Surat yang dibaca berulang-ulang
Surat Al Fatihah adalah Surat yang sangat sering kita baca. Membacanya termasuk dalam rukun sholat. Sehingga dalam 5 waktu sholat sehari yang dilakukan secara sempurna, kita paling sedikit mesti membaca 17 kali, sama dengan jumlah rakaat dari 5 waktu sholat itu. Dalam Al Quran Surat Al Fatihah disebut juga dengan tujuh ayat yang diulang-ulang. Allah berfirman dalam QS Al Hijr : 87
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ
Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung.
Karena surat ini dibaca berulang-berulang maka doa yang ada dalam surat Al Fatihah, adalah doa yang paling sering kita memohon kepada Allah.
Doa yang selalu dibaca: memohon jalan yang lurus
Di dalam surat Al Fatihah ada doa yang selalu di baca, maka inilah doa yang paling sering kita mohonkan kepada Allah. Yaitu setelah kita memuji Allah dan mengakui bahwa hanya kepada Allah kita menyembah dan hanya kepada Allah kita meminta yaitu memohon ditunjukkan jalan yang lurus.
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ
4. Yang menguasai di Hari Pembalasan.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
7. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Jalan yang lurus adalah jalan dari orang-orang yang telah diberi nikmat
Dijelaskan dalam ayat ke 7, bahwa jalan yang lurus adalah jalan orang-orang yang Allah telah beri nikmat kepada mereka. Nikmat apakah yang dimaksud? Nikmat itu adalah nikmat tertinggi yang Allah berikan kepada hambaNya, yaitu nikmat Iman dan Islam.
Siapakah yang Allah telah beri nikmat Iman dan Islam? Itulah pada Nabi dan Rasul, yang ditutup oleh Nabi kita Sayidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.
Maka jalan yang lurus itu adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Kemudian jalan ini telah ditempuh oleh Shahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’un radhiallahu anhum, dan seterusnya telah ditempuh oleh para Ulama pewaris Nabi dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa putus hingga sampai kepada kita, sehingga kita dapat mengenal jalan yang lurus itu melalui ulama yang kita bertemu dengannya.
Ilmu yang mengantarkan kita ke jalan yang lurus disampaikan secara sambung menyambung melalui Ulama pewaris Nabi.
Untuk dapat berjalan di atas jalan yang lurus ini, kita perlu mengetahui dan mengenalnya. Dan untuk mengenalnya kita perlu mempelajari ilmunya dan mengenal Ulama yang telah mendapat warisan ilmu dari Rasulullah. Rasulullah shallallahu alaihi wassalam mewarisi ilmu kepada Shahabat kemudian kepada Tabi’in, kemudian kepada Tabiut Tabi’un radhiallahu anhum, dan seterusnya kepada para Ulama pewaris Nabi dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa putus hingga sampai kepada kita. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.
الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (H.R. At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda Radhiallahu ‘Anhu).
Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabarani di dalam kitab al-Ausath:
إِنَّ العُلَمَاءُ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوْا العِلْمَ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham ataupun dinar, hanya ilmu yang diwariskan oleh para Nabi.”
Maka yang mengetahui ilmu tentang jalan yang telah ditempuh oleh mereka yang diberi nikmat adalah ulama yang mewarisi ilmu dari Nabi shallallahu alaihi wassalam.
Ilmu ada pada diri Ulama bukan pada Kitab
Hadits tentang Ulama pewaris Nabi menjelaskan bahwa Ilmu yang hakiki ada pada diri Ulama, yaitu pada hati dan akhlak para Ulama. Bukan pada buku atau kitab. Buku atau Kitab adalah catatan ilmu para Ulama. Kita dapat memahami catatan ilmu yang ada dalam Kitab itu, jika kita mengetahui apa maksud Ulama yang menulisnya. Dan kita bisa memahaminya jika kita belajar dari guru yang pernah belajar dari guru yang bersambung sanadnya kepada Ulama penulisnya sebagaimana Ulama penulis Kitab itu pun belajar dari guru yang sanadnya bersambung kepada Tabi’ut Tabi’in terus kepada Tabi’in kemudian kepada Shahabat dan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Begitulah pentingnya kita belajar dengan berguru, yang mewarisi ilmu Nabi shallallahu alaihi wassalam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash: aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)
Oleh sebab itu guru yang ilmunya ada dalam hati dan akhlaknya dapat mengajarkan ilmu tanpa Kitab, tetapi Kitab tidak dapat memberikan ilmu tanpa guru yang bersanad yang menjelaskan.
Wallahu a’lam
0 Komentar