Perkara as-Sam’iyyat
Perkara as-Sam’iyyat adalah perkara yang hanya diketahui melalui berita yang didengar (sam’iyyat) dari sumber yang terpercaya, yaitu wahyu yang disampaikan oleh Rasul. Perkara ini tidak dapat ditangkap atau dibuktikan dengan panca indera, oleh sebab itu juga disebut perkara yang gaib. Ada juga wahyu atau Kalam Allah yang menceritakan phenomena alam sebagai ciptaan Allah yang dapat dibuktikan dengan panca indera. Phenomena alam ini adalah menjadi tanda-tanda Kekuasaan Allah bagi orang beriman untuk menambah keimanan kepada Allah.
Wajib kita beriman akan keberadaan perkara yang gaib, seperti surga, neraka, perhitungan amal, sirat (jembatan yang terbentang di atas neraka dan menyeberangkan ke surga), kebangkitan, syafā’at, azab kubur, malaikat, jin, syaiṭan, dan segala yang dikabarkan oleh sosok yang jujur ﷺ. Maka hal-hal ini bukanlah dari kisah-kisah rakyat dan hal-hal yang bersifat ilusi, melainkan hal-hal yang nyata secara aktual, karena hal ini dikabarkan oleh seseorang yang kenabiannya telah terbukti secara pasti, dan dia adalah Nabi kita Muhammad ﷺ , dan Nabi ﷺ tidak mungkin berbohong. Maka meyakini keberadaan hal-hal itu bukanlah hal yang diterima begitu saja, melainkan hal yang bersandar pada ilmu yang sahih dan meyakinkan. Dan semua perkataan yang bersifat ilmiah (bersandar pada ilmu) haruslah diterima, kalau tidak maka kita akan jatuh pada pengingkaran yang tidak berdasar, dan itu tidak tepat.
Hal-hal gaib dapat dibagi menjadi dua kategori, tergantung pada sumber informasinya:
- Khurafat, yaitu hal-hal yang berasal dari sumber yang tidak jelas atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, seperti cerita rakyat, kisah-kisah hantu, atau mitos yang beredar di masyarakat.
- Hal gaib yang bersumber dari wahyu Allah, seperti keberadaan malaikat, hari kiamat, surga, neraka, dan sejenisnya.
Hal-hal gaib ini tidak dapat diuji dengan metode empiris, karena berada di luar ranah sains. Namun, ia dapat diuji melalui validitas sumbernya. Jika sumbernya adalah wahyu yang sahih, maka hal gaib tersebut merupakan bagian dari pengetahuan yang bersifat ilmiah dalam kerangka keimanan, bukan sekadar dongeng atau cerita fiktif.
Al-Qur’an sebagai sumber wahyu memiliki validitas yang tinggi karena ditransmisikan secara lisan dan tulisan dengan metode keilmuan yang ketat. Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu langsung dari Malaikat Jibril ‘alaihissalam. Beliau kemudian menyampaikannya kepada para sahabat, yang mencatatnya sesuai petunjuk Nabi ﷺ: mulai dari lafaz, cara penulisannya (rasam), susunan ayat, hingga urutannya dalam muṣḥaf. Penulisan al-Qur’an telah dimulai sejak masa Nabi, dipimpin oleh sahabat Zayd bin Ṡābit, dan distandardisasi pada masa khalifah ‘Uṡmān bin ‘Affān. Sejak saat itu, mushaf al-Qur’an yang kita miliki hingga kini tidak mengalami perubahan satu huruf pun dari yang diterima Nabi melalui wahyu. Pengajaran secara lisan juga dijaga ketat melalui jalur periwayatan yang masif dan bersambung, dihafalkan dan dipelajari oleh banyak orang dari generasi ke generasi, sehingga apabila ada kesalahan sedikit pun akan langsung dikoreksi oleh yang lain. Cara membaca al-Qur’an, termasuk harakat, i‘rab, makhārij al-hurūf beserta sifatnya, panjang-pendek (mād dan qasr), dengung (ġunnah), dan lainnya, dijaga dalam ilmu tajwīd dan qirā`āt. Makna-maknanya pun dijaga dan diperinci oleh para ulama melalui ilmu gramatika Arab (naḥw), morfologi (ṣarf), linguistik bahasa Arab yang mendalam, balāġah dan berbagai kamus kosakata al-Qur’an sebagai pendukungnya.
(Muhammad Rayyan Makiatu),
Video (Playlist) di Youtube Channel Official Media KMIB.
0 Komentar