3. Hukum Akal

Hukum akal adalah bukan diciptakan oleh Allah seperti hukum Wadh’i/Syariat dan hukum adat. Hukum akal dapat difahami dengan akal itu sendiri, karena bukan bersumber dari ketetapan Allah atau aturan yang dibuat oleh manusia. sebagaimana hukum Wadh’i. Demikian juga bukan bersumber dari fenomena alam yang terjadi berulang-ulang atau yang dapat diamati dengan percobaan/eksperimen, sebagaimana hukum adat/alam. Hukum akal dapat dikatakan adalah suatu konsep yang sudah ada dalam akal kita.

Untuk mudah memahaminya kita ambil beberapa contoh

  • Contoh hukum wadh’i/syariat
    Contoh aturan manusia : kendaraan mesti berhenti ketika lampu merah menyala. Hukum ini dibuat oleh manusia untuk mengatur lalu lintas agar terhindar dari kecelakaan. Berhenti ketika lampu merah menyala, dan boleh berjalan ketika hijau menyala adalah pilihan yang ditentukan oleh manusia. Manusia dapat memilih warna lampu yang lain, atau dengan cara lain seperti dengan penjagaan petugas/polisi atau dengan palang pintu.
    Contoh hukum syariat dari Allah: orang Islam wajib melaksanakan sholat 5 waktu sehari dengan jumlah raka’ar tertentu. Jumlah sholat yang wajib dan jumlah raka’at adalah pilihan yang sudah ditentukan oleh Allah untuk umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam. Jumlah dan cara sholat ini berbeda dari Nabi-nabi sebelumnya.
  • Contoh hukum adat
    Api adalah panas yang membakar benda yang mudah terbakar. Perkara ini kita ketahui karena adanya pengalaman dan pengamatan kita atas peristiwa yang berulang-ulang atau setelah melakukan percobaan dengan api, sehingga kita berkesimpulan bahwa api adalah panas dan dapat membakar. Karena hukum adat adalah ciptaan Allah, maka Allah dapat mengubah hubungan antara api dan panas yang membakar, sehingga menjadi api yang dingin dan aman bagi makhluk yang dikehendakiNya, sebagaimana mu’jizat yang terjadi pada nabi Ibrahim alaihissalam.

Hukum akal dapat kita ketahui tanpa ditetapkan seperti hukum wadh’i/syariat dan tanpa perlu pengamatan atas pengulangan dan melakukan percobaan/experiment. Contoh:

  • 1+1 = 2.
    Hasil 1 ditambah 1 adalah 2 bukan dari aturan atau pilihan yang dibuat oleh manusia atau ketentuan dari Allah. Hasil 1+1 = 2 adalah ketetapan yang sudah pasti dan difahami oleh akal manusia, tanpa perlu percobaan atau experiment. Hasil ini pasti dan tidak dapat diubah oleh aturan manusia atau bahkan oleh Kehendak Allah.
  • Mustahil benda yang lebih besar dari suatu lubang dapat masuk ke lubang itu. Kesimpulan ini bukan diatur atau ditetapkan baik oleh manusia (undang-undang), maupun oleh Allah (syariat). Akal manusia dapat memahaminya tanpa perlu percobaan/experiment. Kesimpulan ini sudah pasti dan tidak dapat diubah oleh aturan manusia dan oleh Kehendak Allah.

Hukum akal ada 3 perkara

  1. Wujub (Wajib), yaitu suatu perkara yang akal kita hanya menerima kewujudan suatu konsep dan menolak ketidakwujudannya
  2. Istihalah (Mustahil), yaitu suatu perkara yang akal kita menolak kewujudan suatu konsep dan hanya menerima ketidakwujudannya. Mustahil adalah lawan dari Wajib.
  3. Jawaz (Jaiz atau mungkin), yaitu suatu perkara yang akal kita dapat menerima kewujudan suatu konsep dan ketidakwujudannya.
Apa maksud hukum akal tidak dapat berubah dan dipatahkan?

Yang dimaksud bahwa hukum akal tidak dapat diubah dan dipatahkan walaupun oleh Kuasa dan Kehendak Allah adalah:
– Suatu perkara yang wajib, tidak dapat berubah menjadi mustahil atau jaiz.
– Demikian juga suatu perkara yang mustahil, tidak dapat berubah menjadi wajib atau jaiz.
– Dan perkara yang Jaiz tidak dapat berubah menjadi wajib atau mustahil.
Maka Kehendak dan Kuasa Allah hanya berta’aluq (berhubungan) dengan perkara yang jaiz (mungkin) saja, bukan perkara yang wajib dan bukan perkara yang mustahil.

Perkara dharuri/badihi dan nazhori

Ada perkara hukum akal yang akal kita dapat mudah memahami. Perkara yang mudah ini disebut perkara dharuri/badihi. Kita ambil contoh di atas : 1+1 = 2. Kita tidak perlu menghitung atau berfikir keras untuk mengetahui hasil dari 1+1 = 2.

Ada pula perkara hukum akal yang memerlukan kita bertafakur atau berfikir yang mendalam untuk kita dapat memahaminya. Perkara yang memerlukan dalil dan penjelasan ini disebut perkara nazhori. Itulah sebabnya banyak perintah dan anjuran dalam Al-Qur’an yang menyuruh kita untuk bertafakur dan menggunakan akal kita. Contoh perkara yang nazhori adalah menghitung keliling suatu lingkaran adalah Pi x Diameter dari lingkaran itu. Pi adalah suatu angka konstant. Mengapa demikian dan berapa angka Pi itu?. perlu penjelasan dan dalil agar kita dapat memahaminya.

Setiap perkara itu (Wajib, Mustahil dan Jaiz) masing masing ada yang dharuri/badihi dan ada perkara yang nazhori.

Perkara Wajib dan Mustahil yang dharuri

Contoh perkara Wajib yang mudah difahami (dharuri) adalah Tahayus, yaitu: sesuatu jirim (benda) yang mempunyai panjang, lebar dan dalam atau bervolume pasti (wajib) menempati suaru ruangan. Akal kita dapat memahaminya dengan mudah. Jirim jika dibagi menjadi 2, kemudian dibagi 2 dan seterusnya dibagi 2, sampai tidak dapat dibagi lagi menjadi 2, ini disebut jauhar farad (titik) yang tidak mempunyai panjang, lebar dan dalam. Suatu titik pasti mempunyai suatu posisi dalam ruang, tetapi tidak mengambil volume ruangan.

Maka mustahil jirim yaitu benda yang bervolume diciptakan tanpa menempati ruang. Namun ternyata ada umat Islam yang tidak memahami perkara dharuri ini, karena terlalu memegang dalil Naqli (Quran dan Hadits) secara tekstual, sehingga melanggar hukum akal yang tetap dan tidak berubah. Golongan itu mempelajari ilmu Aqidahnya dengan membagi Tauhid menjadi 3 yaitu, Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma dan Sifat yang difahaminya secara tekstual atau secara lahiriah saja. Sehingga ketika mereka membaca dalil Naqli bahwa Allah istawa alal Arsy (Allah beristawa/bersemayam di atas singgasana), mereka meyakini bahwa Allah mempunyai tempat yaitu Arsy (singgasana). Golongan yang meyakini Allah mempunyai jism (jasmani) yang jirim (mempunyai volume) disebut kaum Mujassimah.

Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah bukan jism, bukan jirim (benda bervolume). Hanya makhluk yang berupa jisim dan jirim mempunyai volume serta menempati ruang. Bahkan ruang juga merupakan makhluk. Oleh sebab itu untuk menyebutkan wujudNya Allah, dipakai istilah Dzat Allah, bukan jism. Maka pertanyaan tentang Allah yang dikaitkan dengan ruang dan tempat tidak relevan, seperti di mana Allah, berapa besar ukuran Allah atau jika Allah Maha Kuasa, mampukah Allah menciptakan benda yang lebih besar dari Allah?
Semua pertanyaan ini dikatakan tidak relevan, karena kekeliruan sang penanya dalam memahami hukum akal yang wajib dan mustahil, bukan karena Allah tidak Maha Kuasa,

Perkara Wajib dan Mustahil yang nazhori

Contoh perkara Wajib yang nazhori adalah Sifat Qidam Allah, yaitu tidak mempunyai awal. Perkara ini memerlukan dalil penjelasan dengan berfikir mendalam. Karena kita melihat semua benda atau makhluk selalu ada awalnya, dan bertambah tua atau bertambah umurnya dengan berjalannya waktu. Oleh sebab itu sering kita bertanya tentang benda atau makhluk, sejak kapan benda itu ada, atau kapan seseorang itu lahir. Jawabannya bisa berupa waktu dengan tanggal tertentu, atau kita membandingkan dengan suatu kejadian yang bersamaan dengan mulai adanya benda itu atau kelahiran seseorang itu. Rasulullah shallalahu alaihi wassalam lahir para tahun Gajah, karena beliau lahir di tahun yang sama ketika Abrahah datang ke Mekkah dengan tentara Gajah.
Berbeda dengan Dzat Allah, pertanyaan sejak kapan Allah itu ada, tidak relevan, karena Allah bukan diciptakan dan tidak bertambah tua atau bertambah umur dengan berjalannya waktu. Waktu itu sendiri juga makhluk yang diciptakan dan mempunyai awal. Sebelum makhluk (termasuk waktu dan ruang/benda) diciptakan, Allah sudah ada. Allah tidak dapat dibandingkan dengan selainNya. Maka Mustahil Allah mempunyai awal.

Contoh lain perkara mustahil yang nazhori adalah Allah mempunyai sekutu atau ada tuhan selain Allah. Perkara ini memerlukan penjelasan dalil aqli yang mendalam. Oleh sebab itu ada manusia yang menyembah selain Allah dan menyekutukan Allah dengan makhluk. Penjelasan dalil ‘aqli tentang mengapa Allah Wajib bersifat Maha Esa sudah dijelaskan dalam Kajian Kitab Aqidatul Awwam (5).
Perkara Wajib dan Mustahil yang nazhori ini juga disebutkan dalam Al Qur’an

لَوْ كَانَ فِيْهِمَآ اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَاۚ فَسُبْحٰنَ اللّٰهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُوْنَ ۝٢٢

Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah, Tuhan pemilik ʻArasy, dari apa yang mereka sifatkan.

Disini membuktikan bahwa hukum syariat tidak bertentangan dengan hukum akal, bahkan saling menguatkan satu dengan yang lain.

Perkara Jaiz yang dharuri

Perkara Jaiz ini sangat luas sekali, karena akal dapat menerima kewujudannya dan juga ketidakwujudannya serta segala kemungkinannya. Contoh perkara Jaiz yang dharuri adalah, setiap jisim (benda) mungkin diam atau bergerak. Akal kita dapat dengan mudah memahaminya tanpa perlu penjelasan. Bergerak adalah berpindahnya suatu benda dari satu posisi ke posisi yang lain dalam waktu yang berbeda.
Bagi Ahlussunnah wal Jamaah, karena Allah bukan jism, maka tidak dapat dikatakan Allah bergerak atau diam. Ini bukan menunjukkan kelemahan Allah, melainkan sifat diam dan bergerak adalah hanya sifat yang ada pada jism, sedang Allah bukan jism.

Berbeda dengan golongan Mujassimah yang telah disebut diatas. Mereka menganggap jika Allah tidak dapat bergerak, merka anggap sebagai satu kelemahan, sebagaimana manusia yang lumpuh sehingga tidak dapat bergerak. Mereka mengatakan semua yang hidup pasti bergerak. Sehingga ketika mereka mendengar Hadits yang berbunyi :

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُ لَهُ

“Rabb kami Tabaaraka wa Ta’aalaa turun ke langit dunia pada setiap malam ketika tinggal sepertiga malam terakhir, lalu berfirman: ‘Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan do’anya, barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi permintaannya, dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’”

Mereka memahami bahwa “jisim” Allah turun dari Arasy ke langit dunia setiap sepertiga malam terakhir dengan makna lahiriah. Untuk menutupi bahwa mereka menyamakan Allah dengan makhluk, dengan mengatakan (jisim) Allah turun, tetapi turunnya (jisim) Allah tidak serupa dengan turunnya jisim makhluk.

Bagaimana Ulama Ahlussunnah memahami hadits ini?

Ulama Ahlussunnah wal Jamaah mempunyai kaidah bagaimana memahami ayat Quran atau Hadits yang Mutasyabihat (samar maknanya). Ini sudah dijelaskan dalam tulisan Bagaimana memahami ayat-ayat Mutasyabihat.

Ada dua cara Ulama Ahlussunnah wal Jamaah memahami Hadits ini
1. Tafwid:
– Membaca hadits ini dan meyakini hadits ini adalah disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, sebagaimana di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
– Tanzih yaitu mensucikan Allah dari menyerupai makhlukNya
– Tidak membahas makna zahirnya dan terjemahannya dan menyerahkan maknanya kepada Allah.
2. Takwil:
– Membaca hadits ini dan meyakini hadits ini adalah disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, sebagaimana di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
– Tanzih yaitu mensucikan Allah dari menyerupai makhlukNya
– Mentakwil (mengalihkan) makna dari kata yang mutasyabihat (samar maknanya) kepada ayat Muhkamat atau hadits yang jelas maknanya yang berkaitan dengannya. Dalam hadits di atas sudah disebutkan penjelasannya pada kalimat berikutnya, yaitu “(Allah) lalu berfirman: ‘Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan do’anya, barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi permintaannya, dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.’”
Disitu dijelaskan bahwa yang turun adalah rahmat Allah, yang menjadikan doa hambaNya terkabul dan mendatangkan ampunan Allah. Makna ini jelas dan tidak syubhat.

Perkara Jaiz yang nazhori

Contoh perkara Jaiz yang nazhori adalah Allah mungkin memasukkan orang yang durhaka ke dalam surga dan memasukkan orang taat ke dalam neraka. Secara sekilas akal kita tidak dapat memahaminya segera, kita memerlukan penjelasan dalil dengan berfikir lebih mendalam.

Hamba Allah masuk surga karena rahmat Allah bukan karena amalnya

Allah Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, maka Allah dapat berbuat apa saja terhadap hambaNya baik selama di dunia dan di akhirat. Allah tidak wajib memasukan orang yang taat masuk ke dalam surga dan memasukan orang durhaka ke dalam neraka. Allah sudah memberitahukan melalui Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, bahwa seseorang masuk surga adalah karena rahmat Allah bukan karena amal seseorang, dan memasukan hambaNya ke neraka karena KeadilanNya. Oleh sebab itu dalam Islam kita sebagai hamba Allah ketika beramal, tidak berharap kepada amal kita untuk menjamin kita masuk surga. Kita disuruh beramal adalah untuk berharap kepada rahmat Allah. Bahkan Rasulullah shallalahu alaihi wassalam masuk surga karena rahmat Allah bukan karena amalnya. Karena nilai amal kita di dunia ini jika dibandingkan dengan nikmat dari Allah apalagi dengan nikmat surga yang kekal abadi, tidak ada apa-apanya. Oleh sebab itu adalah kebodohan, jika di akhirat kelak seorang hamba meminta keadilan Allah, karena merasa telah banyak beramal.

Mungkinkah perkara yang nazhori bagi sebagian orang menjadi perkara yang dharuri/badihi atau sebaliknya?

Perkara yang dharuri (yang mudah) dan nazhori (yang perlu penjelasan secara umum adalah sama bagi kebanyakan manusia. Namun jika manusia telah sering mengulang-ulang mempelajari penjelasan perkara yang nazhori, perkara yang tadinya nazhori ini menjadi mudah baginya, sehingga menjadi perkara yang dharuri baginya. Demikian juga sebaliknya, perkara yang dharuri dalam hukum akal ini menjadi perkara yang susah difahami oleh sebagian orang jika mereka tidak menggunakan akal sehatnya yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.

Al Qur’an banyak menyebutkan perintah dan ajakan Allah agar kita bertafakur dan menggunakan akal untuk memperhatikan alam semesta ciptaan Allah termasuk diri kita sendiri.
Disinilah perlunya kita mengulang-ulang dan terus belajar ilmu Kalam untuk memperkuat ilmu Tauhid yang amat penting ini agar Iman kita bertambah kuat dan dapat memberikan pemahaman kepada orang lain yang memerlukan.

Fitrah manusia mencari hakikat kebenaran

Secara fitrahnya, manusia ingin mengetahui hakikat kebenaran. Dengan mempelajari 3 jenis sumber hukum ini yaitu, hukum Wadh’i/Syariat, hukum adat dan hukum akal, kita mendapatkan suatu cara untuk mengetahui hakikat kebenaran pada tahap tertentu dengan akal. Inilah cara yang diredhoi oleh Allah yang diajarkan oleh Ulama Ahlussunnah wal Jamaah.

Dalam agama Islam ada istilah tahapan syariat, tariqat, hakikat dan ma’rifat. Syariat adalah tahapan kita mencari ilmu yang diperlukan seorang mukallaf untuk kita dapat taat kepada Allah. Tariqat adalah tahapan kita melaksanakan Syariat yang telah diketahui secara istiqomah. Tahapan Syariat dan Tariqat ada dalam kuasa yang diberikan Allah kepada kita, yaitu kita dapat berikhtiyar untuk melaksanakannya. Sedangkan tahapan hakikat dan ma’rifat adalah anugerah dan pemberian Allah atas rahmatNya setelah hambaNya melaksanakan tahapan syariat dan tariqat.
Makna tahapan Syariat disini adalah mempelajari ilmu Fardhu ‘ain yang diperintahkan, termasuk ilmu Tauhid, Ilmu Fiqih dan Ilmu Tasawuf, sebagai ilmu yang diperlukan untuk dapat mengamalkan Iman, Islam dan Ihsan. Kitab Al Muqoddimah As-Sanusiyah yang kita pelajari ini adalah termasuk dalam ilmu Kalam. untuk menguatkan Ilmu Tauhid. Kemudian tahapan Tariqat adalah melaksanakan ilmu yang telah dipelajari secara istiqamah, dengan terus mengharapkan rahmat Allah, dan bukan berharap kepada amal syariat dan tariqat yang dilakukan. Inilah sikap Ahlussunnah wal Jamaah.
Untuk dapat banyak bermanfaat hendaknya juga mempelajari ilmu Fardhu Kifayah yang sesuai dengan minat dan bakat, agar dapat lebih banyak berkhidmat dan bermanfaat kepada orang lain.

Golongan yang menyimpang

Namun ada golongan orang yang ingin jalan pintas dengan mengabaikan 3 jenis sumber hukum ini, yaitu kasyaf atau dibukakan tabir untuk melihat hakikat kebenaran. Cara ini adalah bukan dari Ahlussunnah wal Jamaah. Golongan ini hanya melakukan dzikir tapi berharap dapat ilmu tanpa belajar. Ada juga yang hanya berdzikir untuk mendapatkan rezeki tanpa berikhtiyar dan sebagainya. Ini semua adalah bertentangan dengan cara Ahlussunnah wal Jamaah. Sikap Ahlussunnah wal Jamaah adalah jika ingin mencari ilmu, kita mesti belajar, jika ingin mendapatkan rezeki kita mesti berusaha. Jika kita sakit, hendaknya kita berobat ke dokter dan sebagainya.
Berdzikir dan berdoa adalah dilakukan untuk ibadah agar hati selalu ingat kepada Allah. Selama kita belajar dan berusaha, hati tetap bergantung kepada Allah untuk mendapatkan rahmatNya, bukan bergantung pada amal. Kita melaksanakan ikhtiyar belajar dan berusaha adalah karena perintah Allah sebagai ibadah dan penghambaan kita kepada Allah semata, bukan karena yang lain. Agar ketika kita berhasil dengan usaha yang dilakukan, kita bersyukur kepada Allah yang telah memberikan keberhasilan itu.

Wallahu a’lam

Terjemah Kitab Al Muqaddimah


0 Kommentare

Schreibe einen Kommentar

Deine E-Mail-Adresse wird nicht veröffentlicht. Erforderliche Felder sind mit * markiert.

de_DEGerman