Makna sifat al-amānah ialah tidak melakukan hal-hal yang dilarang baik itu sesuatu yang diharamkan atau dimakruhkan. Makna keberadaan nabi sebagai sosok yang terpercaya bahwa beliau tidak melakukan dosa dan kemaksiatan, sekalipun itu dosa kecil atau besar. Maka para nabi semuanya tersucikan dari dosa kecil dan dosa besar baik sebelum maupun setelah risalah (pengangkatan sebagai nabi). Adapun dalil atas hal itu bahwa seandainya nabi itu berkhianat, seperti melakukan hal yang haram, maka keharaman akan berubah (sekaligus) menjadi ketaatan, karena Allah memerintahkan kita untuk mengikuti mereka, sedangkan Allah tidak memerintahkan sesuatu yang diharamkan atau dimakruhkan, karena ada firman Allah “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan keburukan”. Dan berubahnya sesuatu yang diharamkan (sekaligus) menjadi ketaatan itu mustahil, maka batil lah apa yang mengakibatkan itu (berubahnya larangan menjadi perintah).

Sifat amānah ini adalah yang paling pokok. Amanah di sini bukan hanya dalam arti “dipercaya memegang barang”, tapi bermakna kesempurnaan moral dan tanggung jawab spiritual terhadap tugas kerasulan, sehingga juga terhindar dari perbuatan tidak pantas. Sifat al-amānah menurut Imam Sanusi mencukupi untuk merangkum semua sifat kenabian. Amānah meliputi kejujuran, karena tidak mungkin orang yang amanah justru berdusta, sedangkan berdusta itu dosa. Amānah meliputi tablīġ, karena tidak mungkin orang yang amanah ketika diperintahkan untuk menyampaikan wahyu malah justru berkhianat menyembunyikannya. Amānah juga meliputi faṭānah, karena tidak mungkin seorang nabi –yang  diberi tugas menyampaikan wahyu Allah sekaligus bersifat amanah – justru bersifat bodoh dan tidak bisa memahami dan menjelaskan wahyu kepada umatnya dengan pemahaman yang benar dan jelas, membantah orang yang ingkar, dan seterusnya.

Allah ciptakan para nabi sebagai orang yang paling cerdas di zamannya, karena kalau ada yang lebih cerdas maka akan ada kekurangan pada nabi. Termasuk hal yang dijaga oleh Allah dari para nabi adalah memiliki penyakit yang menjijikkan, sebab hal ini menyebabkan umatnya bisa punya alasan untuk tidak mau mengikuti nabinya karena jijik. Fisiknya, akhlaknya, nasabnya dan masa lalunya para nabi ini tidak menyandung cacat yang membuat orang lain merasa tidak nyaman untuk mengikutinya. Oleh karena itu masa lalunya pun bebas dari dosa. Nabi terlindung dari dosa besar dan dosa kecil, karena kalau nabi berdosa, sedangkan nabi itu diutus sebagai teladan manusia, berarti Tuhan memerintahkan sesuatu yang dilarangnya. Selain itu, apabila nabi melakukan dosa, maka itu akan menjadi alasan bagi umatnya untuk juga melakukan dosa. 

Dalam beberapa kejadian khusus, di mana misalnya Nabi ﷺ  pernah melakukan sesuatu yang terlihat seperti kekurangan, hal itu bertujuan untuk menjadikannya syariat. Misalnya Nabi ﷺ pernah dijadikan oleh Allah lupa dan terlambat shalat pada waktunya, sehingga menjadi syariat bagi umatnya bagaimana melaksanakan shalat yang terlewat. Ada pula kekhususan pada Nabi yang hanya berlaku untuk beliau – sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya dan tidak boleh diikuti oleh umatnya – seperti menikah dengan lebih dari empat wanita sekaligus, semata-mata karena mengikuti perintah Allah; atau seperti kekhususan lain, seperti wajibnya shalat malam (tahajjud) bagi Nabi; atau kekhususan bagi Nabi ﷺ dalam riwayat lain bahwa air seni dan darah beliau ﷺ tidak dihukumi najis dan bahkan mengandung berkah yang diketahui para sahabat. Hal-hal ini sebab kita sebagai manusia biasa berbeda kedudukannya dengan Nabi ﷺ yang merupakan manusia pilihan. Adapun hal yang tidak dilakukan Nabi ﷺ, itu belum tentu haram, kecuali ada larangan yang jelas. Maka metode mengetahui hukum syariat dari hal yang dilarang, ditinggalkan, dibiarkan, dilakukan, atau diperintahkan oleh Nabi ﷺ itu memerlukan disiplin ilmu yang komprehensif.

(Muhammad Rayyan Makiatu),
Video (Playlist) di Youtube Channel Official Media KMIB.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian