Syarat Mukallaf

Rukun pertama dari Tariqat Alawiyah adalah Ilmu. Sebaik-baik pemberian Allah kepada makhluk adalah akal. Karena dengan akal kita dapat menerima ilmu, yang dengan ilmu itu kita dapat beramal. Ini adalah juga salah satu syarat dari mukallaf, yaitu orang yang menanggung beban kewajiban melaksanakan syariat Allah. Syarat seseorang menjadi mukallaf ada 4 yaitu:
1. Baligh (usia dewasa), anak-anak tidak termasuk mukallaf.
2. Berakal, dapat menerima ilmu. Orang yang tidak berakal atau akalnya tidak normal, atau tidak dapat menerima ilmu, tidak dapat dikatakan mukallaf.
3. Terbebas dari buta dan tuli sekaligus. Jika orang hanya buta, dapat mempelajari ilmu melalui pendengaran. Jika dia hanya tuli, masih dapat mempelajari ilmu melalui penglihatan. Tetapi orang yang buta dan tuli, maka dia tidak dapat menerima ilmu sama sekali, sehingga tidak dapat digolongkan mukallaf
4. Telah sampai dakwah Islam. Zaman sekarang ini hampir tidak ada tempat yang tidak mendapat berita tentang Islam. Namun ada pendapat ulama yang mengatakan, bahwa dakwah Islam yang dimaksud adalah dakwah Islam yang benar. Bukan hanya berita tentang Islam, misalnya di satu daerah hanya ada berita tentang Islam, tetapi Islam yang teroris, radikal atau Islam dengan karakter negativ lainnya. Maka manusia yang tinggal didaerah itu, tidak dapat disebut telah sampai dakwah Islam kepada mereka. Sehingga mereka ini tidak dapat disebut mukallaf.
Maka kita sebagai muslim berkewajiban untuk menyampaikan dakwah kepada mereka bahwa Islam adalah agama yang membawa misi kasih sayang menjadi rahmatan lil alamin, sejauh yang kita mampu.

Sebaik-baik karunia Allah yang diberikan kepada makhluk adalah akal, karena dengan akal kita dapat menerima ilmu. Sedang seburuk buruk musibah adalah kebodohan, karena kebodohan adalah penyebab seseorang tergelincir pada kecelakaan dan kejatuhan.

Ilmu mesti dijemput dan tidak datang sendiri

Sebagai makhluk yang berakal, kita diperintahkan untuk selalu belajar. Karena tidak ada orang yang baru lahir langsung alim. Maka seseorang yang berakal mesti menuntut ilmu agar memperolehi ilmu. Kalau orang misalnya di Bandung ingin ke Jakarta, maka dia mesti bergerak, berjalan menuju ke Jakarta, tidak mungkin dia sampai ke Jakarta kalau diam saja, inilah kebodohan.
Jika orang haus, maka mestilah dia minum untuk menghilangkan hausnya. Kalau dia tidak bergerak untuk minum, maka hausnya tidak akan hilang.
Atau jika dia ingin kenyang tapi tidak mau makan, dia tidak akan mendapat kenyang. Jika ia ingin menghilangkan lelah mengantuk, tapi tidak mau tidur, maka kantuknya tidak akan hilang. Ingin mendapat mutiara secara langsung di laut, maka mesti menyelam di laut. Ingin memperoleh upah/gaji, maka mestilah dia bekerja dulu.
Begitulah manusia mesti berusaha untuk mendapatkan ilmu yaitu belajar dari orang yang berilmu agar dia menjadi orang yang berilmu. Tidak bisa orang hanya mengharapkan ilmu laduni, yaitu ilmu yang yang langsung diberikan Allah kepada seseorang. Ini bukan jalan yang disyariatkan. Untuk mendapatkan ilmu ladunipun ada syarat yang mesti dijalankan.
Allah berfirman dalam QS Al Baqarah: 282

.. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu

Di sini Allah memberi syarat, jika ingin bahwa Allah memberikan kepadanya ilmu secara langsung, maka hendaknya hamba itu membuka dulu kuncinya yaitu bertaqwa kepada Allah. Dalam suatu atsar, dikatakan,

من عمل بما علم فتح الله له ما لا يعلم

“Barangsiapa mengamalkan ilmu yang telah ia pelajari, maka Allah akan membuka untuknya hal yang sebelumnya ia tidak tahu.” (Hilyatul Auliya’, 6: 163).

Artinya ilmu laduni itu mestilah dijemput, diusahakan juga, yaitu dengan mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya. Allah suka kepada hambanya yang berikhtiyar secara maksimal, sudah menyerahkan hidupnya untuk ilmu, barulah Allah akan beri ilmu. Kalau tidak berikhtiyar maka hanyalah orang yang bermimpi.
Ada seorang Shahabat Rasulullah suatu ketika datang membawa Unta, kemudian turun dari Unta dan langsung meninggalkannya. Rasulullah shallallahu alaihi wassalam kemudian bertanya: “Mengapa tidak engkau ikat Untamu?”. Shahabat itu menjawab: “Aku bertawakal kepada Allah, ya Rasulallah”. Rasulullah shallallahu alaihi wassalam kemudian berkata: “Ikatlah dahulu kemudian baru bertawakal”. Jadi tidak berikhtiyar itu bukan menunjukkan orang itu lebih beriman dan bertawakal, melainkan menunjukkan orang yang sombong dan tidak mengetahui ilmunya.
Inilah perumpamaan orang yang berkata:”Saya tidak mau belajar, semua saya serahkan kepada Allah, saya akan dapat ilmu, seperti yang Allah mau.” Ini sebenarnya perkataan orang yang malas dan jahil.
Coba kita katakan padanya: “Kamu tinggal di kamar, kemudian saya kunci, dan baru saya buka setelah seminggu”. Tentu dia akan berkata, “Bagaimana makan saya? bagaimana minum saya? bagaimana saya nanti mesti ke toilet?”. Kita katakan: “Nanti Allah yang akan memberimu makan dari langit seperti Siti Maryam. Itu khan yang kamu inginkan ilmu dari Allah tanpa belajar.” Inilah orang malas dan jahil. Merasa sudah menjadi wali padahal dia adalah orang yang celaka.
Demikianlah ilmu laduni, mesti didekati dan diikhtiyarkan. Siapa yang tidak mau mendekati ilmu, maka dia tidak akan dekat dengan ilmu.
Orang yang berilmu berbeda dengan orang yang tidak berilmu. Orang yang berilmu selalu mendapat tempat dimanapun dia berada. Dia seperti air hujan yang diterima dimana-mana dan memberi manfaat kepada orang yang memerlukan.
Namun perlu diingat juga jangan sampai memberi air terlalu banyak lebih dari yang diperlukan sehingga menyebabkan banjir.
Ini sebutkan dalam Kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali, diawal Kitabnya. Ketahuilah jika kamu ingin mendapat dan merindukan Ilmu adalah untuk bersaing dan berbangga diri dari kawanmu agar engkau diperhatikan dan untuk duniamu. Maka kamu sedang menghancurkan agamamu dengan duniamu. Maka perdaganganmu dalam menuntut ilmu itu adalah akan merugi. Dan gurumu itu ikut andil dalam kerugianmu itu.
Seperti orang yang menjual pedang dengan murah kepada perampok.
Guru itu berikan ilmu agama, sedang dia tahu bahwa ilmu agama itu digunakan untuk kepentingan dunia.
Jadi orang yang menuntut ilmu itu juga punya tanggung jawab yang besar dengan ilmu yang dimilikinya. Oleh sebab itu perlu keseimbangan dalam menuntut ilmu. Di satu sisi kita didorong untuk menuntut ilmu yang benar, namun kita juga dituntut untuk bertanggung jawab untuk mengamalkan ilmu itu dengan tepat.
Ketika kita tidak semangat dalam menuntut ilmu, maka perlu kita memotivasi diri dengan keutamaan ilmu seperti yang sudah disampaikan. Namun juga kita mesti berhati-hati dengan ilmu yang sudah ada pada kita agar kita tidak berbangga-bangga dengan ilmu melainkan kita mesti mengamalkannya.

Tanya: Tadi dikatakan orang yang telah mendengar tentang Islam, tetapi bukan Islam yang sebenarnya tidak temasuk mukallaf. Sedang kita di Jerman tidak dapat berdakwah dengan baik apalagi sempurna. Apakah kita berdosa karenanya? Bagaimana agar kita terlepas dari beban dosa itu?
Jawab: Ya kita memang diwajibkan berdakwah kepada mereka. Jadi kita berdakwah saja sebaik yang kita mampu. Allah tidak akan membebani seseorang melebihi daripada yang dapat ia tanggung.

Cerita tentang Projek Al Etidal di Jerman

Di Jerman ada satu projek yang disponsori oleh pemerintah pusat dan negeri Bremen untuk menangkal radikalisme Islam di kalangan anak muda muslim. Projek itu disebut Al Etidal (download buku project Al Etidal) yang dikerjakan oleh Schura Bremen (KMIB anggota Schura Bremen), badan resmi yang membawahi organisasi Islam di Bremen. Pemerintah Jerman menginginkan bahwa semestinya radikalisme di kalangan anak muda muslim di Jerman dicegah oleh orang Islam atau organisasi Islam itu sendiri, dan bukan hanya beban bagi negara.
Kesimpulan ringkas project itu adalah:
1. Kembali mengajarkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, di Jerman dikenal juga sebagai Islam tradisional yaitu yang Aqidahnya mengikuti Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah, Fikihnya bermazhab yang mengikuti 4 Imam yang Muktabar (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafei dan Imam Ahmad bin Hanbal) dan bertasawuf yang murni yang mengikuti ilmu, akhlak dan penyucian bathin.

Ilustrasi dalam Project Al Etidal. Mayoritas dari Umat Islam di Jerman adalah Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Tradisional). Berasal dari Turki, Arab, Pakistan, Balkan, Indonesia, Jerman dan lain lain. Imigran yang pertama datang tahun 1960-an.
Ilustrasi dalam Projek Al Etidal: Minoritas dari Umat Islam di Jerman adalah berfaham Salafi/Wahabi. Hanya mengenal 1 pendapat, muncul baru di akhir tahun 1990-an.
Ilustrasi dalam Projek Al Etidal: Islam Tradisional (Ahlussunnah wal Jamaah), bertoleransi dengan banyak pendapat dan Islamismus (Salafi/Wahabi) hanya mengenal satu pendapat saja

2. Berdakwah dengan cara dakwah kekinian, seperti melalui medsos dan dengan bahasa setempat yang mudah difahami anak muda.

Berdakwah sesuai zaman dan bahasa kaumnya

Memang dalam sejarah para Nabi dan Rasul, Nabi selalu diturunkan dengan cara berdakwah yang sesuai dengan apa yang terjadi pada zamannya. Para Nabi diberikan Mu’jizat untuk dapat mengalahkan musuhnya. Misalnya ketika di zaman ilmu pengobatan yang menjadi “trend” kekuatan di masyarakat, Allah kirim Nabi Isa alaihi salam yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit bahkan menghidupkan orang mati dengan Mu’jizat.
Di kala ilmu sihir menjadi “trend” kekuatan, maka Allah kirimkan Nabi dengan Mu’jizat tongkat yang dapat memakan ular-ular para tukang sihir.
Di zaman Nabi Muhammad di antara menjadi “trend” kekuatan yang dikagumi masyarakat adalah syair. Orang Qurays dahulu saling berlomba sya’ir dan diperjual belikan di pasar Ukadz, sehingga orang yang pandai bersyair menjadi panutan yang banyak pengikutnya. Namun ketika dibacakan Al Qur’an, syair-syair itu takluk dengan keindahan Mu’jizat Al Qur’an.
Diantara penyair itu adalah Shahabat Nabi Hasan bin Tsabit. Karena beliau sebelum Islam sudah banyak pengikutnya, maka ketika beliau masuk Islam di umur 60 tahun, pengikutnya itupun ikut masuk Islam.
Di zaman pendakwah yang datang ke Indonesia dahulu, masyarakat Nusantara sangat kental tradisi dan budayanya. Maka para pendakwah itu yang dikenal dengan Wali Songo berdakwah dengan menggunakan tradisi dan budaya yang lebih indah dihiasi dengan kata-kata bijak. Budaya ini menjadi disukai dan diikuti oleh masyarakat, sehingga mereka mengikutinya.
Demikian juga untuk zaman kita ini dengan berbagai tempat dan budaya, kita juga mesti mengemas dakwah kita sesuai dengan tempat kita berada. Suasana di Jerman terntu berbeda dengan di Indonesia.
Sebagai contoh dakwah di satu tempat di Indonesia tidak suka dengan istilah Maulid, maka kita ganti saja acaranya dengan acara Kajian Sejarah Nabi. Isinya sama, yaitu menceritakan sejarah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam. Artinya kita lebih mementingkan penyampaian ilmu kepada masyarakat untuk melawan kebodohan. Tapi cara ini belum tentu sesuai di tempat lain.
Adalagi di satu daerah para pemuda berbangga dengan beberapa aplikasi medsos (contoh instagram) karena bersaing mana yang terbanyak “follower”nya, Maka ulama perlu masuk disitu dengan memakai aplikasi medsos yang sama. Setelah beberapa waktu ternyata follower ulama itu jauh lebih banyak dari kebanyakan pemuda di situ. Maka para pemuda itupun kagum dan berfikir: “wah keren juga orang ini”. Maka para follower itupun lebih mengikuti ulama tersebut. Jadi itulah manhaj wasathiyah (yang ditengah) atau i’tidal (seimbang) yang boleh dibuat oleh ulama. Yang terpenting kita tidak terikut perkara yang haram untuk dapat memasuki ke dalam kehidupan masyarakat.

Apa yang lebih bodoh dari kebodohan?

Imam Sahlu bin Abdullah At-Tustari (lahir tahun 200 Hijriyah), seorang Imam Sufi berkata, tidak ada maksiat yang lebih hebat daripada kebodohan. Kemudian beliau ditanya adakah yang lebih dahsyat lagi dari kebodohan. Beliau menjawab: “Ya benar ada, yaitu bodoh di atas kebodohannya”. Maksudnya jika seseorang tidak tahu bahwa dirinya itu bodoh. Dalam kebodohannya itu, ia merasa pandai, sehingga dia tidak mau lagi belajar untuk membasmi kebodohannya sendiri. Inilah penyebab dia tidak ingin belajar, karena sudah puas karena merasa telah pandai dan mencapai prestasi.
Inilah pesan untuk kita semua jangan cepat puas dengan apa yang kita capai. setelah kita belajar sesuatu dan dapat ilmu, maka teruslah belajar, dan jangan merasa puas karena telah mendapat ilmu itu karena ini menunjukkan kita sudah merasa pandai, dan tidak mau lagi belajar mencari ilmu atau berusaha untuk menjadi lebih baik.
Jadi intinya teruslah merasa bodoh agar terus mengejar ilmu dan belajar untuk mencapai hasil yang lebih baik, agar dapat lebih bermanfaat untuk orang lain. Agar senantiasa kita selalu menjadi lebih baik setiap hari.
Begitulah resep untuk terus belajar dan menjadi orang yang lebih baik. Jangan cepat puas, teruslah bercita-cita untuk merai cita-cita yang lebih tinggi.
Imam Ghazali berkata, yang menyebabkan orang berhenti belajar adalah orang yang sudah merasa pandai. Maka teruslah belajar sambil kita terus merasa bodoh, agar tetap rendah hati untuk terus belajar mencari ilmu. Karena sebaik-baik perkara adalah ilmu, sebagai lawan dari seburuk-buruk perkara adalah kebodohan.

Imam Al Farahidi berkata, ada 4 golongan yang berkaitan dengan ilmu:
1. Orang yang tahu dan dia tahu bahwa dirinya tahu.
Orang ini adalah orang alim yang fokus mengembangkan ilmu dengan belajar dan mengajar. Ulama yang patut kita ikuti.
2. Orang yang tahu tapi tidak tahu bahwa dirinya tahu.
Yaitu orang yang alim tapi lalai, sehingga tidak mau mengajarkan ilmunya, Contoh: seorang lulusan madrasah/pesantren tetapi bekerja mengurus travel. Disini perlu adanya suatu institusi yang mengurus kehidupan orang alim agar orang alim dapat fokus bekerja mengembangkan ilmunya, mengajar dan belajar. Agar menjadi ulama yang berkelas dunia. Artinya mesti ada kerja sama antara masyarakat yang berharta dengan ulama.
3. Orang yang tidak tahu dan tahu bahwa dirinya tidak tahu.
Orang ini mesti kita beri petunjuk agar dia mendapatkan jalan untuk belajar, agar dapat keluar dalam kebodohan.
4. Orang yang tidak tahu tapi tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.
Orang ini mesti kita sadarkan, agar dia sadar bahwa dirinya perlu belajar untuk menuntut ilmu agar tidak terus dalam kebodohan.

Tanya: Berkaitan dengan ucapan Imam Ghazali tentang bahayanya ilmu yang diberikan kepada orang yang berniat keduniaan untuk ilmunya itu. Bagaimana seorang guru tahu bahwa muridnya adalah orang baik yang akan menggunakan ilmunya untuk kebaikan.
Jawab: Dalam ilmu Tasawuf ada istilah, kebaikan dari seorang yang abrar (soleh) adalah maksiat bagi seorang muqorobin (orang yang sangat dekat dengan Allah). Maksudnya jika seorang yang punya uang 1 Juta rupiah memberikan 500 ribu rupiah, dia telah merasa berkorban besar karena telah mengeluarkan separuh hartanya. Namun seorang yang punya uang 1 Triliyun rupiah, jika memberikan 500 ribu rupiah, maka dia akan merasa berdosa, karena hanya memberikan sedikit uangnya. Demikian juga orang yang baru melakukan dzikir Laa ilaaha illallahu 1000x sudah merasa puas karena telah merasa berdzikir kepada Allah. Tapi bagi orang yang sangat dekat dengan Allah, dzikir 1000x saja adalah satu kezaliman. Karena dia masih berfikir apa yang dilakukan di waktu selainnya itu, agar dia terus dapat selalu dekat dengan Allah.
Begitulah cara para guru mendidik murid. Jika ada murid yang telah mencapai satu tahap kebaikan, perlu diberi tarbiyah bahwa pencapaian itu bukanlah kebaikan bagi orang yang sudah lebih tinggi tahapnya. Sekaligus memberi ingatan dan obat kepadanya agar terus belajar agar tidak lalai dengan ilmunya itu dan agar tidak mengharap keduniaan. Maka sang gurupun akan menjadi tahu mana murid yang sungguh-sungguh mencari ilmu dan mana yang hanya pura-pura.

Wallahu a’lam


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian