MUQADDIMAH BERKENAAN HUKUM-HAKAM

Pembukaan

Dengan nama Allāh yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Selawat dan salam ke atas junjungan Baginda Nabi Muḥammad, ahli keluarganya, dan sahabat Baginda.

Asy-Syeikh Al-Imām al-‘Ālim al-‘Allāmah al-Muḥaqqiq Abū ‘Abdullāh Muḥammad al-Sanūsī al-Ḥasanī –semoga Allāh ta‘ālā merahmati dan meredai beliau– berkata: Segala puja dan puji hanya milik Allah.

Penjelasan gelar Asy-Syeikh Al-Imām al-‘Ālim al-‘Allāmah al-Muḥaqqiq

Asy-Syeikh adalah gelar yang biasa diberikan kepada orang yang sudah tua yang berilmu dan sudah matang. Namun jika orang itu masih mudah dan sudah matang sering juga disebut Syeikh.
Al-Imam adalah gelar untuk orang yang diikuti. Oleh sebab itu dalam sholat berjamaah, orang yang memimpin sholat disebut imam, karena gerakannya diikuti oleh ma’mum.
Al-‘Alim Al-‘Alamah adalah gelar untuk orang yang sangat berilmu. Orang yang alim belum tentu mengamalkan ilmunya, belum tentu soleh dan belum tentu berakhlak. Untuk orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, tidak soleh dan tidak berakhlak, tidak mesti diikuti, walaupun kita mengakui ketinggian ilmunya.
Al-Muhaqqiq adalah gelar yang untuk orang yang dapat menjelaskan perkara yang benar (al-haq) dengan sebenarnya.

BAB I : Tentang Hukum-Hakam

Hukum ialah pengisbatan sesuatu perkara atau penafiannya. Hukum terbahagi kepada tiga jenis:

  1. Syara’
  2. Adat, dan
  3. Akal..

Apa itu hukum?

Hukum adalah suatu pernyataan yang menetapkan (itsbat) atau menafikan sesuatu. Pernyataan adalah seperti bentuk kalimat yang terdiri dari subject (mubtada’) dan predikat (khabar). Contoh :
“Ayah datang ke kantor”. “Ayah” adalah subject dan “datang ke kantor” adalah predikat atau hukum bagi “ayah”. Pernyataan ini adalah hukum yang menetapkan. Pernyataan yang menafikan adalah: “ayah tidak datang ke kantor”.

Pembagian hukum ditinjau dari sumbernya

Menurut Ulama Ahlussunnah wal Jamaah, hukum dibagi menjadi 3 ditinjau dari mana sumbernya – tidak ada sumber yang lain. 3 pembagian itu adalah:

  1. Hukum Syariat adalah hukum yang bersumberkan wahyu dari Allah, yaitu Kalam Allah yang berupa Qur’an dan Hadits yaitu perkataan, perbuatan atau yang didiamkan oleh Nabi shallallahu alaihi wassalam ketika Nabi mengetahuinya. Hukum syariat itu adalah termasuk hukum Wadh’i (hukum yang ditetapkan) oleh yang mempunyai autoritas (kekuasaan). Untuk hukum syariat, pemilik Autoritas itu adalah Allah Yang Maha Berkuasa.
    Akibat dari menta’ati dan melanggar hukum Wadh’i adalah tergantung dari siapa yang mempunyai kekuasaan itu. Yang mentaati dan melanggar hukum syariat akan mendapat akibat yang ditentukan oleh Allah.
  2. Hukum adat adalah hukum yang bersumberkan dari kejadian yang berulang-ulang atau kebiasaan (adat)
  3. Hukum akal adalah hukum yang bersumberkan akal (rasional) manusia.

Oleh sebab itu semua hukum yang ada pasti bersumber dari 3 hukum ini. Perkara ini sangat penting diketahui oleh umat Islam, agar dapat memilah-milah hukum-hukum ini, yang dengan demikian dapat bertindak terhadap sesuatu dengan lebih bijaksana.

1. Hukum Syariat

Hukum Wadh’i, hukum yang ditetapkan oleh yang mempunyai autoritas (kekuasaan): Hukum Syariat dari Allah dan Undang-Undang buatan manusia

Hukum syariat adalah hukum yang murni ditentukan oleh Allah. Konsekuensi dari menta’ati hukum syariat adalah mendapat pahala dan akibat dari mengingkarinya adalah dosa. Di akhirat kelak, pahala akan mendatangkan rahmat Allah yang mengantarkan hambaNya ke syurga dan dosa yang tidak diampuni akan membawanya ke neraka. Hukum yang dibuat oleh manusia sering disebut peraturan atau undang-undang yang konsekuensinya juga ditentukan oleh manusia.
Selama undang-undang dan peraturan manusia ini tidak berkaitan dengan syariat Allah, maka jika mentaatinya dan mengingkarinya tidak menjadikannya pahala dan dosa.

Misalnya perlunya kita mempunyai paspor dan visa yang masih berlaku ketika berada di luar negeri. Kita tidak berdosa jika ternyata paspor dan visa kita ternyata sudah habis masa berlakunya. Hanya kita akan mendapatkan konsekuensi karenanya yaitu berupa denda atau hukuman dari negara yang bersangkutan, sesuai dengan peraturan yang berlaku,
Namun dalam beberapa perkara, melanggar peraturan manusia dapat menjadi dosa, jika berkaitan juga dengan syariat. Misalnya adanya lampu merah di jalan raya, yang jika dilanggar membahayakan atau memudharatkan orang lain, maka berdosa karena telah memudharatkan orang lain.
Misal yang lain adalah kita sebagai warga negara Indonesia telah mempunyai dasar negara Pancasila yang disepakati oleh pemimpin dan pendiri bangsa dan direstui oleh para Ulama, bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan syariat. Maka sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita mesti dapat menjaga keamanan dan keutuhan negara kita Indonesia, agar bangsa Indonesia termasuk umat Islam dan dakwah agama Islam dapat berkembang di Indonesia. Maka melaksanakan dasar negara Pancaslia untuk menjaga persatuan bangsa dapat menjadi amal jariah.
Oleh sebab itu, di Indonesia tidak boleh kita umat Islam misalnya memaksa orang untuk tidak berjualan minuman keras di tempat yang dibolehkan oleh undang undang negara. Mereka akan dilindungi oleh negara. Kita cukup tidak perlu ikut terlibat melakukan perbuatan yang dilarang agama yang berkaitan dengan minuman keras itu, seperti tidak ikut dalam proses pembuatan, berjualan, membeli dan menkonsumsinya dan sebagainya. Sikap inipun juga dijamin oleh negara.

Hukum Syariat hanya berlaku untuk Mukallaf

Hukum Syariat hanya berlaku bagi orang yang mukallaf. Syarat seseorang dikatakan Mukallaf adalah:

  1. Berakal.
    Orang yang tidak berakal sehat karena cacat mental, tidak wajib melaksanakan syariat dan akan masuk syurga.
  2. Baligh.
    Anak-anak yang belum baligh meninggal dunia akan masuk syurga.
  3. Telah sampai dakwah Islam yang sahih kepadanya.

Dakwah islam yang sahih

Dakwah islam yang sahih adalah dakwah Islam yang sampai dengan penyampaian secara benar. Jika seseorang telah mendengar tentang Islam yang dikelirukan, (misalnya dikatakan Islam adalah agama teroris atau agama kekerasan yang membuat orang justru takut terhadap agama Islam), orang ini belum menerima dakwah yang sahih. Maka syarat dakwah yang sahih adalah adanya pendakwah atau Ulama yang dapat menyampaikan Islam secara benar.
Oleh sebab itu masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam, disebut masa fathrah, yaitu masa dimana jika seseorang meninggal tidak akan diadzab dan akan masuk syurga, seperti orang tua Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.
Demikian juga jika di zaman ini ada orang yang belum sama sekali mengetahui tentang Islam, maka jika orang ini berakal dan sudah baligh kemuddian meninggal dunia, dia tidak akan diadzab dan masuk syurga walaupun dia tidak beriman, karena tidak termasuk mukallaf.
Maka dengan adanya pendakwah atau Ulama yang datang di suatu tempat adalah menjadi rahmat bagi penduduk di tempat itu karena datangnya ilmu dan hidayah. Namun juga juga menjadi beban dan tanggung jawab, karena penduduk di tempat itu yang berakal dan baligh akan menjadi mukallaf yang mempunyai kewajiban melaksanakan syariat.

Catatan: Agar manusia dapat menerima dakwah diperlukan paling sedikit salah satu dari panca indera penglihatan atau pendengaran, maka manusia yang tidak mempunyai kedua panca indera penglihatan dan pendengaran tidak termasuk mukallaf, dan akan masuk syurga.

Hukum Syariat selalu berkaitan dengan perbuatan lahiriah

Hukum Syariat adalah hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan lahiriah manusia. Benda bukan termasuk perbuatan, sehingga dikatakan babi dan minuman keras tidak dihukumkan haram, tetapi perbuatan memakan babi dan meminum minuman keras adalah haram, termasuk menjual dan sebagainya.
Jika ada perintah Allah yang tidak berkaitan langsung dengan perbuatan, maka mesti diterjemahkan dengan amal perbuatan untuk memenuhi perintah Allah tersebut. Contoh perintah Allah untuk mencintai dan mengimani Allah. Mencintai adalah perbuatan hati dan bukan perbuatan lahiriah. maka perintah ini diterjemahkan dengan perbuatan lahiriah yang menjadikan seseorang mencintai Allah, yaitu mencari ilmu tentang Sifat-Sifat Allah, melalui ciptaanNya, Yaitu dengan memperhatikan dan berfikir tentang ciptaan Allah. Jadi perintah pertama Allah kepada kita adalah belajar atau mencari ilmu dengan berfikir menggunakan akal kita yang akan menbawa kita kepada mengenal Allah, Tuhan yang kita sembah. Yang akan mendorong kita untuk mencintai Allah dan beriman kepadaNya.
Demikian juga perintah Allah untuk mencintai Nabi, maka mesti ditakwilkan sebagai perintah perbuatan yang membawa kita kepada mencintai Nabi. Yaitu mencari tahu atau menuntut ilmu tentang Nabi, seperti sejarah Nabi, akhlak dan sifat-sifat Nabi agar kita dapat mengenalnya dan menjadikan kita mencintainya dan mengikutinya.
Bagaimana jika orang beriman tetapi tidak mau mengucapkan 2 kalimat syahadat?
Sebagian Ulama mengatakan bersyahadat adalah syarat seseorang untuk diakui sebagai orang Islam, tetapi bukan syarat untuk sahnya Iman. Orang seperti ini tidak akan kekal di neraka, karena adanya iman di hatinya. Namun berdosa karena tidak melaksanakan Rukun Islam. Karena Rukun Islam termasuk hukum yang wajib. Oleh sebab itu sebagian Ulama seperti Imam Suyuti, mengatakan bahwa Abu Thalib tidak kekal di neraka, karena beliau beriman kepada Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, tetapi tidak membaca syahadat. sehingga tidak diperlakukan sebagai orang Islam.

Hukum Syariat dibagi menjadi 5 dilihat dari mendapatnya pahala dan dosa

  1. Ijab (Hukum Wajib), adalah suruhan Allah yang sangat kuat. Sangat kuat maksudnya adalah
    – jika hukum itu dilaksanakan, orang akan mendapatkan pahala dan
    – jika ditinggalkan akan mendapat dosa.
    Contoh: Perintah melaksanakan Rukun Islam.
    Hukum Wajib terbagi dua yaitu:
    – Fardhu ‘ain, yaitu kewajiban yang mesti dilakukan oleh setiap muslim
    – Fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang mesti dilakukan oleh sebagian orang Islam saja. Jika sebagian sudah melaksanakannya, orang lain tidak perlu lagi melaksanakan. Contoh: mengurus jenazah.
  2. Nadb (Hukum Sunnat), adalah suruhan Allah yang tidak begitu kuat. Tidak begitu kuat maksudnya adalah
    – jika hukum itu dilaksanakan, orang akan mendapatkan pahala dan
    – jika ditinggalkan tidak berdosa.
    Hukum sunnat ada bertingkat-tingkat, tidak sama pahala antara satu perbuatan sunnat dengan sunnat yang lain. Para Ulama mengetahui suatu perbuatan sunnat lebih banyak pahalanya dari sunnat yang lain adalah dengan melihat bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wassalam berkomitmen melaksanakannya. Suatu amalan yang Nabi tidak pernah tinggalkan atau hampir tidak pernah meninggalkan disebut Sunnat Mu’akadah, yaitu amalan sunnat yang besar pahalanya. Contoh: Sholat Sunnat sebelum Shubuh dan sholat witir. Amalan sunnat biasa contohnya adalah sholat Dhuha dan sholat sunnah Qobliyah dan Ba’diyah.
  3. Taḥrīm (Hukum Haram) adalah suruhan Allah yang kuat untuk menahan melakukannya.
    – jika orang itu menahan diri untuk melakukannya akan mendapatkan pahala dan
    – jika orang itu tidak menahan diri dari melakukannya akan berdosa.
    Contoh : mendekati zina adalah berdosa. Maka berbuat zina adalah lebih besar dosanya bahkan termasuk dalam dosa besar. Dengan menahan diri dari mendekati zina Allah akan memberi pahala yang besar.
    Agar kita selalu mendapat pahala menjauhi perbuatan yang haram, hendaknya ketika kita sedang melakukan sehari-hari yang dibolehkan atau yang sunnat cukup kita tambahkan niat dalam hati bahwa kita melakukan perkara yang boleh atau sunnat adalah untuk menahan diri dari melakukan yang haram. Contoh ketika kita minum air, kita berniat untuk menahan dari dari meminum minuman keras.
  4. Karāhah (Hukum Makruh) adalah adalah suruhan Allah yang tidak bergitu kuat untuk menahan melakukannya.
    – jika orang itu menahan diri untuk melakukannya akan mendapatkan pahala dan
    – jika orang itu tidak menahan diri untuk melakukannya tidak berdosa.
    Contoh: ketika Ruku’ dalam sholat membaca surat Al Qur’an. Perkara ini tidak berdosa, namun jika kita tinggalkan dan kita membaca bacaan yang disunnatkan (Subhana robiyal ‘azhim wa bihamdihi), kita akan mendapat pahala.
  5. Ibahah (Hukum Mubah), adalah izin dari Allah untuk melakukan sesuatu.
    – jika melakukannya tidak mendapatkan pahala dan
    – jika tidak melakukannya tidak berdosa.
    Contoh: Menikah, berdagang dan sebagainya. Perbuatan ini hukum asalnya adalah mubah. Namun jika kita melakukannya dengan menambah niat untuk melaksanakan syariat, misalnya untuk meninggalkan yang haram dan makruh, menjadikan perbuatan yang mubah tadi menjadi berpahala. Contoh, menikah untuk menghindarkan dari zina, berdagang dengan niat agar memperoleh rezeki yang halal dan bukan yang haram, maka berdagang menjadikannya mendapatkan pahala.

Pentingnya niat untuk menjadikan perkara yang mubah menjadi berpahala

Dengan kita mempelajari hukum syariat, kita akan lebih memanfaatkan umur kita dengan memperbanyak pahala dengan amal-amal yang mubah yang mungkin kelihatan biasa dan tidak penting. Misalnya ketika kita berkumpul dengan handai taulan sambil minum teh atau makan kue yang mubah hukumnya, kita dapat menambah niat kita bahwa kita bertemu adalah untuk silaturahmi dengan kerabat yang sunnat bahkan wajib hukum. Kita berniat menahan dari meminum yang haram dengan minum teh. Kita berniat dan membincangkan perkara yang bermanfaat, dan menahan dari membicarakan perkara yang haram. Dengan ini. perbuatan kita yang kelihatan biasa akan menjadikan amal soleh yang diberi pahala sebagai bekal kita di hari akhir untuk mengharapkan rahmat dan ampunan Allah.
Di sini kita melihat pentingnya mempelajari ilmu tentang hukum syariat. Semakin banyak ilmu yang diketahui semakin banyak pahala dapat diperolehi jika kita mengamalkan ilmu ini.

Dosa karena melakukan yang haram lebih besar dari pahala karena melaksanakan yang wajib dan sunnat

Ulama menjelaskan bahwa dosa karena melakukan perkara haram lebih besar daripada pahala yang didapat dari amal yang wajib. Oleh sebab itu jangan kita sekali-kali berfikir untuk sengaja melakukan yang haram dengan dalih dosa itu akan ditebus dengan melakukan perkara yang wajib dan sunnat. Semestinya kita tetap berusaha menghindarkan yang haram, walaupun telah melakukan yang wajib dan sunnat.

Apa maksud Hadits Arbain Nawawiyah ke-34

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman’.”

Amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran) adalah kewajiban bagi kita umat Islam. Hadits ini menjelaskan tingkatan tanggung jawab anggota masyarakat ketika melihat kemungkaran:

  1. Orang yang punya kuasa (pemerintah) mempunyai tanggung jawab untuk mencegah kemungkaran dengan tangan (kuasa) nya. Oleh sebab itu pemilik kekuasaan akan ditanya di hari akhir nanti tentang kekuasaan yang diberikan kepadanya dipakai untuk apa.
  2. Orang yang punya ilmu termasuk Ulama, mempunyai tanggung untuk mencegah kemungkaran dengan lisan atau tulisannya. Yaitu dengan menasehati penguasa dan masyarakat. Bagi kepala keluarga adalah menasehati anggota keluarganya.
  3. Orang awam yang tidak mempunyai kuasa dan ilmu, bertanggung jawab untuk mencegah kemungkaran dengan hatinya. Yaitu tidak ikut serta dan tidak mendukung adanya kemungkaran yang terjadi.

Mungkinkah ketiga hukum syariat, adat dan akal bertentangan antara satu dengan yang lain? Insya Allah pertanyaan ini akan dijawab di kajian selanjutnya.

Wallahu a’lam.

Terjemah Kitab Al Muqaddimah


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian