Al-Lathiif (اللَّطِيفُ)
Makna Al Lathiif
Ismu Al-Lathiif artinya Yang Maha Lembut, Yang Maha Halus. Imam Ghazali mengatakan yang berhak mempunyai Nama Al-Lathiif adalah Dzat Yang Mengetahui Maslahat (Kebaikan) yang sangat lembut dan halus yang tidak kasat mata atau bahkan yang lebih halus dari itu. Lawan dari Sifat ini adalah sifat kasar.
Jika sikap kasar berhadapan dengan sikap lembut, maka sikap yang lembut yang akan menang. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wassalam diperlakukan kasar oleh kaum Thoif dan secara fisik kelihatan kalah. Namun sebenarnya Rasulullah yang sebenarnya menang. Beliau bersikap lemah lembut, tidak marah dan tidak ingin membalas. Bahkan Rasulullah mendoakan agar keturunan dari kaum Thoif itu masuk Islam.
Maka jika ada orang yang berlaku kasar terhadap diri kita, kita tidak perlu membalas dengan sikap yang kasar pula. Inilah sikap Abdul Lathif, hamba Allah yang telah mendapat cahaya Asma Allah Al-Lathiif, Yang Maha Lembut. Allah yang memberikan pengetahuan tentang perkara yang lembut dan halus itu kepada hambaNya. Sebagai contoh alam mimpi adalah alam ghaib bagi kita. Namun ketika ketika berada dalam alam mimpi, maka kita dapat melihat apa yang ada dalam mimpi itu. Demikian juga alam kubur, adalah perkara yang ghaib bagi kita namun nanti jika kita sudah berada dalam alam kubur, maka perkara itu menjadi nyata.
Ada istilah rofiq atau rifqun yang berarti lembut dalam makna fisik atau sikap. Sedangkan lathif atau luthfun bermakna mengetahui perkara yang halus atau lembut dan sifat yang halus atau lembut.
Contoh cahaya Sifat Al-Lathiif pada makhlukNya
Sebagai contoh bagaimana Allah Al-Lathiif Memelihara janin di dalam rahim ibunya. Janin (yang berasal dari sperma dan sel telur) yang sangat halus itu, dapat tumbuh perlahan di dalam rahim yang gelap dan dipenuhi air ketuban, sedang ibunya makan dan minum seperti biasa, tanpa perlu extra memberi makan dan minum kepada janin. Inilah kehalusan dan kecanggihan Allah Al-Lathif dalam menciptakan manusia. Maka Al-Lathiif ada kaitannya dengan makna canggih, detail dan sangat hati-hati.
Janin itu menerima makanan dan minuman secara terukur dari ibunya melalui tali pusar. Ketika sampai pada waktunya ibu akan terasa untuk melahirkan dan bayi itu keluar dari rahim ibunya, Siapa yang memberi tahu ibu dan bayi yang menjadikan bayi itu lahir?
Kemudian setelah bayi itu lahir, bayi dapat bernafas menghirup udara serta dapat minum melalui mulutnya. Siapa yang memberitahu bayi untuk berbuat itu? Siapa lagi kalau bukan Allah Al-Lathif, Yang Maha Lembut yang membisikan kepada bayi itu untuk dapat melakukannya. Kemudian bayi tumbuh dengan memulai minum susu ibunya, kemudian ketika mulai makan yang halus dan seterusnya berkembang mulai suka dengan makanan lain, karena giginya mulai tumbuh dan perutnya mulai kuat menerima makanan itu. Semua itu terjadi dengan perlahan-lahan dan berhati-hati.
Itulah pancaran Nama Allah Al-Lathif. Begitulah Allah memberitahukan bayi untuk dapat tumbuh membesar. Allah adalah Dzat Yang Mempunyai Pengetahuan tentang perkara-perkara yang halus itu secara sempurna.
Sebenarnya Allah masih terus memberi ilham dan berbicara dengan hambaNya, dengan Kehalusan dan Kelembutan Al Lathiif, namun kebanyakan manusia tidak dapat memahaminya. Hanya Abdul Lathiif hamba Allah yang mendapat cahaya Al Lathiif yang dapat memahaminya.
Jika Allah memberi makanan lahiriah secara hati-hati dan perlahan-lahan, maka demikian juga Allah memberi tarbiyah dan makanan ruhani kepada hambaNya secara perlahan dan bertahap. Ianya juga memerlukan waktu, secara bertahap dan istiqamah yang menuntut kesabaran dari kita.
Jadi tidak mungkin seorang hamba belajar agama untuk mendapatkan tarbiyah ruhani dengan cepat atau tergesa-gesa. Mereka belajar cepat dan tergesa-gesa ini biasanya akan mudah merendahkan orang lain karena sudah merasa alim dengan ilmunya yang sedikit.
Cara hamba Allah mendapatkan cahaya Al Lathiif
Maka untuk menjadi Abdul Lathiif yaitu hamba Allah yang mendapatkan cahaya Al-Lathiif, sehingga mempunyai hati yang halus dan lembut, hendaknya hamba Allah senantiasa istighfar meminta ampun kepada Allah, karena kita adalah makhluk yang banyak dosa, agar Allah mengampuni dosa dan membersihkan hati kita dari dosa. Kemudian hendaknya banyak berdzikir mengingati Allah dan banyak bersholawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Hendaknya hal itu dilakukan secara istiqamah, dimulai perlahan-lahan dan bertahap.
Syeikh Ahmad At-Tijani berkata jika Allah sudah memandang hambaNya dengan rahmatNya sekali saja, maka hamba Allah itu akan selamat. Karena Allah Memandang dengan Sifat Qidam dan Sifat Baqa.
Hamba Allah yang mendapatkan cahaya Al-Lathiif
Hamba Allah yang telah mendapat cahaya Al-Lathiif, maka
1. Hamba itu akan selalu merasa tenang, dalam keadaan apapun yang terjadi padanya. Dia faham dengan maksud Allah Yang Maha Lembut. Misalnya ketika pandemi Covid-19 ini yang kelihatannya mempunyai dampak yang cukup berat, hamba Allah itu yakin ada hikmah yang besar disebaliknya. Ada rencana Allah Al-Lathiif yang penuh kebaikan dari pandemi ini
2. Hamba itu akan mempunyai pengetahuan tentang perkara yang sangat detail dan sangat halus dapat disebut dengan Abdul Lathif, sehingga dia dapat bersikap lembut kepada hamba Allah yang lain. Jika hamba Allah itu adalah seorang Ulama atau pendakwah, maka hamba Allah itu akan bersikap lemah lembut kepada orang yang berbuat kasar padanya. Tanpa ada fanatisme dan permusuhan terhadap orang yang memusuhinya. Tidak marah ketika dihina atau dikritik. Hatinya tetap lembut, tidak menjadi keras karena sikap keras orang lain.
Sikap lemah lembut yang paling tinggi bukanlah ucapan yang lemah lembut yang dibuat-buat atau basa-basi untuk mengambil hati orang, melainkan kata-katanya keluar dari hati yang lemah lembut karena telah mendapat cahaya dari Allah Al-Lathif.
Al-Khabiir (الْخَبِيرُ)
Makna Al-Khabiir
Ismu Al-Khabir artinya adalah Maha Mengetahui yang tidak luput dariNya kabar atau berita yang tersembunyi. Tidak ada pergerakan di alam nyata dan alam yang ghaib (alam Malakut, alam Jabarut dsb) baik pergerakan lahiriah maupun pergerakan bathin berupa fikiran/hati yang halus sekalipun kecuali Allah Al Khabiir Mengetahuinya.
Al-Khabiir maknanya hampir sama dengan Al-Alim. Jika Al-Alim adalah Sifat Maha Mengetahui keseluruhan secara umum. Maka Al-Khabiir adalah Maha Mengetahui sesuatu yang bathin yang tidak kelihatan dengan kasat mata.
Kata khabar sudah menjadi bahasa Indonesia, seperti ucapan apa kabar? Yang artinya berita atau keadaan.
Dalam bahasa Arab khabar artinya berita yang dalam, yang juga menceritakan keadaannya yang tidak kasat mata, yang hanya didapat setelah orang menelitinya.
