Pembahasan Tentang Ketuhanan (Ilāhiyyāt)

Pada bab ini kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan pencipta Yang Maha Agung, Allah ﷻ, seperti sifat-sifat wajib bagi-Nya, sifat-sifat mustahil, dan sifat-sifat yang mungkin. Dan di antara yang wajib bagi Tuhan kita ﷻ ada dua puluh sifat, yaitu wujūd (ada), qidam (tidak bermula), baqā`(tidak berakhir), mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhluk), qiyām bin-nafsi (berada dengan diri-Nya sendiri), waḥdāniyah (esa). Yang pertama (sifat wujūd) dinamai dengan ṣifat nafsiyyah (sifat diri), karena sifat itu hanya menunjuk pada Dzat, sementara sisanya (qidam, baqā`, mukhālafatu lil-ḥawādits, qiyām bin-nafsi, waḥdāniyah) dinamai dengan ṣifat salbiyyah (sifat negasi), karena sifat-sifat itu menafikan semua yang tidak layak bagi Allah ﷻ.

Dalam ilmu akidah, definisi istilah dzat yaitu sesuatu yang memiliki sifat, dan sifat adalah sesuatu yang berada pada dzat.

Sifat Allah ﷻ tidak terbatas pada 20 sifat, namun ini merupakan cara ulama untuk meringkas dan memudahkan dalam pengenalan dan pembelajaran, sebab sifat Allah ﷻ Yang Maha Sempurna tidak terbatas jumlahnya, tidak berujung dan tidak berhingga. Segala sifat kesempurnaan, keindahan, keagungan, semuanya wajib bagi Allah . Adapun sifat yang 20 ini adalah sifat inti, yang apabila ini semua diimani, maka sifat-sifat yang lain akan diimani pula semuanya. Contohnya, Allah ﷻ bersifat Mahakuasa menunjukkan bahwa Allah lah yang memberi kasih sayang, menghidupkan, mematikan, memberi rezeki atau menyempitkannya, dll. 

Ṣifat Nafsiyyah disebut sifat diri karena dia tidak memberi makna tambahan apapun kepada Dzat Tuhan, melainkan merupakan hakikat Dzat itu sendiri, penunjuk bahwa Dzat itu ada. Tanpa sifat wujūd, sesuatu tidak bisa disebut ada, dan karenanya tidak bisa memiliki sifat apa pun. Maka sifat wujūd adalah dasar dari semua sifat.

Ṣifat Salbiyyah disebut sifat negasi karena dia menafikan atau meniadakan segala hal yang tidak pantas bagi Allah ﷻ, seperti keserupaan-Nya dengan makhluk. Sifat ini dijelaskan dan dapat dipahami dengan menolak hal yang tidak mungkin bagi Allah ﷻ.

Kemudian disusul dengan sifat ma’ānī, yaitu sifat yang ada, yang berada pada Dzat Allah ﷻ. Sifat ini bukanlah dzat Allah itu sendiri (dari segi makna), dan bukan pula selainnya (dari sisi wujudnya), yang jumlahnya ada tujuh: Qudrah (Kuasa), Irādah (Kehendak), ‘Ilm (Pengetahuan), Ḥayāh (Kehidupan), Sam’ (Pendengaran), Baṣar (Penglihatan), Kalām (Pembicaraan). Dan tetapnya sifat-sifat ini konsekuensinya adalah tetapnya sifat-sifat yang lain, yang dinamai dengan sifat ma’nawiyyah, yaitu keberadaan-Nya ﷻ sebagai wujud yang Maha Kuasa, yang Maha Berkehendak, yang Maha Mengetahui, yang Maha Hidup, yang Maha Melihat, yang Maha Berbicara.

Ṣifat Ma’ānī (jamak dari kata ma’nā) yaitu sifat yang memberi makna (bukan menegasikan ketidakpantasan, tetapi menunjukkan) kesempurnaan, keindahan, dan keagungan bagi Allah, yang berada (inheren) pada Dzat Allah, dan keberadaannya terkait langsung dengan Dzat Allah ﷻ. 

Dari sifat ma’ānī ini muncul ṣifat ma’nawiyyah, yaitu sifat-sifat yang menegaskan bahwa Allah benar-benar memiliki sifat tersebut. Jadi sifat ma’nawiyyah adalah penegasan atas berlakunya sifat ma’ānī bagi Allah ﷻ. Misalnya, Allah ﷻ memiliki Qudrah (Kuasa), maka Allah ﷻ disebut bersifat Qādir (Maha Berkuasa), dan sebagainya. 

Sifat Allah ﷻ yang banyak ini tidak boleh dipahami bahwa ada sesuatu di luar Allah ﷻ yang menyertainya, tidak boleh pula dipahami bahwa Dzat Allah ﷻ terbagi-bagi. Semua sifat yang banyak itu berada pada Dzat-Nya yang Maha Esa, yang tidak bermula dan tidak bergantung pada apa pun. Sifat-sifat ini bukanlah esensi dzat-Nya sendiri (karena dzat dan sifat tetap dibedakan secara makna), tapi juga bukan sesuatu yang terpisah dari dzat-Nya (karena semua sifat itu melekat sempurna pada dzat Allah ﷻ yang Esa). Misalnya, ketika membahas tentang sifat kuasa, maka sifat kuasa ini bukanlah “Tuhan itu sendiri”, dari sisi maknanya (karena seandainya setiap sifat dianggap Tuhan, berarti Tuhan ada banyak, dan ini jelas mustahil), tapi juga tidak bisa diartikan sifat kuasa ini “di luar Tuhan” (karena sifat ini berada pada Dzat-Nya). 

Sifat 20 dan al-Asmā`al-Ḥusnā

Penting diketahui, bahwa dalam pembahasan ilmu tauhid, para ulama membedakan antara ṣifat aż-żāt dan ṣifat al-af’āl

  1. Ṣifat aż-żāt adalah sifat yang berada pada Dzat Allah dan ada dengan adanya Allah. Sifat ini selalu ada, tidak berubah dan tidak bergantung para terjadinya sesuatu di luar Dzat-Nya. Misalnya Allah memiliki sifat Qudrah (kuasa), artinya Allah selalu memiliki kuasa, baik sebelum menciptakan sesuatu maupun setelahnya, kekuasaan-Nya tidak berubah dan tidak terikat waktu. 
  2. Adapun ṣifat al-af’āl adalah sifat yang berkaitan dengan perbuatan Allah terhadap makhluk, dan terkait dengan waktu atau kejadian tertentu. Sifat ini tampak melalui ciptaan, dan tidak selalu harus ada seperti sifat al-żāt. Misalnya, Allah menunjukkan sifat-Nya yaitu al-Khāliq (Yang Maha Menciptakan) melalui perbuatan-Nya dalam menciptakan alam semesta. Sebelum alam ada, belum ada ciptaan, tapi Allah tetap bersifat Qudrah (Kuasa, sebagai ṣifatal-żāt) tanpa ada perubahan. Contoh lain yaitu Allah memiliki sifat al-Muḥyī (Maha Menghidupkan) dan al-Mumīt (Maha Mematikan), yang Allah tunjukkan ketika Dia menghidupkan atau mematikan makhluk-Nya, begitu pula dengan nama-nama Allah yang kita ketahui dalam al-Asmā`al-Ḥusnā maupun yang kita tidak ketahui.

(Muhammad Rayyan Makiatu),
Video (Playlist) di Youtube Channel Official Media KMIB.


0 Kommentare

Schreibe einen Kommentar

Deine E-Mail-Adresse wird nicht veröffentlicht. Erforderliche Felder sind mit * markiert.

de_DEGerman