Penganut Islam Ahlussunnah Wal Jama´ah diwajibkan mengikuti satu dari empat Imam Mazhab yang Mu´tabar yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafei dan Imam Ahmad bin Hanbal. Kita mengikuti salah satu Imam Mazhab bukan beriktiqad bahwa istinbat hukum Imam yang kita ikut itu yang paling sahih dan benar, melainkan kita yakin bahwa Imam Mazhab itu mempunyai ketaqwaan dan ilmu yang cukup serta dipercaya sehingga mampu dan layak mengistinbat hukum langsung dari Qur´an dan Sunnah. Kita meyakini bahwa Mazhab yang kita ikuti adalah benar tapi bukan menganggap yang paling benar, sehingga menyalahkan Mazhab yang lain.
Berikut adalah dalil mengapa kita wajib mengikuti Imam Mazhab itu.

1. Para Imam Mazhab hidup di kurun terbaik Umat Islam yaitu 3 kurun pertama Hijriah

Isyarat dari Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wassalam:
Sebaik-baik manusia ialah yang berada di kurunku, kemudian mereka yang berada setelah kurun itu, kemudian mereka yang mengiringi kurun itu pula. (Riwayat Al Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam menyebut bahawa umat Islam di sekitar tiga kurun itu secara mayoritas adalah baik-baik, soleh-soleh bahkan sebahagian daripadanya bertaraf muqarrobin. Mereka inilah yang dikatakan salafussoleh (orang soleh zaman dahulu). Manakala umat Islam setelah 300 tahun itu hinggalah ke zaman kita ini dikatakan khalafuttholeh (orang-orang jahat yang kemudian). Artinya umat Islam setelah 300 tahun itu secara mayoritasnya jahat-jahat; yang baik-baik terlalu sedikit.
Empat Imam Mazhab Mu´tabar tersebut hidup masih dalam tiga kurun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Imam Hanafi dan Imam Malik lahir pada kurun yang pertama, yaitu pada tahun 80 dan 93 Hijrah. Sementara Imam Syafi’i (lahir 150 Hijrah) dan Imam Hambali (lahir 164 Hijrah) berada pada akhir kurun kedua sehingga kurun yang ketiga. Sedangkan menurut Hadits tadi, secara umum umat Islam sekitar tiga kurun itulah yang patut menjadi ikutan kita. Sunnah mereka, tradisi mereka, kebudayaan mereka dan lain lain menjadi ikutan kita. Betapalah pula Imam-Imam Mazhab yang telah disebutkan tadi. Mereka bukan sahaja ulama pilihan di kalangan para ulama di zaman yang terbaik itu, tetapi mereka juga merupakan ulama yang soleh, warak, kuat beribadah, tegas memegang hukum dan mandiri tidak bekerja untuk pemerintah/kerajaan. Bahkan mereka menjadi ikutan para ulama dan masyarakat umum dari zaman tersebut hingga ke hari ini. Maka lebih-lebih pantas mereka itu kita ikuti.

2. Para Imam Mazhab dalam mengistinbat hukum mengikuti Quran dan Hadits

Jangan menganggap bahwa jika kita mengikuti salah satu daripada empat Imam Mazhab tadi, maka kita tidak mengikut Al Quran dan Hadits. Kerana keempat-empat Imam Mazhab tersebut telah mengikut Al Quran dan Hadits. Mereka mengistinbatkan hukum atau mengeluarkan hukum daripada Al Quran dan Hadits. Ini bermakna mereka mengikuti Al Quran dan Hadits. Oleh itu kita tidak boleh menganggap imam-imam tersebut tidak mengikut Al Quran dan Hadits. Jangan pula kita anggap mereka mengeluarkan hukum hanya berdasarkan fikiran mereka semata-mata.

