Hukum Akal (Hukum Rasional)
Para ulama terbiasa menyebutkan tentang hukum akal pada permulaan pembahasan ilmu ini. Karena ia merupakan fondasi untuk memahami sebagian besar hal terkait akidah. Tanpa memahami hukum akal, kita tidak mungkin bisa membedakan antara akidah yang sah dan akidah yang batil.
Hukum akal atau rasio ini adalah kaidah-kaidah logis yang ditetapkan oleh akal manusia untuk menilai suatu perkara yang didasarkan pada pengambilan kesimpulan secara rasional, bukan berdasarkan pengalaman atau kebiasaan. Kebanyakan pertanyaan aneh muncul karena kesalahan memahami arti dari tiga hukum akal ini. Dengan mempelajari ilmu ini, kita dapat menilai apakah mungkin konsep ketuhanan itu bersifat tritunggal, atau konsep di mana Tuhan dapat mewujud menjadi serupa makhluk, atau bahwa Tuhan bertempat di langit. Orang yang meyakini atau menolaknya, harus memiliki bukti sebagai landasan argumen.
Maka kita berkata, sesungguhnya hukum akal itu ada tiga, yaitu: wajib, mustahil, dan mungkin.
1. Wajib artinya sesuatu yang tidak menerima ketiadaannya (tidak mungkin tiada), seperti keberadaan Dzat Allah ﷻ ;
2. Mungkin artinya sesuatu yang boleh menerima keberadaannya maupun ketiadaannya (bisa jadi ada, bisa jadi tiada), seperti keberadaan alam ini;
3. Mustahil artinya sesuatu yang tidak menerima keberadaannya (tidak mungkin ada), seperti terhimpunnya dua hal yang kontradiktif.
Dapat dipahami, wajib secara akal adalah sesuatu yang ketiadaannya tidak dapat diterima oleh akal. Kebalikannya, mustahil secara akal adalah sesuatu yang akal pasti menolak keberadaannya, karena kehadirannya menimbulkan kontradiksi atau absurditas. Sedangkan mungkin secara akal adalah sesuatu yang bisa diterima (dibayangkan) akal, baik ada atau tidak.
Beberapa contoh dalam hukum akal, sebagai berikut:
Wajib | Mustahil | Mungkin |
– Sesuatu yang ada dari ketiadaan pasti ada penyebabnya. – Sebagian pasti lebih kecil atau lebih sedikit dari keseluruhan | – Sebuah benda ada sekaligus tidak ada. – Segitiga dengan empat sisi dalam bidang 2 dimensi. – Sesuatu muncul dari ketiadaan tanpa sebab. | – Terciptanya alam semesta. – Keteraturan alam sesuai dengan hukum fisika. – Adanya mukjizat Nabi – Kebangkitan setelah kematian |
Argumen Rasional Adanya Tuhan
Keberadaan alam semesta bersifat mungkin (contingent), bisa jadi ada, bisa jadi tiada. Faktanya alam semesta ada sekarang, meskipun sebelumnya tidak ada. Hal ini terlihat dari adanya perubahan di dalamnya: perubahan sifat, gerak dan diam, dan sebagainya. Sesuatu yang berubah dan muncul dari ketiadaan pasti memerlukan sebab. Maka dapat disimpulkan: sebab yang menjadikan alam semesta ada haruslah sesuatu yang keberadaannya tidak bergantung pada apa pun, atau sesuatu yang wajib ada (necessary).
Lalu muncul pertanyaan: Apa yang menyebabkan alam semesta muncul dari ketiadaan?
Ada dua kemungkinan:
- Alam semesta menyebabkan dirinya sendiri ada; atau
- Ada sesuatu di luar alam semesta yang menyebabkannya ada.
Kemungkinan pertama tidak masuk akal. Jika alam menciptakan dirinya sendiri, berarti ia sudah ada sebelum dirinya ada, dan itu bertentangan, karena sesuatu yang belum ada tidak bisa membuat dirinya menjadi ada. Maka, ini mustahil. Artinya, harus ada sesuatu di luar alam yang menjadi penyebab keberadaannya. Sebab ini tidak tergantung pada apa pun, tidak didahului oleh ketiadaan, dan keberadaannya bersifat pasti. Ia disebut “wājib al-wujūd” (necessary being), Dzat yang wajib ada. Inilah yang dimaksud dengan Tuhan.
Ketiga hukum ini sepatutnya dipahami oleh seorang pelajar, karena pemahaman terhadap banyak dari masalah-masalah akidah itu mengharuskan memahami hukum akal ini, seperti menetapkan wujud Allah ﷻ dan keberadaan-Nya sebagai wājib al-wujūd (wujud yang niscaya ada), begitu juga menetapkan mukjizat para nabi, dan penjelasan seputar hal-hal gaib, seperti malaikat, surga, neraka, dan selainnya. Begitu juga dengan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan, seperti pertanyaan “Di mana Allah?”, “Siapa yang menciptakan Allah?”, “Mengapa ada keburukan di muka bumi?”, dan banyak lagi selainnya.
Pembahasan seputar ini telah kami tuliskan secara khusus di sebuah buku yang kami beri nama “Serial Ilmu Kalam: Seputar Ketuhanan” dalam Bahasa Indonesia, maka rujuklah kepada buku itu bila engkau mau.
Harus dibedakan antara hukum akal (rasio) dan hukum kebiasaan (empiris). Di antara hukum kebiasaan, contohnya: minum akan menghilangkan dahaga, makan akan menghilangkan lapar, api bersifat membakar, dll. Adapun hal-hal aneh yang disebutkan dalam kitab suci (contoh: Pemuda Aṣḥabul Kahfi tidur ratusan tahun, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak terbakar dalam api, Nabi ‘Isa ‘alaihissalam yang menghidupkan orang mati, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dapat berbicara dengan hewan, dll.) itu termasuk mustahil secara kebiasaan saja (empiris), namun mungkin secara akal (rasio). Adapun berita-berita gaib setelah kematian, dan lain-lain memang bersifat mungkin secara akal (bisa ada, bisa tiada), namun kita bisa meyakini keberadaan hal itu karena kabar tentangnya datang dari sumber yang terpercaya.
Pertanyaan yang diajukan mengenai Dzat Allah ﷻ, seperti “Di mana Allah?”, “Siapa yang menciptakan Allah?”, muncul dari kesalahpahaman tentang ketiga hukum akal ini. Pertanyaan tentang penciptaan Allah ﷻ telah salah dari awal, karena terciptanya sesuatu berarti terkait dengan sesuatu yang diadakan setelah didahului ketiadaan (disebut ḥādiṡ atau mungkin), sedangkan Allah ﷻ bukan Dzat yang mungkin (bisa ada, bisa tiada), melainkan Dzat yang “wājib al-wujūd“.
(Muhammad Rayyan Makiatu)
0 Komentar