Al Waduud (الْوَدُودُ)
Makna Al Waduud
Al Waduud artinya Maha Cinta terhadap makhlukNya, Maha Menginginkan Kebaikan pada yang dicintainya. Allah Maha Menginginkan Kebaikan pada semua makhlukNya. Maka dapat juga diartikan dengan Maha Kasih Sayang, atau Maha Empati yang sangat dekat maknanya dengan Nama Ar-Rahim.
Namun berbeda makna Kasih Sayang pada Nama Ar-Rahim. Pada Ar-Rahim, objek yang disayangi itu adalah makhluk yang lemah, sehingga makhluk yang lemah ini sangat memerlukan kasih sayang Allah. Maka orang yang telah wafat, sering disebut almarhum, artinya orang yang memerlukan kasih sayang, atau rahmat Allah. Karena orang yang telah meninggal sangat memerlukan rahmat Allah (agar diampuni dosanya, diterima amalnya dan dimasukan syurga).
Sedang pada Nama Al Waduud, objek yang disayangi tidak mesti lemah. Mungkin saja yang disayangi itu adalah makhluk yang mulia dan kuat yang tidak memerlukan kasih sayang.
Hamba Allah yang mendapat cahaya Al Waduud
Hamba Allah yang mendapat cahaya Al Wadud, sangat ingin yang disayanginya itu menjadi baik dan selamat. Maka hamba Allah ini sangat mudah tersentuh. Ia tidak peduli akan kesusahan dirinya karena mendahulukan orang lain.
Ini dapat dilihat bagaimana sikap Rasulullah shallallahu alaihi wassalam ketika diusir dan dilempari batu oleh penduduk Thoif, sehingga tubuh Rasul terluka. Namun ketika beliau mendapat tawaran dari Malaikat yang dapat menghukum menghukum penduduk Thoif dengan melemparkan gunung ke atasnya. Rasulullah justru melarang dan mendoakan agar penduduk Thoif mendapat hidayah dan berharap agar keturunannya akan menjadi orang Islam.
Contoh lain adalah menghubungkan silaturahmi dengan kerabat atau keluarga yang memutuskan silaturahmi. Ini adalah kasih sayang orang yang telah mendapat cahaya Al Wadud, sehingga kesusahan dalam menjalankan ikhtiyar itu tidak dirasakan.
Mawaddah pada pasangan suami istri adalah dari cahaya Al Waduud
Kata Mawaddah yang sering dipakai dalam doa dalam pernikahan dan hubungan suami istri adalah berasal dari asal kata yang sama dengan Al Waduud. Kasih Sayang Mawaddah ini jika ada pada suami dan istri maka ketika suami bersusah payah berkorban untuk istrinya, atau istri bersusah payah untuk melayani suaminya, mereka tidak merasa susah. Bahkan mereka gembira demi kebaikan dan kebahagiaan pasangannya. Ini adalah karena Kasih Sayang Mawaddah yang berasal dari cahaya Nama Allah Al Wadud.
Demikian juga cinta antara kawan dan teman seperjuangan yang digambarkan di atas adalah termasuk kasih sayang Mawaddah.
Al Majiid (الْمَجِيدُ)
Makna Al Majiid
Al Majid artinya Yang Maha Mulia. Yang Mulia DzatNya, Yang Indah PerbuatanNya dan banyak PemberianNya. Maka hamba Allah yang mendapat cahaya Nama Al Majiid adalah hamba Allah yang nasabnya mulia, perbuatannya mulia dan banyak pemberiannya kepada makhluk lain.
Kita membaca pujian Majid kepada Allah pada akhir sholawat setelah membaca Tahiyat akhir. Mengapa Nama Majid digandengkan dengan sholawat? Karena setiap kita membaca sholawat, Allah Al Majid, Yang DzatNya Mulia, PerbuatanNya Mulia dan banyak PemberianNya akan membalas kepada siapa saja yang membaca sholawat kepada Nabi dengan pemberian yang banyak.
Al Baa’its (الْبَاعِثُ)
Makna Al Baa’its
Al Baa’its artinya Yang Maha Membangkitkan makhluk pada hari Kebangkitan. Hari Kiamat disebut juga hari Kebangkitan. Pada Hari Kebangkitan makhluk dihidupkan kembali dari kuburnya. Dan Allah akan mengeluarkan apa isi dari qolbunya. Mengenal Nama Al Ba’its adalah mengenal hakikat hari Kebangkitan. Ma’rifat tentang Nama ini masih tersembunyi. Kebanyakan makhluk tidak mengenal bagaimana keadaan hari Kebangkitan itu, termasuk kita ini tidak benar-benar faham.
Sebagian manusia menganggap hari Kebangkitan tidak ada, sehingga ketika manusia mati, manusia hilang begitu saja, selesai segala urusan. Ini adalah keyakinan yang keliru. Ada juga yang beranggapan kebangkitan manusia itu akan nanti sama dengan keadaan tubuh kita sekarang. Ini juga keyakinan yang keliru. Kebangkitan makhluk di akhirat nanti jauh berbeda dengan jasad makhlud di dunia sekarang ini. Ada juga yang beranggapan kalau manusia mati akan langsung pasti bertemu Allah. Ini juga keliru.
Alam kubur itu bisa menjadi jurang-jurang neraka yang mengerikan, namun dapat juga menjadi taman-taman syurga.
Orang yang mati ada yang berbahagia, yaitu para Ulama dan para wali, dan para Syuhada, mereka itu justru benar-benar hidup di sisi Allah dan mendapat rezeki dari Allah. Ini Allah sebutkan dalam Al Quran. Mereka merasa bahagia dengan anugerah yang diberikan Allah itu.
Jadi kehidupan di alam setelah kematian di dunia ini adalah kehidupan hakiki, kehidupan yang sebenarnya.
Ada manusia yang meninggal dalam keadaan susah payah. Mereka juga hidup namun tidak mendapatkan anugerah rezeki (yang membahagiakan) dari Allah. Inilah yang dimaksud ucapan Nabi ketika di akhir perang Badar kepada kaum kafir Quraisy yang telah mati: “Apakah engkau sudah mendapatnya janji Allah benar-benar terjadi?”.
Kemudian ada di antara Shahabat Nabi yang bertanya: “Wahai Nabi, bagaimana engkau berbicara kepada mereka yang sudah mati, apakah mereka dapat mendengar?”. Kemudian Nabi berkata: “Mereka ini mendengar apa yang aku katakan, namun mereka tidak sanggup menjawab.”
Ini juga menjelaskan bahwa bagi manusia yang bathinnya telah mukasyafah, dapat melihat alam setelah kematian itu. Ruh manusia itu akan kekal dan tidak mati. Ketika masih di dunia ruh ini mempunya jasad seperti yang kita lihat sekarang, namun setelah meninggal, jasad itu hancur, sedang ruhnya masih hidup.
Jasad manusia di akhirat
Ketika manusia mati, jasadnya akan hancur, sedang ruhnya tetap hidup. Manusia di akhirat nanti, tubuhnya diganti dengan tubuh yang jauh lebih kuat dari tubuhnya di dunia. Oleh sebab itu ketika manusia berada di padang Mahsyar yang ribuan tahun kemudian kekal dalam neraka atau syurga. Tubuhnya tahan ketika disiksa dengan api neraka atau siksaan lain yang berat, dan itu terjadi dalam jangka waktu yang lama. Demikian juga tubuh manusia ketika berada di syurga. Tubuhnya juga tahan menerima nikmat Allah yang banyak di syurga dalam jangka waktu yang lama.
Allah berfirman dalam QS Al Waqiah ayat 21: “Kami menumbuhkan kamu dengan sesuatu yang kamu tidak ketahui”
Demikian juga dalam QS Al Mukminun ayat 14: “Kam menumbuhkan kami dengan ciptaan yang berbeda (dengan yang di dunia).
Nuthfah (air mani) ditumbuhkan dari tanah, alaqah (gumpalan darah) dari air mani, mudhghah (gumpalan daging) dari gumpalan darah. Ruh dari gumpalan daging (Buya Razi merevisi bahwa ruh itu ditiupkan (nufikho) ke gumpalan daging, bukan ditumbuhkan/diciptakan (nasy’atun), sesuai lafaz Al Quran tentang ruh)
Dengan kemulian ruh yang ditiupkan (nafakho) oleh Allah. Ini adalah termasuk urusan Allah yang rahasia. Setelah itu Imam Ghazali menjelaskan tumbuhnya manusia setelah kelahiran. Kemudian tumbuhlah akalnya yang menurut Imam Ghazali menjadi sempurna pada usia 15 tahun (usia baligh). Manusia diciptakan mengalami tahapan-tahapan.
Dengan akalnya manusia dikehendaki agar dapat mengenal Allah, Penciptanya. Dengan memelihara dan mengembangkan akal dan qolbunya, manusia dapat menjadi wali Allah. Para wali ini akan mendapat ilmu secara langsung dari Allah yang disebut ilmu laduni atau ilmu ilham/nubuat. Para Nabi mendapatkan nubuat yang diwahyukan. Sedang para wali mendapatkan ilmu yang diilhamkan. Semoga kita sebelum wafat dapat menjadi wali yang mendapatkan ilmu ini.
Ilmu memerlukan dalil, ada dalil yang berupa text yang diwahyukan (Quran dan Hadits). Ada dalil yang berdasarkan logika atau analog, yang disebut dalil Aqli. Ada dalil yang berdasarkan experiment (empiris) yang disebut hukum adat (hukum alam/kebiasaan). Yang ke empat adalah puncaknya yaitu musyahadah atau ma’rifat kepada Allah.
Orang yang mengandalkan hanya akalnya akan sampai pada dalil analog (dalil aqli), orang hanya melakukan experiment hanya sampai pada hukum adat. Kita mesti menggunakan semua dalil itu yang semuanya menuju pada puncaknya yaitu ma’rifat kepada Allah.
Begitulah perkembangan dan pertumbuhan manusia dari lahir hingga akhir hayatnya. Manusia ketika baru lahir sangat lemah, sedang hewan ada yang ketika lahir sudah dapat berjalan.
Asy-Syahid (الشَّهِيد)
Makna Asy-Syahid
Makna Asy-Syahid sebenarnya kembali kepada makna Al ‘Alim yang Maha Mengetahui. Allah Maha Mengetahui yang gaib dan yang tidak gaib atau alam nyata. Kita sebagai makhluk mengatakan alam nyata adalah alam Syahadah, alam yang dapat disaksikan sebagai lawan dari alam ghaib, yang tidak dapat kita saksikan. Sebagian Ulama mengatakan yang bathin itu adalah dzat, sedang yang gaib adalah sifat. Sedang Imam Ghazali menyamakan yang gaib dengan yang bathin, karena sama-sama tidak dapat disaksikan. Alam yang dapat kita lihat ini disebut alam Syahadah, alam yang dapat kita saksikan.
Bagi Allah Asy-Syahid, Yang Maha Menyaksikan, yang bathin dan yang zahir adalah sama. Allah Maha Menyaksikan keduanya. Bagi Allah semua itu adalah nyata/zahir.
Allah Al Alim artinya Allah Mutlak Maha Mengetahui yang zahir dan yang bathin. Allah, Al Khabir artinya Allah Maha Mengetahui yang bathin. Bagi Imam Ghazali Asy-Syahid Allah Maha Mengetahui/Menyaksikan segala yang nyata (syahadah). Dapat ditambahkan disini bahwa Allah Asy-Syahid artinya Allah Maha Menyaksikan segala yang zahir dan yang bathin sebagai zahir. Allah Maha Menyaksikan segalanya dengan sangat nyata.
Orang yang mendapat cahaya Asy-Syahid
Orang yang mendapat cahaya Nama Asy-Syahid ada orang yang selalu menyaksikan Allah, maka segala dilakukannya adalah untuk meninggikan /mensyiarkan Kalimat Allah yang Maha Tinggi, agar manusia menyaksikannya ketinggian Kalimat Allah.
Para berjuang yang mendapatkan cahaya Asy-Syahid, kehidupannya benar-benar menghidupkan dakwah dan syiar Allah, agar Allah dan agamanya dapat disaksikan di muka bumi ini.
Wallahu a’lam
0 Kommentare