Buktinya, Imam Malik di samping merujuk pada Al Quran, beliau juga mempunyai sebuah kitab Hadits yang bernama Al Muwaththa’. Kitab ini merupakan kitab Hadits yang pertama, lebih dahulu daripada Sahih Bukhari, Sahih Muslim dan kitab-kitab Hadits yang lain. Ia mengandungi lebih 10,000 buah Hadits. Oleh yang demikian bila Imam Malik mengeluarkan hukum ataupun fatwa, di samping merujuk kepada Al Quran, beliau juga merujuk kepada Hadits-Hadits dalam kitab Al Muwaththa’nya itu. Mana boleh dikatakan Imam Malik tidak mengikut Hadits. Ini satu tuduhan yang tidak sepatutnya dilemparkan kepada seorang ulama besar. Bahkan mengikut riwayat, Imam Syafi’i pernah membuat pengakuan yang beliau telah pun menghafal kitab tersebut sebelum berguru dengan Imam Malik. Apabila bertemu, Imam Malik terkejut, lantas menyuruh Imam Syafi’i membaca dari awal hingga ke akhir tanpa melihat kitabnya.

Imam Hanafi juga ada mempunyai kitab Hadits yang bernama Al Wasif. Bila Imam Hanafi diminta mengeluarkan hukum atau memberi fatwa, beliau berfatwa berdasarkan Al Quran dan Hadits yang ada dalam kitab Al Wasif. Imam Syafi’i pula terkenal dengan kitab Al Umm, yang ditulis oleh murid kanannya yang bernama Ar Rabi’. Oleh itu Imam Syafi’I mengistinbatkan hukum, selain daripada Al Quran, juga daripada Hadits yang terdapat dalam Al Umm. Begitu juga dengan Imam Hambali (Ahmad bin Hambal). Beliau mempunyai kitab Hadits yang terkenal dengan Al Musnad. Tak kurang daripada 35,000 Hadits terkandung di dalamnya.

Di sini nyatalah keempat-empat Imam Mazhab ini, apabila memberi fatwa atau berijtihad atau mengeluarkan hukum, mereka merujuk kepada Al Quran dan Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Kalau ada orang-orang kemudian termasuk kita, mengikut salah satu daripada Imam-Imam Mazhab itu, artinya kita mengikut orang yang telah mengikut Al Quran dan Hadits. Tidak boleh dikatakan mengikut mana-mana mazhab ini tidak mengikut Al Quran dan Hadits. Hanya orang-orang yang bertaqlid seperti kita ini tidak tahu ayat Quran mana yang dipakai oleh mereka atau Hadits mana digunakan oleh mereka. Kerana kita ini adalah muqallidin atau pengikut. Tetapi mereka tahu dalil nasnya yang mana mereka gunakan baik dari Al Quran maupun dari Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.

3. Orang awam mesti bertanya dan mengikuti Ulama

ALLAH telah mengisyaratkan kepada kita melalui Al Quranul Karim, kalau kita tidak tahu kerana kita bukan orang alim, maka kita mesti bertanya kepada orang yang tahu atau yang alim. Artinya pandangan-pandangan orang alim atau ulama menjadi pegangan dan kita ikuti. Kerana mereka lebih tahu daripada kita. Firman ALLAH:

Bertanyalah kepada ahli dzikir (alim ulama; orang yang tahu) jika kamu tidak mengetahui. (An Nahl: 43)

Imam-imam yang empat tadi patut menjadi ikutan kita. Dan patut pula kita tanyakan fatwa-fatwa mereka. Kalau mereka sudah tiada lagi, ada kitab-kitab yang ditinggalkan oleh mereka. Bahkan kitab-kitab mereka itu telah pun diurai dan dijelaskan lagi oleh ulama-ulama yang mengikuti mereka. Kalau kita ikut salah satu dari Imam Mazhab yang empat itu, berarti kita tidak terkeluar daripada apa yang disuruh oleh ALLAH dan Rasul.

4. Ulama perawi Hadits juga ikut Imam Mazhab

anyak orang tidak tahu bahwa penyusun Hadits atau perawi-perawi Hadits seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tarmizi dan lain-lain lagi – walaupun mereka mengumpulkan dan menilai Hadits – tetapi dari segi kefahaman atau dalam mengeluarkan hukum, mereka juga bersandar dengan Imam-Imam Mazhab. Walaupun Hadits ada di hadapan mereka tetapi mereka tetap mengikut dan berpegang dengan kefahaman yang ada pada Imam Mazhab terutamanya Imam Syafi’i. Umpamanya Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Tarmizi adalah bermazhab Syafi’i.

Kalaulah Imam-Imam Hadits itu pun mengikut Imam Syafi’i, siapakah kita ini sekiranya tidak mau mengikuti Imam Mazhab seperti Imam Syafi’i? Jangan pula kita merasa kalau bertemu Hadits kita sangka kita sudah mengikuti Hadits. Untuk mengeluarkan hukum, mampukah kita? Sedangkan Imam- Imam Hadits itu pun menyandarkan kefahaman mereka kepada Imam-Imam Mazhab. Padahal kebanyakan mereka itu hidup pada sekitar 300 tahun daripada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam serta menjadi ikutan sebahagian ulama dan orang awam di waktu itu.

5. Banyak Ulama besar ikut Imam Mazhab

Kalaulah imam-imam seperti Imam Bukhari, Imam Muslim yang terkenal kewarakannya, Hadits-Hadits mereka menjadi sandaran orang-orang kemudian, juga mengikut mazhab, maka tidak heranlah ulama-ulama besar setelah 300 tahun mengikut salah satu daripada Imam Mazhab yang empat itu tadi. Imam Abul Hasan Al Asyaari – mujaddid kurun ketiga, penyusun kaedah kitab usuluddin, bermazhab Syafi’i; Imam Al Ghazali, ulama besar dan mujaddid kurun kelima yang terkenal dengan kitab Ihya Ulumiddin, juga bermazhab Syafi’i; Imam Sayuti – mujaddid kurun kesembilan, Syeikh Ibnu Hajar Al Asqolani, Syeikh Ramli, Imam Subki, Syeikh Zakaria Ansori, Imam Nawawi, Imam Sya’rani juga bermazhab Syafi’i. Walaupun mereka ini semuanya bertaraf mujtahidin, mempunyai kitab-kitab yang besar dan layak berijtihad, namun mereka juga bermazhab.

6. Allah mencabut ilmu dari bumi ini dengan mematikan Ulama

Ada keterangan dari Hadits Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. [Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]

Sabdanya lagi:

Tidaklah datang satu tahun atau hari kepada kamu melainkan hari yang selepasnya itu lebih buruk dari sebelumnya sehinggalah kamu semua bertemu ALLAH. (Riwayat Al Bukhari, Ahmad dan Ibnu Majah)

Yang dimaksudkan di sini ialah ilmu agama, bukan ilmu dunia. Kurangnya ilmu itu oleh kerana banyak ulama yang diwafatkan. Bahkan zaman sekarang ini ulama diukur dari gelar kesarjanaan bukan kealiman dan kewarakannya. Kebanyakan mereka tidak lagi mandiri, sebab bekerja untuk suatu jabatan.

Ada juga isyarat Hadits yang lain bahawa di akhir zaman nanti akan berlaku ilmu Islam semakin habis walaupun ilmu dunia semakin berkembang. Begitu juga akan terjadi, mubaligh- mubaligh banyak, ulamanya sedikit.

Oleh sebab itu orang yang disebut ulama pada akhir zaman ini tentulah tidak sama kualitasnya, ilmunya, waraknya dan lain-lain lagi, dibandingkan dengan ulama-ulama di zaman dahulu. Lebih-lebih lagi terlalu jauh bandingannya dengan ulama-ulama di sekitar 300 tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Kalau kita mengikut ulama sekarang yang katanya mengikut Al Quran dan Hadits sahaja, tanpa bersandar kepada ulama mujtahidin, maka kita mengikuti orang yang kurang kualitasnya, kurang ilmu dan kewarakannya. Oleh kerana kurang kualitasnya, kurang ilmu dan kewarakannya tentulah mereka tidak mampu mengorek isi-isi yang tersirat dari Al Quran dan Hadits. Maka seharusnya ulama akhir zaman ini juga mengikut Imam-Imam Mazhab yang empat tadi.

7. Secara alami mayoritas manusia adalah awam, sedikit yang alim (berilmu)

Memang menjadi Sunnatullah sejak Nabi Adam a.s. sehingga ke akhir zaman, orang yang jahil tentang ilmu Islam lebih banyak daripada orang alim, walaupun sebenarnya banyak yang ingin jadi alim. Bahkan bukan saja dalam soal ilmu tetapi juga dalam soal-soal yang lain, seperti kekayaan, walaupun fitrah manusia ingin kaya tetapi bukan semuanya menjadi orang kaya. Yang kaya itu sedikit tetapi yang miskin itulah yang banyak.

Begitu juga dalam soal ilmu pengetahuan. Walaupun fitrah manusia ingin menjadi orang alim, tetapi yang alim itu sedikit. Yang jahil itu yang banyak. Dalam keadaan ini, apakah patut dipaksa semua orang awam mengkaji dan menggali sendiri Al Quran dan Hadits? Minta mereka berijtihad sendiri tanpa bersandar dengan mana-mana ulama mujtahidin. Ini tidak logis dan melawan fitrah. Samalah seperti kita memaksa semua orang memerlukan air supaya jangan mengambil air dari perusahaan air minum tetapi supaya mencari air dari sumber air dari mata air, air sungai atau air hujan. Ini tidak mungkin.

Mengapa? Silakan anda coba mencari air sendiri, mencari tempat buang air sendiri. Hidup anda tidak akan nyaman di kota atau di tempat pemukiman orang. Anda terpaksa hidup di hutan yang dekat sungai yang jauh dari perumahan manusia. Mungkinkan manusia kita ajak semua hidup demikian?

Begitulah kalau kita hendak paksa semua orang berijtihad daripada Al Quran dan Hadits, jangan bersandar dengan ulama mujtahidin. Sampai kapanpun mereka tidak akan dapat beramal dengan ajaran Islam. Tidak mungkin orang awam seperti kita hendak diajak berijtihad sedangkan ulama yang ada sekarang pun tidak dapat berijtihad.

8. Perbedaan di antara Umat Islam adalah rahmat

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam ada bersabda:

Berselisih faham di kalangan umatku itu adalah rahmat. (Riwayat Al Baihaqi)

Hadits ini membuktikan bermazhab itu dibenarkan. Maksudnya timbulnya mazhab itu oleh kerana adanya ulama-ulama yang mampu berijtihad. Maka terjadilah berlainan pendapat. Berselisih faham di sini adalah berselisih faham tentang furu’iyah (dalam hal fiqih) bukan ushuliyah (aqidah). Berselisih faham dalam soal hukum-hukum furu’iyah hingga menimbulkan bermacam-macam aliran mazhab fiqih adalah mendatangkan rahmat. Orang awam seperti kita ini dapat mengikut salah satu Imam kita sesuai dengan kita. Maknanya, ada alternatif untuk orang awam.

9. Mengajak orang untuk tidak bermazhab adalah menyesatkan

Kalaulah kita hendak menyuruh semua manusia baik yang alim maupun yang awamnya supaya tidak bermazhab iaitu setiap orang diminta berijtihad mengeluarkan hukum-hukum daripada Al Quran dan Hadits, jangan bersandar dengan mana-mana imam, maka pasti banyak yang sesat.

Kalau kita umpamakan Al Quran dan Hadits itu ibarat laut yang dalam, yang di dalamnya ada bermacam-macam khazanah, seperti ikan, intan, mutiara, emas, perak, minyak, jenis kerang, batu karang dan lain-lain lagi yang kita tidak tahu, lalu kita arahkan semua orang supaya jadi penyelam, insya-ALLAH banyak yang tenggelam. Karena orang yang ahli menyelam itu tidak banyak. Itu pun yang dapat menyelam mungkin dia tidak menyelam hingga sampai ke dasar laut disebabkan lautnya terlalu dalam. Oleh itu bukan semua khazanah yang dapat diambil. Kalaulah kita tidak bisa berenang dan menyelam, bukankah lebih baik kita membeli saja dari orang ahli berenang dan menyelam mengambil khazanah laut daripada memaksa diri berenang dan menyelam hingga tenggelam di lautan. Khazanah lautan tidak kita dapat, justru kita tenggelam di lautan.

Begitulah juga sekiranya diminta semua orang yang alim maupun yang jahilnya mengistinbat hukum daripada Al Quran dan Hadits, tanpa bersandar dengan mana-mana ulama mujtahidin, banyaklah orang yang sesat. Oleh itu lebih selamat kita mengikut Imam Mazhab yang mu´tabar itu.

10. Imam Mazhab teruji ilmu, akhlak, keadilan dan ketaqwaannya, sehingga terpercaya

Ulama-ulama mazhab terutamanya Imam Mazhab yang empat, bukan sahaja ilmunya hebat, tetapi peribadinya juga begitu hebat; begitu warak, begitu taqwa kepada ALLAH. Ulama mensyaratkan, orang yang boleh diterima ijtihadnya bukan dinilai ilmunya sahaja, tetapi mestilah juga dipastikan yang dia seorang yang soleh, warak, dan bertaqwa. Atau dalam kata-kata yang lain, mesti memiliki sifat adil. Kalau padanya tidak ada keadilan, dia bolehlah berpegang dengan fatwanya sendiri, tetapi orang lain tidak boleh dipaksakan kerana waraknya tiada.

Contohnya

Imam Hanafi.

Suatu ketika tetangganya meminjam uang daripadanya. Semenjak itu dia tidak mau lagi berjalan melalui halaman rumah orang tersebut. Sebaliknya mengikut laluan jalan lain. Maka ada orang yang bertanya, “Tuan, mengapa tuan tidak lagi berjalan melalui halaman tetangga tuan?” “Saya takut riba,” jawab Imam Hanafi.

Begitulah waraknya Imam Hanafi. Dia menganggap lalu di halaman rumah orang yang berhutang padanya itu sebagai mengambil faedah, atau riba. Semakin tua umurnya semakin kuat ibadahnya. Ketika tua sehingga wafatnya, Imam Hanafi tidak pernah tidur semalaman. Kadang-kadang wudhuk Maghribnya itu juga untuk wudhuk sembahyang Subuh esoknya.

Imam Malik

Adalah di antara ulama yang banyak menerima hadiah emas, berlian, intan, permaidani yang cantik-cantik dan lain-lain lagi. Pernah suatu ketika beliau dihadiahkan seekor kuda yang tangkas dari Persia, yang digunakan untuk berperang. Namun tidak pernah sekalipun dia menunggangnya di Madinah. Ada orang bertanya: “Wahai tuan, mengapa tuan tidak pernah menunggang kuda yang bagus ini?”

Imam Malik menjawab, “Saya malu hendak menunggang kuda kerana di perut bumi ini ada jasad Rasulullah SAW.”

Begitu beradabnya Imam Malik dengan Rasulullah. Perkara yang tidak salah dianggap satu kesalahan baginya.

Pernah suatu ketika sultan di waktu itu mengajak beliau mengajar di istana. Imam Malik menjawab, “Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi. Kalau tuan hendak belajar, mari sama-sama duduk di masjid bersama rakyat.”

Imam Syafi’i

Memang terkenal seorang yang zuhud. Ia mempunyai banyak guru. Di antara yang terkenal ialah Imam Malik. Imam Malik membekalkan kepadanya dua perkara iaitu ilmu dan harta. Harta yang dibekalkan oleh Imam Malik kepada Imam Syafi’i sebanyak 4,000 dinar. Belum sempat sampai ke rumah, Imam Syafi’i memanggil orang-orang kampung dan membahagi-bahagikan kepada mereka semua harta yang dibawanya itu sehingga habis kecuali dua dinar sahaja yang ditinggalkan untuk ibunya. Sedangkan untuk dirinya tiada. Lihat betapa zuhudnya Imam Syafi’i.

Dalam hal ini saja kalau orang hendak mengikuti Imam Mazhab tidak sanggup, apalagi hendak ikut Al Quran dan Hadits tanpa bersandar pada Imam Mazhab. Mengikuti Al Quran dan Hadits artinya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Imam Syafi’i masih menyisakan dua dinar tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wassalam berderma tidak bersisa. Rasulullah shallallahu alaihi wassalam tidak akan tidur malam selagi masih ada simpanan harta, makanan dan sebagainya. Kalau ada juga, baginda akan mencari orang yang memerlukan untuk diberi harta itu pada malam itu juga. Baginda tidak mahu menyimpan sampai esoknya.

Mereka yang kononnya ingin mengikuti Al Quran dan Hadits saja itu, mengikuti cara hidup Imam Mazhab pun tidak sanggup. Imam Syafi’i membahagikan malamnya kepada tiga bahagian. Sepertiga untuk diri, keluarga dan anak-anak, sepertiga untuk membaca, mentelaah dan menulis. Manakala sepertiga lagi untuk ibadah. Imam Syafi’i adalah di antara imam-imam yang banyak ditimpa penyakit. Penyakitnya yang berat ialah ambeien. Walaupun begitu beliau tidak pernah meninggalkan pengajiannya. Beliau tetap mengajar dan berdakwah. Sewaktu memberi kuliah, beliau akan duduk di atas wadah. Begitu selesai  mengajar, beliaupun berdiri, maka penuhlah wadah tadi dengan darah ambeiennya itu.

Imam Hambali

Beliau lebih sedih riwayat hidupnya. Pernah beliau berhadapan dengan tiga pemerintah yang memenjarakannya
tidak kurang daripada dua puluh tahun. Bukan sahaja dipenjarakan bahkan beliau dipukul, disepak, dicaci dan
sebagainya. Adakalanya beliau jatuh pingsan. Ulama-ulama lain yang turut disiksa terpaksa menyerah kerana tidak tahan dengan ujian tersebut. Tetapi Imam Hambali tetap dengan keyakinannya sampai akhir hayatnya.

Jadi orang yang warak inilah yang kita yakin keadilannya dalam memberi fatwa. Mereka memberi fatwa dengan penuh takut kepada ALLAH. Sebaliknya kalau ulama sudah tidak takut kepada ALLAH, insya-Allah dia akan berfatwa mengikut nafsunya.

11. Orang yang tidak menganjurkan ikut Mazhab, hakikatnya telah membuat Mazhab baru tanpa disadari

Walaupun ada orang yang menganjurkan tidak perlu ikut mazhab, cukup hanya ikut Al Quran dan Hadits sahaja, tetapi pada hakikatnya semua orang bermazhab, baik dia mengaku atau tidak. Kerana golongan yang tidak mau bermazhab itu bukan semuanya ulama. Maka mereka terpaksa bersandar kepada ulama yang juga menolak mazhab. Maka ulama tempat mereka bersandar itulah sebenarnya imam mazhab mereka. Ada juga orang yang berpendapat untuk mengambil hukum syariat dangan cara mencampur hukum syariat dari 4 Mazhab, Konon dia mencari dalil dari Quran dan Sunnah untuk menilai syariat dari 4 Mazhab. Untuk bab A dia ambil Mazhab Hanafi, untuk bab B dia ambil Mazhab Syafei, untuk bab C dia ikut Mazhab Maliki,  untuk bab D dia ambil Mazhab Hambali, karena menurutnya bab-bab yang dia pilih itu dia temukan dalil Qur´an dan Hadits yang paling sahih. Hal ini juga berbahaya, secara tidak sadar dia telah mendirikan Mazhab baru dengan kaidah ushul fiqih yang dia susun sendiri. Maka jika demikian berapa banyak Mazhab yang ada dan akan terus bertambah karena setiap orang telah menjadi “Imam Mazhab”, maka akan bertambah rusaklah syariat sebab kualitas “Imam Mazhab” yang berijtihad semakin berkurang ilmunya dan akibatnya makin bertambah banyak perbedaan pendapat.
Oleh sebab semua manusia itu hakikatnya bermazhab, maka lebih baik dan lebih selamat jika kita ikut mazhab yang mu´tabar, yang diakui bukan saja oleh orang awam bahkan juga oleh ulama-ulama besar seperti Imam Al Ghazali, Imam Sayuti dan banyak lagi.

Dalam kitab Tanwir al-Qulub fi Mu’amalat ‘Allam al-Ghuyub, asy-Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi asy-Syafi’I menuliskan pada halaman 41:
“Dan barangsiapa yang tidak bertaqlid kepada salah seorang dari mereka (salah satu imam yang 4) dan berkata: “Aku beramal dengan al-Kitab dan as-Sunnah, mengaku-ngaku paham hukum dari al-Kitab dan as-Sunnah, maka tidak bisa diterimalah ucapannya, bahkan mereka itu salah, sesat menyesatkan, apalagi di zaman sekarang ini, zaman yang sudah merata di dalamnya kefasikan dan banyak pendakwa (da’i) yang bathil (karbitan), karena mereka menampakkan dirinya sederajat dengan Aimmat ad-Din (Imam 4 Madzhab) padahal dia derajatnya jauh di bawah mereka, baik dari segi ilmu, amal dan keadilan, maupun informasi ilmu pengetahuan.”


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian