroh yang sebenarnya. Jika seorang hamba Allah telah dapat membuang persepsi persepsi tentang Allah yang keliru dari dirinya, sehingga dia benar-benar mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk, maka dia telah terhubung dan telah mendapat pancaran cahaya Ismu Al-Qudus.
Bagaimana agar kita mendapatkan cahaya Ismu Al Qudus?
Untuk mendapatkan cahaya ini kita dianjurkan membaca do’a ketika witir atau setelah sholat witir di setiap malam
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
Subhānal malikil quddūs.
Artinya, “Mahasuci Tuhan yang kudus,” (HR An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّنَا وَرَبُّ المَلَائِكَةِ وَالرُّوْحِ
Subbūhun, quddūsun, rabbunā wa rabbul malā’ikati war rūh.
Artinya, “Suci dan qudus Tuhan kami, Tuhan para malaikat dan Jibril,”
(HR Al-Baihaqi dan Ad-Daruqutni).
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/105934/ini-susunan-wirid-setelah-shalat-witir
Kata Qudus ini jika diteliti adalah ada juga dalam bahasa Aramaik (Syria Kuno, bahasa Nabi Isa) dan bahasa Ibrani (bahasa bani Israil) yang sama artinya. Ketika seorang hamba sudah terhubung dengan Ismu Al Qudus, sesudah selalu berdzikir dengan bertasbih, maka terbebaslah dia dari fikiran yang menyamakan Allah dengan makhluk dengan sebenar-benar pemahaman, sehingga membuatnya zuhud dari dunia dan akhirat. Yang dimaksud zuhud dengan dunia sudah kita fahami. Yang dimaksud zuhud dengan akhirat, adalah dia sudah tidak mengharapkan syurga sebagai tempat kesenangan melainkan ingin mengharapkan bertemu dengan Dzat Allah yang memiliki syurga. Demikian juga dia takut neraka bukanlah takut dengan siksaan dalam neraka, melainkan takut kepada Dzat Allah yang memiliki neraka. Inilah orang yang telah mendapat nur (cahaya) Ismu Al Qudus dalam hatinya.
Diumpamakan seperti keikhlasan anak kecil yang ketika disuruh selalu diiming-imingi dengan hadiah, sehingga dia berbuat karena hadiah. Atau dilarang sesuatu dengan ancama hukuman rotan misalnya. Maka anak hanya takut kepada rotan. Namun ketika anak itu sudah dewasa, anak itu akan mengerti bahwa yang membuatnya taat melaksanakan perintah dan menjauhi larangan adalah cinta orang tuanya yang membuatnya bahagia.
Demikianlah orang zuhud di akhirat yang hanya mengharapkan Allah, maka iapun juga mendapat nikmat di syurga dan juga terbebas dari siksa neraka.
As Salam (السلام)
Makna As Salam
Makna Ismu As Salam adalah Allah Maha Selamat atau Maha Terbebas dari segala sifat negatif, aib atau kekurangan dan keburukan, seperti sifat zalim, sifat khianat dan sebagainya. Allah itu baik Dzat, Sifat dan PerbuatanNya tidak ada kaitannya dengan sifat negatif, aib, kekurangan dan keburukan. Penjelasan ini diperlukan untuk kita lebih dapat memahami Ismu dan Sifat As-Salam yang sering diartikan dengan Allah Maha Selamat atau Maha Damai atau Maha Terbebas.
Jika makna Al Qudus adalah Maha Suci Allah dari apapun yang terbayang oleh kita baik kekurangan maupun kesempurnaan makhlukNya, maka makna As Salam adalah Allah Maha Terbebas Allah dari aib atau karakter buruk seperti zalim, menipu, iri, berkhianat dan sebagainya.
Oleh sebab itu ketika selesai sholat, kita dianjurkan membaca doa selamat sebagai berikut:
اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ وَأَدْ خِلْنَ الْجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمِ تَبَرَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَا لَيْتَ يَاذَالْجَلاَلِ وَالْأِ كْرَامِ
“Ya Allah, Engkau adalah Zat yang mempunyai kesejahteraan dan dari-Mu kesejahteraan itu kepada-Mu akan kembali lagi segala kesejahteraan itu. Ya Tuhan kami, hidupkanlah kamu dengan sejahtera. Masukkanlah kami kedalam surga kampung kesejahteraan. Engkaulah yang berkuasa memberi berkah yang banyak dan Engkaulah Yang Maha Tinggi, wahai Zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.”
Jadi doa ini berkaitan dengan keselamatan kita dari sifat-sifat buruk atau aib, bukan selamat dari musibah lahiriah. Ada doa lain yang lebih sesuai untuk keselamatan dari musibah lahiriah yaitu doa keluar rumah:
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.”
Siapakah Abdussalam, hamba Allah yang mendapat cahaya Ismu As Salam
Hamba Allah yang telah mendapat cahaya dari Ismu As Salam, mempunyai qolbu yang terbebas atau selamat dari sifat-sifat buruk, seperti sifat berkhianat, menipu, iri dengki dan keinginan buruk lain. Hamba Allah ini telah Allah bebaskan dari berbuat maksiat lahir dan bathin. Inilah ciri orang mendapat cahaya As Salam.
Jika ada orang yang belum dapat keluar dari maksiat, maka sebenarnya orang ini belum mendapat cahaya Ismu As Salam. Itulah rahasianya mengapa kita dianjurkan membaca doa selamat di atas.
Orang yang telah mendapat cahaya As Salam ini ketika bertemu dengan Allah akan membawa Qolbun Salim, hati yang selamat dari sifat-sifat buruk (akhlak mazmumah).
Imam terdahulu, seperti Ibnu Athoilah, Imam Ibnu Qoyyim Al Harowi dan Imam Ghazali membagi qolbu menjadi 3:
1. Qolbun salim yaitu hati yang selamat dari semua sifat mazmumah, seperti yang disebut di atas. Inilah tingkatan yang paling tinggi
2. Qolbun maridh (sakit) yaitu hati yang sakit yang perlu diobati. Hati yang masih tidak selamat dari sifat mazmumah, namun orang ini masih ingin mengobati qolbunya itu. Ciri-cirinya masih malas untuk taat, masih semangat untuk bermaksiat. Kalau ini ada pada kita, maka diri kita ini sedang berpenyakit. Kebanyakan kita masih mempunyai hati yang maridh (sakit). Salah satu obat adalah dengan kita masih ingin mengikuti kajian-kajian agama.
3. Qolbun mayit (qolbu yang mati), adalah hati yang sudah mati. Orang yang mempunyai hati yang seperti ini, nasehat dan ingatan orang sudah tidak dapat lagi mengobati hatinya yang sakit. Semoga kita tidak termasuk dalam golongan ini.
Wallahu a’lam
0 Kommentare