Hikmah dua Asma Allah Al-Lathiif dan Al-Khabiir yang sering disebut bersamaan
Asma Al Khabiir sering disandingkan dengan Al-Lathiif. Hikmah dari dua Asma yang sering disandingkan ini adalah agar jika kita sebagai hamba Allah Al-Lathiif dan Al Khabiir, jika mendapatkan suatu berita, maka jangan melihat berita yang lahiriahnya atau kasat mata saja, tetapi hendaknya juga mencoba melihat berita yang tidak kasat mata disebalik berita yang kasat mata itu, yaitu yang lebih detail dan lebih halus lagi.
Hamba Allah yang mendapat cahaya Al Khabiir
Hamba Allah yang mendapat cahaya Al Khabiir, ia akan sensitif dengan adanya sesuatu yang tersembunyi. Misalnya jika ada suatu kebusukan, kegelapan atau bintik dosa yang masuk pada dirinya, dia akan segera sadar. Sehingga dia akan sering bermuhasabah pada dirinya dan sibuk memperbaiki dirinya sehingga tidak sempat mengurus keburukan orang lain.
Dia mengenal sifat buruknya, bagaimana kelemahan dirinya dalam menghadapi syaitan dan hawa nafsu. Sehingga dia dapat mengenal diri dan mengendalikan dirinya. Dia akan lebih memperhatikan kesalahan dirinya untuk dapat memperbaiki sebelum melihat kesalahan orang lain.
Jika cahaya Ismu Al-Khabiir disandingkan dengan cahaya Ismu Al-Lathiif, maka dia akan dapat lebih halus dan detail dalam mengenal dirinya.
Dalam ilmu Hadits, ada istilah Khabir, yaitu orang yang ahli dan mengetahui ilalul hadits yaitu tentang cacatnya hadits-hadits, yang tidak dimengerti oleh orang awam. Dalam ushul fikih, orang yang khabir akan mencapai tingkat mufti yang dapat memberikan fatwa.
Keluasan dan kedalaman ilmu seseorang tergantung sejauh mana cahaya Al Khabiir itu masuk kedalam hatinya. Oleh sebab itu jika seseorang ingin mendapatkan cahaya Al Khabiir, maka hendaknya ia menhaluskan dan melembutkan hatinya agar ia mendapatkan pengetahuan yang luas dan halus dari Allah Al-Lathiif dan Al Khabiir.
Al-Haliim (الْحَلِيمُ)
Makna Al-Haliim
Al-Haliim artinya Yang Maha Santun. Sikap Santun pada Sifat Halim ini dikaitkan dengan ketika Allah Menyaksikan kemaksiatan, keingkaran dan bahkan sesuatu yang diluar adab, Allah tidak menanggapi langsung dengan marah dan tidak dengan tergesa-gesa memberikan hukuman, walaupun Allah sanggup untuk melakukannya. Halim (hilm) adalah lawan dari sifat marah (Ghadhab). Kesantunan atau sikap halim (hilm) yang ada pada seorang hamba tidak mungkin dapat terjadi kecuali hatinya sudah mendapat cahaya Al Halim.
Rasulullah shallalahu alaihi wassalam dahulu dipelihara oleh Siti Halimah sebagai ibu susunya. Beliau adalah seorang wanita yang benar-benar bersifat halim sebagaimana namanya, sebagaimana ibu Rasululllah shallallahu alaihi wassalam yang bernama Aminah, mempunyai sifat yang dipercaya seperti namanya.
Hamba Allah yang mendapat cahaya Al Haliim
Jadi ketika hamba Allah Al Halim melihat orang yang berbuat maksiat, dia tidak langsung marah, melainkan justru sayang kepadanya dan berusaha agar orang itu keluar dari kemaksiatan. Bukan menjadi marah dan mengatakannya sesat ataupun justru mendoakan orang itu masuk neraka.
Demikian juga sikap halim ini juga dapat dilihat dari bagaimana seorang hamba melihat orang yang berbeda pandangan. Dia tetap santun menghadapinya, tidak mudah marah hanya karena berbeda pendapat atau pandangan.
Sebagai contoh sekarang ini banyak orang menuduh bahwa Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah adalah sesat. Mereka menuduh dengan tuduhan yang sebenarnya mereka tidak faham dengan tuduhannya itu. Maka kita tidak perlu marah atau benci kepadanya. Jika cahaya Al Halim ini telah ada dalam hati kita, maka cukup kita menjelaskan kepada mereka dengan santun, tanpa emosi dengan harapan kepada Allah untuk membuka pemahaman yang benar kepada mereka. Dalam sifat Halim juga ada sikap tidak tergesa-gesa. Kita mesti juga mempelajari apa yang mereka tuduhkan itu, kita fahami, baru kita menjelaskannya kepada mereka, sehingga kitapun telah faham mengapa mereka menuduh begitu, sehingga kita dapat menjelaskan kepada mereka sesuai dengan penjelasan yang diperlukan.
Sifat halim ini sangat penting bagi kita umat Islam dalam menjalankan dakwah, sehingga orang tidak menganggap Islam itu keras dan kasar. Hamba Allah yang telah mendapat cahaya Al Haliim adalah
1. Tidak mudah berprasangka buruk kepada orang lain.
2. Tidak menganggap orang yang berbeda itu musuhnya.
3. Tidak tergesa-gesa dalam menilai sesuatu.
Sehingga tidak memusuhi dan membenci orang yang bermaksiat, atau orang yang kelihatan belum menjalankan agama, tidak mudah mencap orang lain itu sesat atau bid’ah.
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam sangat suka kepada orang yang bersifat halim (santun). Kita berdoa kepada Allah, agar Allah memancarkan cahaya Al Haliim kepada hati kita, sehingga kita mempunyai sikap dan sifat halim. Amien Allahumma Amien.
Al-‘Azhiim (الْعَظِيمُ)
Makna Al-‘Azhim
Al-‘Azhim berasal dari kata ‘azhama yang artinya besar. Mirip dengan kata kabir. Kalau kabir berkaitan dengan rasa besar atau rasa sombong. Yang boleh merasa sombong hanya Allah,
Sedang makna ‘azhim dikaitkan dengan besar secara lahiriah, sebagaimana firman Allah dalm QS At-Taubah 129:
فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۗ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ ࣖ
Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung.”
Dalam ayat itu disebutkan bahwa Allah adalah Robb (Tuhan yang memiliki) ‘Arsy (singgasana) yang agung. Agung disini menjelaskan ‘Arsy. Dan memang diketahui bahwa makhluk Allah yang paling besar lahiriahnya (fisiknya/jismnya) adalah ‘Arsy.
Sedang dalam QS An-Najm:3 Allah berfirman
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Makna ‘azhim disini tidak lagi bermakna besar secara lahiriah, melainkan besar secara maknawi atau nilai. Akhlak Nabi itu sangat besar nilainya, bahkan mempunyai nilai yang terbesar di antara makhluk Allah. Nabi adalah makhluk Allah yang paling baik akhlaknya.
Ketika Siti Aisyah ditanya bagaimanakah akhlak Nabi itu? Maka dijawab oleh Siti Aisyah, bahwa Akhlak Nabi adalah Al Quran.
Disini juga menjelaskan besarnya nilai Al Quran itu jika sudah menjadi akhlak yang diamalkan. Namun zaman sekarang ini orang terlalu membesarkan orang yang hafal Al-Quran, tanpa memperhatikan pemahaman dan akhlak dari orang yang hafal Al Quran.
Walaupun orang yang hafal Al Quran itu memang sudah sangat baik, namun nilai yang besar adalah jika orang juga memahami dan mengamalkan akhlak Al Quran. Betapa besarnya nilai Al Quran itu, sehingga kita sangat sulit membayangkan kebesarannya.
Hamba Allah yang mendapat cahaya Al Azhim
Hamba Allah yang terbaik mendapat cahaya Al ‘Azhim adalam para Nabi dan Rasul. Sehingga mereka sangat dimuliakan. Kita melihat betapa Sahabat yang sangat faham akan kemuliaan Rasulullah itu begitu menyambutnya ketika beliau datang ke Madinah.
Semestinya kita juga memahami kebesaran ulama yang mewarisi ilmu dan akhlak Rasulullah sebagaimana Shahabat membesarkan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Ulama dimuliakan karena mewarisi ilmu dan akhlak Rasulullah. Bukan dimuliakan karena lahiriah atau pakaiannya.
Maka hendaknya kita memuliakan para pewaris ilmu dan akhlak Nabi ini, serta mengikuti dan menirunya, agar kitapun mendapatkan warisan ilmu dan akhlak Nabi dari mereka.
Wallahu a’lam
0 Komentar