Perhatikanlah dari mana engkau mendapatkan ilmu agama

Kita dianjurkan bertanya dalam mencari ilmu dari mana saja. Namun kita mesti memperhatikan dari siapa kita mengambil ilmu agama. Untuk ilmu dunia misalnya ilmu kedokteran kita mesti belajar dari guru atau universitas yang dikenal sebagai universitas yang diakui dan dikenal. Jika kita hendak ke dokter, kita mesti memastikan bahwa dokter itu adalah dokter yang benar telah kuliah di Universitas yang jelas dan diakui. Kalau kita menerima resep obat, kita mesti yakin bahwa resep itu adalah ditulis oleh dokter yang dikenal dan diakui. Karena kita akan menyerahkan urusan kesehatan kita kepadanya. Jika untuk kesehatan badan atau hal dunia saja kita mesti hati-hati dalam memilih dokter, apa lagi untuk agama kita yang menentukan nasib kita di dunia dan di akhirat.

Imam Muhammad bin Sirrin dan Imam Malik bin Anas mengatakan: Ilmu adalah agama. Maka lihatlah dari siapa kamu sekalian menimba ilmu agamamu. Apalagi ilmu agama yang menentukan nasib kita di akhirat. Maka kita perlu melihat dari mana guru itu belajar. Siapakah gurunya, apakah gurunya itu berguru dari guru dari guru yang bersambung sampai Rasulullah shallahu alaihi wassalam. Seorang guru mesti mempunyai ilmu yang luas dan bersanad yang jelas bersambung hingga kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.

Carilah guru yang bertaqwa

Setelah kita mengetahui sesorang itu mempunyai ilmu agama yang jelas dan bersanad. Maka mesti kita perhatikan bahwa guru itu mestilah orang yang bertaqwa, orang yang takut kepada Allah.
Imam Ahmad bin Zein Al Habsyi murid terbaik dari Imam Abdullah bin Alawi Al Haddad berkata: Tanda orang alim yang terpercaya adalah takut kepada Allah. Dan takut kepada Allah ini akan terlihat pada perbuatannya. Taqwa itu akan terlihat dari amalannya. Maka kita perlu mengenal dekat guru itu. Jika engkau sudah mendapati guru yang alim dan amalnya menunjukkan amal orang yang takut kepada Allah, maka ambillah agamanya dan ikutilah semua yang dibawanya. Tanpa banyak bertanya. Jangan sekali-kali meninggalkannya. Para Ulama zaman dahulu, diminta nasehatnya tidak hanya khusus perkara agama saja, tetapi juga untuk urusan yang praktis dalam kehidupan sehari-hari, seperti ketika memilih pekerjaan, calon pasangan dan sebagainya.
Diumpamakan jika kita ingin menuju suatu tempat, dan kita bertemu dengan orang yang pernah ke sana, dan orang itu dikenal terpercaya dan jujur. Maka kita akan mengikuti orang itu menunjukkan jalan ke tempat yang kita tuju, tanpa kita banyak bertanya.

Namun jika kita menemukan orang yang bertaqwa dan soleh, namun orang itu tidak mempunyai ilmu, maka kitapun tidak dapat belajar darinya. Ada pepatah yang berbunyi, seseorang hanya dapat memberi apa yang dia punya. Jika dia tidak mempunyai ilmu maka tidak mungkin dia dapat memberikan ilmu.

Jika guru yang berilmu itu tidak menunjukan amal orang yang bertaqwa, tidak takut kepada Allah dengan melanggar suruhan Allah, maka tinggalkanlah. Namun kadang-kadang karena pengaruh lingkungan, tidak mudah bagi kita untuk meninggalkannya. Maka disini kita bermujahadah untuk meninggalkannya.

Tidak berprasangka buruk kepada orang lain

Tetapi jangan pula kita mudah berprasangka buruk kepada orang alim yang secara lahiriah kelihatan tidak bertaqwa, bahwa dia akan binasa karena kelihatan oleh kita orang itu kurang mempunyai rasa takut kepada Allah. Maka cukup bagi kita untuk tidak mengikutinya tanpa sibuk mempersoalkan keburukannya, apalagi menjelek-jelekan orang itu kepada orang lain. Inilah Manhaj kita.
Allah tidak memberi ilmu kepada seseorang untuk membinasakannya. Jadi jangan berprasangka buruk bahwa dia akan jadi ahli neraka. Kita patut berprasangka baik kepada Allah tentang perkara ini. Bahwa jika orang alim berbuat kesalahan dia akan mengetahui kesalahannya karena alimnya. Kita berprasangka baik bahwa dia akan menyadarinya dan memperbaikinya di kemudian hari.

Demikian juga jika kita melihat ada orang alim yang berbeda dalam manhaj dakwah dengan jalan yang kita telah meyakini dari guru kita. Kitapun berprasangka baik saja, bahwa orang alim itu juga sedang berdakwah menuju Allah, karena banyak cara atau manhaj dalam berjuang menuju Allah. Hasil sepuluh dapat dihasilkan dari 7+3, dapat juga dari penjumlahan 5+5, atau 6+4 dan lain-lain
Jadi kita mengikuti cara yang kita yakini dari guru yang kita yakini saja, tanpa menyibukkan dengan cara berdakwah orang lain yang berbeda.

Syarat orang alim boleh membicarakan orang alim yang lain

Hanya orang yang lebih alim yang dapat mengetahui kealiman seseorang. Sedang orang yang kurang ilmunya, dia tidak dapat menilai orang yang lebih hebat ilmunya. Diumpamakan seorang yang lebih alim melihat dari atas kepada orang yang kurang ilmunya, tentu dapat menilai orang yang dibawahnya. Sedang orang yang kurang ilmunya tidak dapat menilai orang yang lebih hebat ilmunya,

Tidak boleh kita percaya seorang alim yang mentahdzir yaitu melarang orang lain utuk mendengarkan guru lain. Kecuali orang alim yang memberi peringatan itu adalah :

  • Orang alim itu lebih banyak ilmunya
  • Orang alim itu sangat wara (hati-hati) dalam memutuskan.
  • Bertaqwa, hanya takut kepada Allah. Tidak khawatir kehilangan pengaruh atau pengikut.
  • Tidak ada kepentingan pribadi kecuali karena Allah dan untuk kemaslahatan umat Islam.

Jika orang alim itu punya 4 syarat ini, maka orang alim itu berhak membicarakan dan mentahdzir orang lain.

Wallahu a’lam


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian