Al Ghafur(الْغَفُورُ)
Beda Al Ghafur dan Al Ghaffar
Al Ghafur artinya Maha Pengampun. Al Ghaffar juga berarti Maha Pengampun. Apa perbedaan antara Al Ghafur dan Al Ghaffar. Al Ghaffar bermakna Allah Maha Pengampun walaupun hambaNya melakukan dosa berulang kali. Jadi walaupun hamba Allah memohon ampun kemudian terbuat dosa lagi, dan memohon ampun lagi, Allah tetap akan mengampuni dosa itu, karena Allah adalah Al Ghaffar. Hamba Allah memang cenderung untuk selalu berbuat dosa. Oleh sebab itu sebagai hamba Allah kita tidak boleh bosan meminta ampun kepada Allah.
Sedang Al Ghafur adalah bermakna Allah Maha Mengampuni hambaNya dengan ampunan yang sempurna dan ampunan yang lebih besar dari dosa hamba yang dilakukan, sebesar apapun dosa hamba. Jika Allah mengampuni dosa maka Allah benar-benar menutupi dosa dan aib hambaNya di sisiNya, bukan hanya aib di mata manusia.
Orang yang mendapat cahaya Al Ghafur
Orang yang mendapat cahaya Al Ghafur, orang ini akan senantiasa mempunyai harapan yang besar kepada Allah, bahwa Allah akan mengampuni dosa, jika hamba meminta ampun kepadaNya. Hamba Allah inipun juga dapat memberi semangat orang lain untuk tidak putus asa kepada Allah dan selalu memberi harapan kepada orang lain bahwa Allah akan mengampuninya jika kita minta ampun kepada Allah.
Maka sering-seringlah kita menyebut Ya Ghaffar Ya Ghafur agar kita mendapat cahaya Al Ghaffar dan Al Ghafur.
Jika dia seorang pendakwah, maka dia akan menjadikan orang yang didakwahinya jika orang itu adalah pendosa akan mempunyai harapan yang besar kepada Allah agar dosanya itu diampuni. Sebaliknya pendakwah yang tidak mendapat cahaya Al Ghafur, akan menjadikan orang yang berdosa menjadi putus asa untuk mendapat ampunan Allah.
Asy- Syakur(الشَّكُورُ)
Makna Asy-Syakur
Syakur berasal dari syakara yang artinya berterima kasih. Asy-Syakur dengan huruf wau bermakna Yang Maha Berterimakasih, Yang Maha Sempurna dalam Membalas Pemberian. Kita hanya memberi satu Allah balas dengan 10 x lipat, jika lebih ikhlas, balasannya 700 x lipat, jika sangat ikhlas, balasannya tak tehingga. Demikian Allah Asy-Syakur.
Kalau manusia, diberi satu dibalas satu. Diberi satu kali dibalas satu kali.
Hamba Allah yang mendapat cahaya Asy-Syakur
Jika seorang hamba telah mendapat cahaya Asy-Syakur maka sikapnya kepada sesama:
1. Membalas lebih banyak dari apa yang dia terima. Jika diberi sekali dia akan membalas lebih dari sekali sebagai tanda terima kasihnya.
2. Mudah menghargai jasa orang lain, mudah mengapresiasi dan memuji orang yang berbuat baik kepadanya. ini adalah akhlak yang mulia yang menambahkan nikmat yang didapat. Dia tidak akan menghina atau merendahkan pemberian.
Orang tua telah memberi banyak kepada anaknya demi kebaikan anaknya, semestinya tidak perlu mengharap balasan dari anaknya. Namun orang tua wajib mendidik anaknya agar menjadi orang yang bersyukur. Maka anak itu akan membalas kebaikan orang tuanya tanpa diminta.
Hamba Allah yang tidak bersyukur, jika mendapat nikmat, dia tidak dapat merasakan dan bahkan melupakannya. Dia tidak menghargai nikmat yang sudah diberi itu. Akhirnya ketika diuji, akan terasa berat sekali baginya.
Bagaimana memupuk rasa syukur
Sebaiknya hamba Allah yang diberi nikmat lahiriah, hendaklah dapat menahan dan tidak serakah dalam menikmati pemberian itu. Misalnya dengan melakukan puasa sunat, mengurangi tidur hidup sederhana. Karena nikmat itu tidak selamanya akan didapat. Selain itu, hamba hendaknya mudah menghargai nikmat yang telah didapat, mudah memberi apresiasi. Sehingga ketika diuji, tidak terasa berat bahkan hamba itu akan terus merasa bersyukur atas apa yang ada.
Namun tidak banyak orang yang bersyukur sebagaimana firman Allah di QS As Saba 13
يَعْمَلُونَ لَهُۥ مَا يَشَآءُ مِن مَّحَٰرِيبَ وَتَمَٰثِيلَ وَجِفَانٍ كَٱلْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَّاسِيَٰتٍ ۚ ٱعْمَلُوٓا۟ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِىَ ٱلشَّكُورُ
Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.
Disini kita mesti bermuhasabah, jangan-jangan kita termasuk golongan yang tidak bersyukur, sehingga kita tidak dapat merasakan nikmat yang ada. Kita kurang menghargai dan mengapresiasi nikmat yang ada.
Namun sebenarnya jika kita bersyukur kepada Allah, kita tidak mungkin dapat mensyukuri nikmat Allah sepadan dengan nikmat pemberianNya. Imam Ghazali berkata mustahil kita dapat bersyukur sebagaimana nikmat yang diberi. Karena yang syukur yang kita lakukan itu juga nikmat pemberian Allah dari cahaya Nama Asy-Syakur. Coba kita bayangkan ketika kita memberi sedekah atau infaq, sesungguhnya itu bukan harta kita. Harta itu hanyalah titipan dari Allah, maka bagaimana kita dapat meminta balasan dari Allah atas infaq yang berasal dariNya?
Betapa baiknya Allah. Kita berbagi dengan harta yang dititipkan Allah, tapi Allah masih memberi pahala dan ganjaran kepada kita. Begitulah Allah Asy-Syakur, Yang Maha Sempurna dalam Memberi Balasan, Maha Sempurna Berterima kasih.
Maka orang yang telah mendapat cahaya Asy-Syakur, selain membalas lebih banyak, mudah menghargai pemberian, juga tidak pernah merasa rugi atau menyesal jika memberi lebih banyak, baik jasa, harta dan perhatian.
Pasangan yang mendapat cahaya Asy-Syakur
Maka dalam kehidupan rumah tangga, jika orang yang telah mendapat cahaya Asy-Syakur, dia akan selalu mengingati kebaikan pasangannya, dia lebih memperhatikan apa yang dapat diberikan kepada pasangannya itu, tanpa menghitung-hitung pemberiannya. Maka jika pasangan yang mendapat cahaya Asy-Syakur akan hidup dalam nikmat yang berterusan. Sebaliknya, pasangan yang tidak mendapat cahaya Asy-Syakur, akan selalu merasakan susah, karena masing-masing ingin dilayani dan dihargai oleh pasangannya, sering membawa kepada pertengkaran.
Bagaimana cara mendapat cahaya Asy-Syakur
Kita mesti mencari ilmu untuk lebih mengenal Allah Yang Maha Pemberi nikmat, sehingga kita dapat mencintaiNya. Maka kita akan lebih mensyukuri karena diberi oleh Yang Memberi nikmat. Perhatian kita lebih kepada Allah Yang Maha Pemberi nikmat, yang membuat kita lebih menghargai nikmat yang diberiNya. Bersyukur karena mengenal Yang Memberi nikmat adalah Allah Yang Maha Rahman dan Rahim membuat kita lebih menghargai dan mensyukuri nikmat pemberianNya. Menerima pemberian tanpa mengenal siapa yang memberi, sering lupa telah mendapat nikmat pemberian dan membuat kita kurang bersyukur.
Mengapa kita diminta untuk berbuat ihsan kepada orang tua? Karena Allah menitipkan kasih sayangNya kepada kita melalui orang tua kita. Maka kita tidak disebut bersyukur kalau belum bersyukur kepada orang tua.
Kemudian setelah kita berbuat baik, maka ucapkan Alhamdulillah, yang bermakna kita berterima kasih kepada Allah. Dan ini adalah doa yang paling tinggi walaupun tanpa ada permintaan kepada Allah. Karena jika kita memuji kepada Allah, maka Allah akan memberi tanpa kita mengucapkan apa yang diminta. Cukuplah kita memuji dan mengingati Allah, karena Allah tahu apa yang kita minta, tanpa kita menyebutnya.
Mengajak jiwa raga kita untuk bersyukur
Nabi Nuh disebut hamba Allah yang bersyukur, karena Nabi Nuh selalu memuji Allah dengan Alhamdulillah dalam segala keadaan.
Maka mari kita mengajak tubuh kita berdzikir kepada Allah yaitu mengekpresikan kesyukuran secara lahiriah, yaitu sekali-sekali menggunakan nikmat itu untuk diri kita bukan untuk berbangga, tetapi untuk mensyukuri, dengan melakukan rehlah untuk tubuh kita, mengajak fikiran kita mentelaah dan mencari ilmu. Mengajak ruh kita bertamasya dengan berziarah ke tempat orang soleh, ke pemakaman muslim atau bermudzakarah dengan guru-guru dari berbagai Tarikat, berbagai mazhab, untuk menambah wawasan.
Bersyukur dengan memakai pemberian untuk syiar
Wali Allah itu tidak semestinya lusuh pakaiannya. Bahkan wali itu bajunya rapih, bersih dan harum. Tidak mesti mewah. Orang akan senang jika pemberiannya dipakai. Maka begitulah Allah suka jika kita menggunakan pemberianNya dipakai untuk beribadah dan menunjukkan bahwa orang Islam dan orang yang taat itu rapih bersih dan tidak lusuh. Ini juga termasuk syiar dalam beragama.
Istighfar karena merasa kurang bersyukur
Rasulullah shallallhu alaihi wassalam sering beristighfar, karena merasa tidak mampu bersyukur atas banyaknya nikmat yang telah diterimanya.
Al-‘Aliy(الْعَلِيُّ)
Makna Al ‘Aliy
Al ‘Aliy artinya Yang Maha Tinggi. Tinggi dalam bahasa Arab dapat bermakna tempat dan bermakna posisi atau kedudukan. Jika tinggi bermakna tempat, maka tempat yang tinggi adalah tempat yang letaknya lebih di atas. Ini adalah makna jismiyah atau makna kebendaan. Sedang tinggi bermakna posisi adalah kedudukan, adalah misalnya seorang direktur posisinya lebih tinggi dari sekretarisnya, bermakna bahwa direktur mempunyai kuasa dan tanggung jawab yang lebih besar dari pada sekretarisnya. Maka direktur sering disebut atasan dari sekretarisnya. Dan sekretaris adalah bawahan dari direktur. Tinggi seperti ini tidak ada kaitan dengan ruang kerja mereka, atau atasan berjalan di atas kepala bawahannya. Kalau untuk makhluk saja dapat dikatakan yang satu adalah atasan dari yang lain. Maka Allah dengan Sifat Al ‘Aliy adalah lebih mulia dari semua makhluk.
Al ‘Aliy Yang Maha Tinggi bukan bermakna tempat
Allah adalah Maha Sempurna, Maha Suci dari memerlukan tempat. Maka jika ada ayat Al Quran atau Hadits yang secara harfiahnya ada makna tempat, maka itu bukan bermakna tempat secara lahir, seperti QS Thaha 5
ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ
Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.
Ayat ini bukan bermakna Dzat Allah bersemayam menempati Arasy secara makna zahir.
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
Tuhan kita yang Maha Agung dan Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika telah tersisa sepertiga malam terakhir. Ia berfirman: Siapakah yang berdoa kepadaku, maka aku akan mengabulkannya, Siapa yang meminta kepadaku, maka aku akan memberikannya. Siapa yang memohon ampun kepadaku maka akan Aku ampuni. (HR. Bukhari-Muslim)
Hadits ini bukan bermakna Dzat Allah turun ke bawah ke langit dunia (dan naik lagi). tetapi dapat dimaknai rahmat Allah turun untuk mengampuni atau mengabulkan doa hambaNya. Karena pengampunan dosa dan dikabulkannya doa adalah karena rahmat Allah.
Ada 2 Aqidah yang berbahaya yang menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaah yang berkaitan ayat atau hadits yang secara lahir bermakna tempat. Yaitu
- Mujassimah, faham yang meyakini Dzat Allah menempati Arasy atau Allah berada di langit secara makna zahir. Mereka bahkan berhujjah dengan hadits tentang budak wanita yang ditanya Allah di mana? Kemudian dijawab, berada di langit.
- Jahmiyah, faham yang menolak Allah mempunyai Sifat. Tapi meyakini Dzat Allah dapat berada di semua tempat atau berada di mana-mana secara zahir. Ini juga menyimpang.
Kedua keyakinan ini adalah menyimpang. Karena Allah tidak memerlukan tempat.
Keyakinan Mujassimah terjebak menggunakan akal secara keliru, merak berkeyakinan sesuatu yang wujud, pasti dzat yang wujud itu berada di suatu tempat. Ini keyakinan Ibnu Taimiyah, sebelum beliau bertaubat menjadi seorang Sufi di akhir hayatnya.
Dalam QS Al Ikhlas Allah berfirman:
اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ
tempat meminta segala sesuatu.
Maksudnya segala sesuatu sangat bergantung kepada Allah, maka mustahil Allah bergantung pada tempat. Karena yang bergantung pada tempat adalah benda (makhluk).
وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia
Firman Allah di akhir QS Syuraa:11
ؕ لَیۡسَ کَمِثۡلِہٖ شَیۡءٌ ۚ وَ ہُوَ السَّمِیۡعُ الۡبَصِیۡرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.
Di ayat ini jelas disebutnya, tiada sesuatupun yang semisal dengan Allah. Maka tidak dapat dikatakan jika dalam satu ayat ada berbunyi Tangan Allah, tidak dapat diartikan dengan Allah punya Tangan, namun Tangan yang berbeda dengan tangan makhluk. Ini adalah pemahaman Mujassimah yang menyimpang. Ulama telah menjelaskan ayat Mutasyabihat ini (yang samar maknanya).
Kaum Mujassimah ini secara tidak sadar terjebak memikirkan Dzat Allah. Sedangkan kita dilarang memikirkan Dzat Allah. Kita hanya disuruh untuk memikirkan Sifat Allah pada makhlukNya. Sedang terhadap Dzat Allah kita cukup berdzikir atau menyebut AsmaNya. Akal kita cukup hanya berfikir bahwa Allah itu Wujud, selebihnya ruh kita disuruh mengenal Allah di antaranya dengan berdzikir dan merasakan akan Keberadaan, Kemuliaan dan Kebesaran Allah.
Al ‘Aliy Allah Yang Maha Tinggi, Maha Sempurna, Maha Suci dari makna tempat dan dari makna posisi/kedudukan.
Wallahu a’lam
0 Kommentare