Al Manhaju As Sawi halaman 83

Keutamaan Ilmu dalam Hadits dan Atsar

Ilmu adalah jalan untuk mengenal Allah

Allah bersifat Ilmu, Al ‘Alim yakni Maha Mengetahui. Allah sangat memuliakan orang yang berilmu. Ilmu adalah landasan manusia untuk mengenal sesuatu. Mengenal adalah tahapan yang jauh lebih tinggi dari mnegetahui. Demikian juga seseorang yang mengenal Allah (Al ‘Arif billah) berbeda dengan orang yang mengetahui Allah (Al ‘Alim billah). Orang yang mengenal Allah bukan sembarangan, dia punya martabat yang istimewa di sisi Allah. Namun sebelum seseorang dapat mengenal Allah, wajib baginya untuk mempunyai ilmu tentang Allah yaitu orang yang disebut Al ‘Alim billah. Martabat ini pun sudah sangat istimewa, yang tidak orang sembarangan dapat mencapainya, apalagi untk mencapai martabat Al ‘Arif billah.
Orang yang disebut Al ‘Alim billah adalah orang yang sudah mengenal hakikat ilmu tentang Allah. Setelah itu baru orang itu mendapatkan martabat ma’rifat kepada Allah. Orang yang mengenal Allah, Al ‘Arif billah. Oleh sebab itu tidak mudah mengaku Al ‘Alim billah, apalagi Al ‘Alaamah yaitu orang yang sangat mengetahui Allah, dan lebih-lebih lagi martabat Al ‘Arif billah.
Maka adalah mimpi jika seseorang ingin mencapai ma’rifat kepada Allah, tetapi dia tidak menuntut ilmu. Bahkan orang seperti ini akan lebih banyak kesesatannya dari pada benarnya. Diumpamakan seseorang ingin mencapai tempat yang lebih tinggi, tetapi dia tidak mau melangkah melalui anak tangga untuk mencapai tempat yang lebih tinggi itu. Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk menuntut ilmu.

Ulama adalah pewaris Nabi

Menuntut ilmu adalah kewajiban kita. Oleh sebab itu umat Islam tidak boleh jauh dari ilmu. Diwajibkan bagi umat Islam untuk selalu dekat dengan ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang diwariskan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Yaitu kepada Ulama pewaris (ilmu) Nabi.
Rasulullah berkata, sesungguhnya para Nabi tidak meninggalkan apa-apa, bukan harta bukan dirham bukan dinar, melainkan ilmu. Jadi seseorang yang mendapatkan ilmu ini. maka dia telah mendapatkan warisan yang besar dari Rasululllah shallallahu alaihi wassalam.
Dalam satu Hadits dikisahkan, ketika Rasulullah shallallahu alaihi wassalam memasuki Mesjid dilihatnya ada 2 halaqah (majelis), yang satu halaqah dzikir yang yang satu lagi halaqah Ilmu. Maka Rasulullah memilih kepada halaqah ilmu. Ini menunjukkan menuntut ilmu adalah ibadah yang paling utama.
Setelah wafat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, suatu hari Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata di pasar di Madinah: “Wahai saudara-saudara yang dipasar, mengapa kalian masih sibuk dengan dunia kalian, sedangkan warisan Rasulullah sedang dibagikan di Mesjid”.
Maka orang di pasar itu langsung menutup dagangannya dan berbondong-bondong datang ke Mesjid Nabawi. Namun ketika mereka sampai di dalam Mesjid, tidak melihat ada orang yang membagikan harta warisan. Merekapun marah kepada Abu Hurairah radhiallahu anhu : Wahai Abu Hurairah, kami jangan menipu kami, tidak ada orang membagikan harta di Mesjid”. Kemudian Abu Hurairah berkata: “Kamu tidak lihat ada orang orang berkumpul disana?”. Mereka menjawab:” Iya, kami melihat orang berkumpul dengan membahas ilmu Fiqih, ilmu Al Qur’an”. Kata Abu Hurairah: “itulah warisan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam yang sedang dibagikan”.
Ilmu para Nabi adalah cahaya, yaitu cahaya yang menerangi kehidupan kita di dunia dan di akhirat. Kata Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi , hal yang paling disukai Rasulullahu shallallahu alaihi wassalam pada umatnya adalah bukan dzikir, bukan wirid, bukan ibadah melainkan menuntut ilmu. Amalan dzikir, wirid dan ibadah lain itu, dapat diterima oleh Allah jika diamalkan dengan ilmu tentang amalan-amalan itu, agar diamalkan dapat dengan benar.

Hikmah dibalik hadits pertama diriwayatkan oleh Sayidina Muawiyah r.a.

Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wassalam yang diriwayatkan oleh Sayidina Muawiyah radhiallahu anhu dalam Sahih Imam Bukhari

من يرد الله به خيرا يوفقه في الدين

Barang siapa yang dikehendaki menjadi baik maka dikuatkanlah ia dalam perkara agama.
Hadist ini diriwayatkan juga dalam Sahih Imam Muslim.
Dalam bab tentang keutamaan Ilmu yang disebutkan dalam Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan atsar para shahabat radhiallahu anhum, Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith menuliskan hadits yang pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sayidina Muawiyah radhiallahu anhu. Ini ada hik,ah dan rahasia yang ingin disampaikan oleh beliau, bahwa kita sebagai penganut Ahlussunnah wal Jamaah adalah pecinta Ahlu Bait dan keluarga serta keturunan Nabi juga pecinta para Shahabat Nabi.
Sayidina Muawiyah radhiyallahu anhu adalah shahabat yang pernah konflik dengan Sayidina Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah. Namun Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith justru menuliskan hadits riwayat Sayidina Muawiyah radhiyallahu anhu sebagai hadits yang pertama dituliskan dalam Kitabnya dalam bab ini. Hal ini adalah suatu yang luar biasa yang dilakukan oleh penulis Kitab ini yang merupakan keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah Az-Zahra radhiallahu anhuma. Bahkan anak dari Sayidina Muawiyah yaitu Yazid bin Muawiyah orang yang tersangka terlibat dalam pembunuhan Sayidina Hussein bin Ali bin Abi Thalib, kakek dari Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith.
Kalau orang yang masih fanatik kepada seseorang apalagi jika orang itu adalah kakeknya sendiri, tentu orang itu akan mencantumkan nama kakeknya di tempat yang pertama. Namun Habib Zein justru menulis Shahabat Nabi yang ketika itu bermusuhan dengan kakeknya. Ini menunjukkan bahwa Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith ini mengatakan kami Ahlul Bait mencintai para Shahabat Nabi, untuk memberi contoh kepada Umat Islam. Tentang urusan permusuhan antara Sahabat radhiallahu anhum, hendaknya kita diam dan tidak mencampurinya. Ini juga sekaligus menunjukkan inilah akhlak dari kakeknya yaitu Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu yang begitu rendah hati dan berakhlak mulia, yang tentu saja ini didapat dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Bagi orang yang tidak tahu kisah Shahabat Sayidina Muawiyah radhiallahu anhu, tentu berprasangka, bahwa Sayidina Muawiyah sudah tidak mengikuti manhaj yang benar, ini adalah tuduhan yang keliru. Sebab Sayidina Muawiyah radhiallahu anhu adalah salah seorang dari Shahabat yang ditunjuk oleh Rasulullahu shallallhu alaihi wassalam untuk menuliskan wahyu, yaitu menuliskan Al Quran. Orang yang ditunjuk Rasulullah untuk menulis wahyu tentulah orang yang mulia dan bukan orang yang sembarangan.
Tentang kisah di akhir hidup Sayidina Muawiyah, bahwa beliau mempunyai harta yang berlimpah, menguasai satu daerah atau kerajaan. Adalah urusan beliau dengan Allah. Itu adalah ijtihad beliau yang memang layak untuk berijtihad. Jadi sepatutnya kita diam tidak perlu komentar apapun terhadap Shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Karena, kalaupun mereka salah dalam ijtihadnya, mereka masih jauh lebih mulia dari kita walaupun misalnya jika kita benar.
Selain itu Sayidina Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu anhuma masih keluarga dekat Rasulullah shallallahu alaihi wassalam melalui satu di antara Ummahatul Mukminin yaitu Sayidatina Ramlah binti Abu Sufyan kakak dari Sayidina Muawiyah radhiallahu anhu. Jadi beliau adalah adik ipar Rasulullah shallalahu alaihi wassalam. Beliau dikenal juga dengan gelar Ummu Habibah.
Abu Sufyan radhiallahu adalah pendekar yang gagah berani yang pernah lama memerangi Rasulullah shallallahu alaih wassalam bersama istrinya Hindun, yang memerintahkan untuk membunuh Sayidina Hamzah radhiallahu anhu. Namun ketika Futuh Mekkah di tahun ke 8 Hijriyah Abu Sufyan bersama istrinya Hindun masuk Islam dan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam menerima keimanan mereka. Abu Sufyan adalah juga saudara dekat Rasulullah yaitu Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdusy-Syams bin Abdumanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhor bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Artinya jalur nasab Abu Sufyan sama dengan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bertemu di Abdu-Manaf (Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu-Manaf).
Jadi Hasyim dan Abdusy-Syams adalah kakak beradik. Mereka memang sejak awal bersaing dan bermusuhan. Kemudian persaingan antara Abdul Muthalib dan Umayyah, dilanjutkan antara Rasulullah dan Sayidina Abu Sufyan. Seterusnya Sayidina Ali dan Sayidina Muawiyah. Selanjutnya Sayidina Hussein bin Ali dan Yazid bin Muawiyah. Jadi ini adalah perseteruan antara keluarga dekat. Dan kita sebagai orang luar tidak perlu ikut mengomentari mereka. Jadi tidak ada ta’asub atau fanatik dalam agama. Kalau suatu Hadits yang Shahih walaupun itu datang dari orang yang mungkin kita tidak sukai, tetaplah kita terima. Inilah isyarat yang diberikan oleh Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith.
Pada suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wassalam sedang duduk bersama Sayidina Muawiyah, melihat Sayidina Ali memasuki Mesjid: ” Wahai Muawiyah, cintakah engkau kepada orang yang baru lewat itu?”
Sayidina Muawiyah menjawab:” Bagaimana saya tidak cinta kepadanya yang Rasulullah”. Kemudian Rasulullah berkata:”Kalian berdua akan mendapat fitnah”. Sayidina Muawiyah menjawab:” Ya Rasulullah, saya redha dengan Qadar, dengan Taqdir Allah”.
Jadi mereka berdua sudah tahu akan terjadinya fitnah itu. Ketika Sayidina Muawiyah sudah menjadi Raja, beliau memanggil pengikut Sayidina Ali ketika mereka bermusuhan: “Coba kamu ceritakan bagaimana Sayidina Ali?”. Pengikut Sayidina Ali berkata:” Apakah saya jawab dengan jujur atau berdusta?”. “Jawablah dengan jujur”, kata Sayidina Muawiyah.
Kata pengikut Sayidina Ali:” Sayidina Ali luar biasa akhlaknya. Setiap malam beliau menangis, sambil berkata, wahai dunia pergilah engkau jauhilah aku, aku sudah mentalaqmu 3 kali”. Talaq 3 kali adalah talaq yang tidak membolehkan istri/suami kembali lagi, demikian karena begitu takutnya beliau terhadap fitnah dunia.
Sayidina Muawiyah pun ikut menangis: “Kamu benar, memang begitulah dia”. Artinya walaupun mereka bermusuhan, namun mereka saling mengakui kebaikan masing-masing dan sama-sama menghormati. Maka apalagi kita tentu tidak boleh mengomentari mereka. Shahabat adalah suatu anugerah mulia yang tidak bisa diusahakan. Itu hanya didapat karena pemberian Allah. Maka kita sudah patut untuk mengakui dan menhormati kemuliaan itu

Maksud Hadits secara Mantuq (tekstual) dan Mafhum (kontekstual)

Kembali kepada hadits tadi, orang yang Allah ingin kebaikan padanya maka Allah berikan kepadanya kefahaman dalam beragama. Jadi orang yang Allah inginkan untuknya kebaikan, Allah mudahkan dia untuk menuntut ilmu agama atau mudah memahami agama. Maka jika dia berada di tempat jauh, Allah akan memberikan sarana untuknya mendapatkan ilmu agama, karena Allah cinta kepadanya. Jadi ini seperti isyarat dari Allah. atau seperti dikasih “kode” oleh Allah tentang tanda-tanda orang yang dicintai Allah. Dimana pun kamu berada, maka kamu dipermudah mendapat dan memahami ilmu agama, karena Allah cinta kepadamu. Kata Abu Bakar bin Abdullah bin Thahir Al Attas, jika seorang murid yang benar bersungguh-sungguh ingin sampai kepada Allah, maka Allah akan mendatangkan padanya seorang guru yang mengajarkannya ilmu agama, bahkan jika dia hanya berada di rumah, tanpa perlu bersusah payah. Ini adalah makna “mantuq” (yang tertulis) Hadits.
Adapun secara mafhum yaitu pemahaman di luar teks. Ini adalah pemahaman yang lebih mendalam. Ada sebagian golongan yang zerpaku pada teks, seprti menyembah teks. Jadi kalau membaca ayat Quran golongan ini hanya mamahami teks, tidak boleh memahami secara mafhum (kontekstual) dan majaz (perumpamaan).
Suatu ketika seorang Habib (Ulama keturunan Nabi) bertemu dengan seorang yang buta matanya dari golongan yang terpaku pada pemahaman teks. Orang ini berkata bahwa maksud ayat

Surat Thaahaa 20:5

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.

adalah Allah memang bersemayam secara hakiki di atas Arasy, tidak boleh diartikan lain. Kalau Allah tidak bersemayam secara hakiki, tentu Allah tidak berkata begitu. Inilah keyakinan golongan yang terpaku pada makna teks. Habib itu kemudian berkata “Kalau anda memahami begitu maka apa arti ayat ini:

17:72

Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan.

Apakah orang yang buta di dunia akan pula buta di akhirat dan tersesat jalan?”. Maka orang tadi terdiam, karena dia adalah orang yang buta. Tentulah makna ayat ini bukan begitu. Buta yang dimaksud adalah buta terhadap kebenaran.

Jadi penting bagi kita memahami adanya makna mafhum yang di luar makna teks. Maka Hadits tadi juga bermakna, jika Allah tidak menginginkan seseorang jadi baik, maka akan berlaku sebaliknya, yaitu Allah akan susahkan orang itu untuk mendapatkan atau memahami ilmu agama. Orang itu dipersulit untuk memahami /belajar agama. Misalnya jika seseorang sudah siap belajar, ada saja halangan, misalnya gurunya tidak siap. Ketika murid dan guru siap, sarananya tidak ada. Ada saja kendala yang menghalangi hamba tadi untuk belajar atau memahami agama. Namun jika Allah menginginkan orang itu menjadi baik. Jika murid suda siap, guru tidak siap, maka Allah jadikan guru itu siap. Jika murid dan guru tidak dapat bertemu, ada saja bantuan Allah yang menjadikan murid dan guru bertemu. Kala ini yang terjadi, maka seolah-olah Allah berkata: “Wahai hambaKu, aku ini sayang dan cinta padamu, maka Aku permudah engkau untuk belajat dan memahami agama”. Pemahaman seperti ini membuat kita muhasabah diri selalu, agar berusaha dan berdoa semoga kita termasuk orang yang dicintai Allah, sehingga Allah Menghendaki diri kita menjadi orang yang baik, dengan mempermudah kita dapat kesempatan belajar dan memahami agama.

Tidak ada Ibadah kepada Allah yang melebihi ibadah menuntut Ilmu

Hadits ini adalah riwayat Imam Baihaqi, sanadnya dhoif. Hadits dhoif boleh diambil untuk menguatkan fadhoilul amal (amalan yang utama). Dijelaskan disini bahwa ibadah kepada Allah yang terbaik adalah ibadah menuntut ilmu.
Dalam hadits riwayat Imam At-Turmuzi dan Umam Ibnu Majah, Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Satu orang Faqih yang Alim itu lebih menyusahkan syaitan dari pada 1000 orang ahli ibadah yang jahil”. Maksudnya kepada ahli ibadah yang jahil, syaitan tidak perlu susah susah untuk menggoda agar mereka berbuat jahil. Justru syaitan cukup mendiamkan diantara orang-orang jahil itu untuk saling meniru kejahilan mereka, bahkan menjadi “jaringan” yang membantu syaitan menjadikan lebih banyak manusia menjadi jahil. Karena ibadah orang jahil yang tidak memenuhi syarat tidak akan diterima oleh Allah. Sedangkan seorang fakih yang alim sangat menyusahkan syaitan, karena orang alim ini sempurna ibadahnya. Misalnya ketika sholat, terpenuhi syarat sholat, benar rukunnya, menjaga dari hal yang membatalkan sholat. Ini menjadi syarat diterimanya ibadah sholat. Kalau orang alim ini mengajarkannya kepada orang lain, maka semakin banyak orang yang dapat menyempurnakan sholatnya.
Dalam satu Hadits Mauquf yaitu hadits yang diucapkan hanya sampai kepada Shahabat yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, jika saya di suruh memilih duduk sesaat untuk menuntut ilmu lebih saya sukai dari pada duduk berdzikir atau yang semisalnya.

Tanya-Jawab:

Tanya: Bagaimana membedakan orang yang arif dan orang yang alim untuk kita dapat belajar kepadanya?
Jawab: Asal kata arif ini diambil dari satu Hadits. Suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Suatu hari Rasulullah bertemu seorang anak remaja umur sekitar 14 tahun bernama Haritsah. Beliau bertanya: “Apa kabarmu pagi ini, nak?”. Haritsah menjawab:”Pagi hari ini keadaan saya beriman kepada Allah”. Dia begitu berani menjawab di depan orang yang paling beriman, tentulah dia begitu yakin dengan jawabannya.
Rasulullah kemudian serius bertanya:”Setiap ucapan mesti ada buktinya, apa bukti imanmu, nak”.
Haritsah menjawab:”Wahai Rasulullah, hatiku sdah tidak tertarik dengan dunia. Emas dan batu kerikil sudah tidak ada bedanya bagiku, ya Rasulullah. Dan pagi hari ini seakan-akan saya melihat syurga, dan orang-orang sedang menikmati syurga. Dam saya seakan-akan melihat neraka, dan orang-orang sedang tersiksa di sana. Dan saya seolah-olah melihat Arasy Allah. Maka Rasulullah berkata:” Betul engkau sudah arif, nak, maka istiqomahlah”.
Tidak lama setelah itu, terjadi perang Uhud. Haritsah termasuk anak remaja yang diizikan mengikuti perang itu dan mati syahid di sana. Ibu dari Haritsah datang dengan menjumpai Rasulullah shallallahu alaihi wassalam:” Ya Rasulullah, dimana anakku?”
Rasulullah menjawab:”Anakmu sudah mati mulai karena syahid, kamu mesti bersabar”. Ibunda Haritsah berkata lagi:”Bukan itu yang saya tanya, Ya Rasulullah, tetapi dimana anakku, dia ada di Syurga atau di Neraka?”
Rasulullah menjawab:”Wahai Ibu Haritsah, apakah kamu sudah gila. Haritsah sudah mendapatkan syurga, bahkan syurga yang tertinggi, yaitzu syurga Firdaus”.
Hadits ini menunjukkan maqam seorang yang arif yang tinggi, yang akan mendapatkan Syurga Firdaus, syurga yang tertinggi. Haritsah radhiallahu anhu adalah contoh orang yang telah arif, sudah ma’rifat kepada Allah. Inilah maqam yang paling tinggi yang hanya dicapai melalui syariat, yaitu melaksanakan syariat. Untuk itu semua kita perlu ilmu yang 3 yaitu, ilmu Iman (Aqidah), Ilmu Islam (Fikih) dan Ilmu Ihsan (Tasawuf), yang kemudian diamalkan.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian