Al Kabir (الْكَبِيرُ)
Makna Al Kabir
Al Kabir artinya yang Maha Besar, yang mempunyai Kibriya (Sifat Kebesaran, Yang Memiliki Kebesaran), atau juga dapat diartikan Kesombongan. Allah juga mempunyai Nama Al Mutakabir, yang artinya Yang Maha Takabur (Merasa Sombong). Memang hanya Allah yang boleh Sombong dan Takabur, karena Allah Memiliki apa-apa yang dapat dibanggakan secara hakiki. Orang yang sombong atau takabur, adalah orang yang merasa dirinya besar, sehingga merasa punya hakagar orang lain mendengarnya, padahal semua itu bukanlah miliknya yang hakiki.
Imam Ghazali mengatakan Kibriya atau Kesombongan karena mempunyai Kesempurnaan Dzat. Kesempurnaan Dzat itu ada pada Kesempurnaan Wujud. Kesempurnaan Wujud dari Dzat Allah dapat dilihat dari berbagai sisi. Pertama, WujudNya tidak mempunyai permulaan dan tidak akan berakhir, yang kita pelajari dalam Sifat Wajib Allah Qidam dan Baqa.
Segala yang pernah tidak ada adalah tidak sempurna. Sedang Allah ada sebelum adanya waktu dan tempat. Dan Allah Maha Kekal, mustahil akan akan musnah atau menjadi tidak ada.
Itulah sebabnya dalam bahasa sehari-hari orang yang lebih tua disebut juga kabir. Dikisahkan seorang Shahabat Nabi yaitu Sayidina Abbas bin Abdul Muthalib ditanya, siapakah yang akbar (lebih tua) engkau atau Rasulullah. Beliau dengan beradab menjawab: Rasulullah akbar (lebih tua) dariku, tapi aku lebih dahulu lahir. Jadi beliau faham bahwa Rasulullah , dalam hal ini Nur Muhammad memang lebih tua atau lebih dahulu diciptakan dari pada dirinya. Namun beliau lahir terlebih dahulu di dunia dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam.
Jadi inilah di antara makna Kabir. Makna Al Kabir sedikit berbeda dari Al ‘Azhim. Makna Al ‘Azhim adalah bermakna besar yang berkaitan dengan Keagungan dan Kemuliaan kedudukan.
Allah disebut Al Kabir juga karena WujudNya adalah awal atau sumber dari wujud seluruh alam semesta. Kita dapat mengatakan orang tua kita itu kabir, karena kita ini berasal dari orang tua kita yang menjadi sebab lahirnya kita.
Maka Allah lebih layak disebut Al Kabir karena yang menjadi sebab hakiki terjadinya alam semesta ini.
Bagaimana hamba yang mendapat cahaya Al Kabir
Hamba Allah yang mendapatkan cahaya Al Kabir adalah hamba yang telah mendapatkan sifat kesempurnaan atau kebaikan dari Allah yang dapat menyebarkan sifat kesempurnaan dan sifat kebaikan itu kepada selain dirinya, sebagaimana Sifat Kesempurnaan Allah itu memancar kepada makhlukNya.
Maka jika orang duduk bersama atau bergaul dengan hamba Allah yang mendapatkan cahaya Al Kabir itu, orang itu akan mendapatkan cahaya kesempurnaan dari hamba Allah itu berupa ilmu, akalnya, ketaqwaan, sikap wara’ dan sebagainya.
Inilah yang terjadi pada para Imam-Imam besar di zaman dahulu. Walaupun Imam-Imam itu lebih muda usianya, seperti Imam Syafei, tapi dapat memberikan ilmu dan manfaat kepada orang-orang disekelilingnya walaupun usianya lebih tua dari Imam-Imam itu.
Para Imam itu walapun masih muda tetapi sudah matang akalnya, ilmunya luas dan sikap wara nya terpancar. Para Imam itu tahu mana perkara yang mesti didahulukan dan mana perkara yang tidak dipentingkan, sehingga orang-lain mendapat manfaat dan mengikutinya.
Para Imam yang mempunyai kesempurnaan akal, ilmu dan sikap wara adalah orang yang mengenal Allah. Itu sebabnya orang-orang sangat tertarik untuk belajar dan mendengarkan perkataan para Imam itu.
Ada orang yang tidak sekolah tinggi, namun akalnya matang dan hidupnya sangat wara’, tapi orang-orang mendatanginya karena ingin belajar untuk mengenal Allah darinya.
Imam Ghazali berkata orang yang mendapat cahaya Al Kabir, adalah orang yang berilmu, yang bertaqwa / wara, yang mursyid (yang dapat memberikan pencarahan) dan soleh. Soleh bukan berarti yang banyak ibadah, tetapi orang yang beramal yang sesuai dengan keperluan. Karena banyak orang yang banyak beribadah tetapi tidak soleh.
Orang yang mendapat cahaya Al Kabir, akan menjadi tauladan yang diikuti oleh orang banyak. Orang ini berilmu dan beramal dengan ilmunya. Semakin banyak cahaya Al Kabir yang diterima hamba Allah, maka semakin banyak ilmunya, semakin bertaqwa, semakin dapat memberi pencerahan dan semakin banyak beramal dengan ilmunya itu.
Al Hafizh (الْحَفِيظُ)
Makna Al Hafizh
Al Hafizh artinya Memelihara atau Menjaga. Imam Ghazali mengatakan makna Hifzhun (Memelihara/Menjaga) dengan 2 pendekatan:
1. Menjaga keberlangsungan wujudnya makhluk, sehingga terjaga dari dari ketiadaan/kemusnahan, seperti bumi dan langit, termasuk manusia serta hewan dan tumbuhan. Nabi Adam ketika menikah dengan Siti Hawa memberikan mahar pernikahan berupa sholawat ke atas Nabi Muhammad. Dari pernikahan ini lahirlah keturunan manusia, yang menjaga keberlangsungan wujudnya manusia secara turun temurun.
2. Menjaga keselarasan unsur-unsur yang ada di alam ini baik yang selaras maupun yang berlawanan. Contoh ada api yang membakar, dan ada air yang memadamkan. Ada tanah yang panas, dan ada udara yang dingin membasahi. Selama unsur-unsur itu seimbang dalam tubuh manusia maka manusia itu terjaga kesehatannya. Namun kemudian manusia tidak menjaga keseimbangan unsur-unsur yang masuk kedalam tubuhnya itu sehingga timbul adanya penyakit dan sebagainya. Mungkin ini memang sudah sunnatullah di akhir zaman. Alam semesta ini sudah tidak mempunyai keseimbangan antara unsur-unsurnya.
Hamba Allah yang mendapat cahaya Nama Allah Al Hafizh
Mereka adalah hamba Allah yang dapat menjaga keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh sehingga menjadikan tubuhnya kuat dan sehat. Hamba Allah itu akan dapat mempertahankan kesehatan badannya. Oleh sebab itu para Ulama zaman dahulu memberikan panduan bagaimana sebaiknya makanan yang baik untuk menjaga kesehatan. Misalnya tidak memakan kombinasi makanan tertentu, seperti makan ikan dengan daging, jangan minum susu dicampur dengan suatu makanan dan sebagainya. Namun manusia tidak dapat menahan nafsunya, sehingga tidak menjaga makanan yang dimakannya.
Demikian hamba Allah itu dapat menjaga alam seperti hutan dengan baik. Hutan adalah faktor yang penting untuk keseimbangan ekosistemnya. Namun setelah manusia mengubah hutan menjadi hutan kelapa sawit yang berlebihan, ekosistem berubah keseimbangannya yang membuat rusak lingkungan. Banyak sekali kerusakan lingkungan akibat ulah manusia yang serakah. Namun kemudian ada kesadaran manusia, maka manusia kemudian menanam pohon untuk menjaga hutan, misalnya dengan menanam pohon mangrove di pantai-pantai untuk menjaga ekosistem pantai. Tetapi usaha perbaikan ini masih sangat kecil dibanding dengan kerusakan yang terjadi.
Allah menjaga alam lahiriah dan juga menjaga alam ruhaniah dari manusia. Inilah yang membuat manusia dan kemanusiaan masih bertahan hingga hari ini. Allah menjaga manusia antara lain, misalnya jika manusia telah mempunyai darah tinggi, maka manusia dijadikan ruhaniahnya untuk dapat melawan sakit, dengan menyukai makanan timun yang menurunkan darah tinggi. Atau orang yag sakit gula menjadi tidak suka dengan makan nasi atau makanan yang mengandung gula.
Jika seseorang sakit panas maka mesti diobati dengan makanan/minuam / obat yang menurunkan suhu badannya.
Imam Ghazali sudah menjelaskan hubungan antara lahiriah dan ruhaniah manusia, yang beliau jelaskan dam ilmu filsafat, yang menjadi asal dari ilmu-ilmu terapannya, seperti ilmu kedokteran dan sebagainya. Kata beliau secara sederhana, unsur dalam manusia itu ada 4 yaitu: air, tanah (unsur badan yang padat, red), api (energi, red) dan udara. Air penyebab basah dan dingin. Tanah bisa basah dan kering, demikian juga udara.
Ini adalah baru diri yang lahiriah. Sedang diri unsur bathin yang juga mesti dijaga keseimbangannya.
Wallahu a’lam
0 Kommentare