Ta’aluq dari Sifat Ma’ani

٣٧] وواجب تعليق ذي الصفات – حتما دواما ما عدا الحياة]

[37] Sifat Sifat ini wajib mempunyai ta’aluq yang menjadi objeknya, kecuali Sifat Hayat

٣٨] فالعلم جزما والكلام السامي – تعلقا بسائر الأقسام] 

[38] Sifat Ilmu dan Sifat Kalam mempunyai ta’aluq semua pembagian hukum akal (perkara wajib, perkara mustahil dan perkara jaiz)

Di antara 7 Sifat Ma’ani yang dijelaskan pada tulisan sebelum ini, ada 6 Sifat yang mempunyai ta’aluq yaitu objek yang diikat oleh Sifat Ma’ani itu dan ada 1 Sifat yang tidak mempunyai ta’aluq yaitu Sifat Hayat.

Ta’aluq dari Sifat Ilmu dan Sifat Kalam

Sifat Ilmu dan Sifat Kalam mempunyai ta’aluq yang sama. Ta’aluq yang dimaksud adalah apa yang diketahui oleh Allah dengan Sifat Ilmu dan apa yang difirmankan Allah dengan Sifat Kalam.
Ta’aluq dari Sifat Ilmu dan Sifat Kalam adalah segala sesuatu, yaitu semua perkara yang Wajib, yang Mustahil dan yang Jaiz menurut hukum akal.
Maka apa yang Allah firmankan dengan Sifat Kalam adalah juga apa yang Allah ketahui dengan Sifat Ilmu, yang meliputi segala sesuatu.

Ta’aluq dari Sifat Maha Berkuasa dan Sifat Maha Berkehendak

٣٩] وقدرة إرادة تعلقا – بالممكنات كلها أخا التقى] 

[39] Sifat Maha Berkuasa dan Sifat Maha Berkehendak mempunyai ta’aluq semua perkara jaiz (mungkin), wahai saudaraku yang bertaqwa 

Sifat Maha Berkuasa dan Sifat Maha Berkehendak mempunyai ta’aluq yang sama yaitu semua perkara yang Jaiz menurut hukum akal.
Ini sangat penting untuk kita ketahui, sehingga ketika kita membaca ayat Quran Surat Al Baqarah : 284

لِّلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ وَإِن تُبْدُوا۟ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ ٱللَّهُ ۖ فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Kita memahami benar apa yang dimaksud dengan segala sesuatu dalam ayat tersebut. Segala sesuatu di situ adalah segala yang Jaiz menurut hukum akal. Bukan yang Mustahil dan bukan pula yang Wajib.
Sehingga ketika ada orang yang ingin melemahkan orang beriman dengan bertanya: “Jika Allah Maha Kuasa, mampukah Allah Menciptakan tuhan yang lain?”.
Kalau kita faham cara befikir yang benar dan memahami tentang ta’aluq Sifat Maha Berkuasa dan Berkehendak, mudah saja kita menjawabnya.
Adanya tuhan selain Allah adalah perkara Mustahil dan bukan perkara Jaiz. Oleh sebab itu, perkara itu adalah diluar dari ta’aluq dari Sifat Maha Berkuasa dan Berkehendak. Pertanyaan itu sudah salah, karena keliru dalam dalam berfikir.
Perumpamaan untuk kita mudah memahaminya, misalnya ada seorang ahli gambar segala bentuk geometri. Kemudian dia ditanya, dapatkah anda menggambar bentuk segitiga tapi juga bundar sekaligus.
Tentu saja ahli gambar itu tidak akan dapat menggambarnya, karena bentuk segitiga dan bundar sekaligus adalah bentuk yang mustahil. Jadi ahli gambar bukan tidak mampu menggambar, tetapi bentuk yang diminta adalah bentuk yang mustahil, yang tidak akan pernah ada. Jadi penanya itu yang salah atau keliru dalam berfikir.
Demikian juga pertanyaan yang diajukan apakah Allah mampu menciptakan tuhan lain, bukanlah menunjukkan Allah tidak Berkuasa, melainkan yang bertanya itu keliru dalam berfikir atau tidak benar dalam menggunakan akalnya.

Ta’aluq dari Sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat

٤٠] واجزم بأن سمعه والبصرا – تعلقا بكل موجود يرى]

[40] Sifat Maha Melihat dan Maha Mendengar mempunyai ta’aluq semua yang wujud yang dapat dilihat

Ta’aluq dari Sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat adalah sama. Apa yang didengar oleh Sifat Mendengar Allah dan apa yang dilihat oleh Sifat Melihat Allah adalah sama, yaitu semua yang wujud.
Yang wujud adalah termasuk Yang Wajib WujudNya yaitu Dzat Allah sendiri dan juga yang jaiz (mungkin) wujudnya yaitu makhluk yang diciptakan. Maka makhluk yang Allah tentukan wujud, Allah Mendengar dan Melihatnya tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

Sifat Salbiyah pada Sifat Ma’ani

٤١] وكلها قديمة بالذات – لأنها ليست بغير الذات]

[41] Semua Sifat-Sifat itu adalah bersifat Qidam (bersedia) sebagaimana Dzat, karena Sifat-Sifat itu bukanlah berbeda dari Dzat.

٤٢] ثم الكلام ليس بالحروف – وليس بالترتيب كالمألوف ]

[42] Kalam Allah bukanlah dengan huruf, dan bukanlah tersusun sebagaimana yang kebiasaan pada makhluk. 

٤٣] ويستحيل ضد ما تقدما – من الصفات الشامخات فاعلما]

[43] Mustahil bagi Allah mempunyai Sifat yang berlawanan dari Sifat Maha Agung yang disebut sebelumnya, maka ketahuilah

٤٤] لأنه لو مل يكن موصوفا – بها لكان بالسوى معروفا]

[44] Jika Dia (Allah) tidak bersifat dengan Sifat Yang Maha Agung, maka Dia akan bersifat seperti makhluk.

 ٤٥] وكل من قام به سواها – فهو الذي في الفقر قد تناهى]

[45] Semua sifat yang berlawanan dengan SifatNya (Yang Maha Agung) adalah sifat lemah yang memerlukan kepada yang lain.

٤٦] والواحد المعبود لا يفتقر – لغيره جل الغني المقتدر]

[46] Dan Allah Yang Maha Esa Yang disembah tidak memerlukan – selainNya Allah Maha Agung, Maha Kaya, Maha Menentukan

Sudah dijelaskan pada tulisan tentang Sifat Ma’ani, bahwa segala SIfat Salbiyah yang berlaku pada Sifat Dzat Allah adalah juga berlaku pada Sifat Ma’ani, yaitu
– Qidam (tidak ada awalnya)
– Baqa (tidak ada akhirnya)
Sifat Qidam dan Baqa ini menegaskan Dzat dan Sifat Allah tidak terikat oleh waktu.
– Qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri tidak tergantung dari selain Allah)
– Mukhalafatu li ghoirihi (tidak serupa dari selainNya)
– Wahdaniyah (Maha Esa)
Sifat Salbiyah ini menegaskan Dzat dan Sifat Allah adalah sempurna. Tidak terikat dan terbatas oleh waktu dan tempat, karena waktu dan tempat itu adalah makhluk.

Kalam Allah tidak berhuruf dan tidak bersuara

Dengan memahami Sifat Salbiyah berlaku pada Sifat Ma’ani Allah. Ulama Ahlussunnah wal Jamaah menegaskan lagi bahwa Sifat Kalam Allah tidak berhuruf dan tidak bersuara, karena huruf dan suara menunjukkan keterbatasan pada waktu dan tempat.
Manusia ketika berkata, ada permulaan dan ada akhirnya. Misalnya ketika seseorang membaca Surat Yaasin, orang itu memerlukan waktu dari memulai membaca hingga mengakhirinya. Maka ada selang waktu beberapa menit dari awal hingga akhir membacanya, dari ayat 1 hingga ayat terakhir (ayat 83). Kitapun ketika mendengarkan bacaan akan ada awal dan akhirnya. Lihat penjelasan Sifat Kalam Allah dalam Sifat Ma’ani.
Orang yang memahami Kalam Allah berhuruf dan bersuara menunjukkan pemahamannya yang terpengaruh faham Mujassimah sebagaimana orang itu memahami Dzat Allah itu berjisim. Dzat Allah adalah bukan jisim, maka Sifat Allah bukan pula bersifat jisim.

Sifat Jaiz Allah

٤٧] وجائز في حقه الإيجاد – والترك والإشقاء والإسعاد]

[47] Adalah Jaiz (mungkin) bagi Allah untuk menciptakan sesuatu atau tidak, sebagaimana menentukan celaka dan bahagia (kepada makhlukNya).

Ada satu Sifat Jaiz Allah yaitu Allah Berkehendak untuk menciptakan sesuatu atau tidak menciptakannya. Termasuk di dalam Allah Berkehendak menentukan seseorang mendapat celaka yaitu masuk neraka atau menentukan seseorang mendapatkan kebahagiaan yaitu masuk syurga. Segala sesuatu yang terjadi adalah atas Kehendak dan Kuasa Allah, karena Allah Berkehendak perkara itu terjadi. Segala sesuatu yang tidak terjadi pun adalah atas Kehendak dan Kuasa Allah semata, karena Allah Berkehendak perkara itu tidak terjadi.
Dengan memahami Sifat Jaiz Allah bukan berarti kita sebagai hamba Allah kemudian menjadi tidak berikhtiyar selama hidup di dunia ini, karena beranggapan bahwa sudah Allah sudah menentukan nasib kita di akhirat nanti. Ini adalah cara berfikir yang salah karena berdasarkan prasangka saja.
Sebenarnya kita tidak tahu apa yang Allah Kehendaki pada diri kita. Kita tidak tahu apakah kita akan celaka masuk neraka atau akan bahagia masuk syurga. Itu adalah hak prerogatif Allah, yang bukan urusan kita, apalagi dengan dasar prasangkan.
Kita sebagai hamba sepatutnya fokus saja pada perintah Allah terhadap diri kita yaitu berikhtiyar melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya dan berdoa minta ditunjukkan jalan yang lurus sebagaimana yang kita selalu pinta dalam Surat Al Fatihah.
Salah satu perintah Allah adalah perintah untuk bersangka baik kepada Allah bahwa Allah akan mengabulkan doa kita. Maka ikhtiyar kita kita tumpu pada melaksanakan perintah Allah.
Bisikan prasangka buruk kepada Allah adalah berasal dari nafsu dan syaitan, maka sudah sepatutnya kita lawan dengan prasangka baik kepada Allah.

Keyakinan kaum Mu’tazilah tentang ketentuan Allah terhadap hambaNya

٤٨] ومن يقل فعل الصلاح وجبا – على الإله قد أساء الأدبا]

[48] Siapa yang berpegang bahwa Allah wajib berbuat kebaikan (pada makhlukNya), maka dia telah buruk adab kepada Allah

Kaum Mu’tazilah berkeyakinan bahwa Allah Wajib menentukan yang terbaik terhadap hambaNya. Keyakinan ini adalah bid’ah, karena telah tidak beradab kepada Allah. Allah menentukan kebaikan kepada hambaNya adalah Jaiz (mungkin) bagi Allah. Sebagaimana mungkin saja Allah menentukan keburukan pada hambaNya.
Ada kisah yang masyhur tentang mengapa Imam Abul Hasan Al Asy’ari berubah dari Mu’tazilah dan kembali pada Ahsunnah wal Jamaah.
Suatu ketika beliau bertanya kepada ayah tirinya yaitu Imam Al Jubai yang mengajarkan faham Mu’tazilah

Al-Asy’ari : Apa pendapatmu tentang 3 bersaudara, yang pertama wafat dalam usia dewasa dalam keadaan taat, yang kedua wafat ketika dewasa dalam keadaan bermaksiat dan yang ketiga wafat saat masih kecil?

Al-Jubba’i : Yang pertama dapat balasan Surga, yang kedua dapat balasan Neraka dan yang ketiga tidak di Surga dan tidak pula di Neraka.

Al-Asy’ari : Jika yang ketiga berkata : “Wahai Tuhanku, engkau telah mewafatkanku dalam usia anak-anak, andai engkau perpanjang usiaku niscaya aku akan taat atas perintahmu sehingga aku bisa masuk surga”.Lantas, apa yang akan dijawab oleh Tuhan?

Al-Jubba’i : Tuhan akan berkata : “Sesungguhnya aku tahu jika engkau hidup sampai dewasa niscaya engkau akan bermaksiat kepadaku sehingga engkau akan masuk Neraka, maka yang terbaik (Al-Ashlah) bagimu adalah wafat dalam usia anak-anak”.

Al-Asy’ari : Bagaimana jika orang yang kedua berkata : “Wahai Tuhan, kenapa engkau tidak wafatkan aku ketika aku masih kecil sehingga aku tidak masuk Neraka? Begitu juga semua Ahli Neraka? Apa yang akan dikatakan oleh Tuhan?

Maka Al-Jubba’i terbungkam dengan pertanyaan terakhir yang diajukan oleh Al-Asy’ari, sekaligus dialog ini mematahkan teori Mu’tazilah akan kewajiban Tuhan berbuat Sholah (kebaikan) & Ashlah (yang lebih baik) kepada hambaNya.

Penghuni Syurga melihat Allah

٤٩] واجزم أخي برؤية الإله – في جنة الخلد بلا تناهي]

[49] Yakinlah saudaraku bahwa Allah dapat dilihat di syurga yang abadi tanpa batas.

٥٠] إذ الوقوع جائز بالعقل – وقد أىت فيه دليل النقل]

[50] (Melihat Dzat Allah) adalah jaiz (mungkin) menurut dalil Aqli dan juga didukung dengan dalil Naqli

Melihat Allah di syurga adalah perkara akan terjadi. Hal ini ada disebutkan dalam Al Quran Surat Al Qiyamah ayat 22-23, sebagai dalil Naqli.

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إلى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS Al-Qiyamah: 22-23)

Kita sebagai hamba Allah yang beriman dan Umat Rasulullah shallallahu alaihi wassalam beriman kepada Kalam Allah yang termaktub di dalam Al Quran. Melihat Allah adalah nikmat dari Allah yang paling tinggi yang diberikan kepada hambaNya. Nikmat yang melebihi nikmat-nikmat lain dalam syurga yang juga telah diceritakan dalam Al Quran.
Untuk menambah keyakinan, kita boleh juga menggunakan dalil Aqli. Imam Ahmad Ad-Dardir menyebutkan di dalam baris ke 50, bahwa segala yang wujud adalah mungkin untuk dilihat menurut hukum akal. Dzat Allah adalah Wajib adanya, maka Dzat Allah sangat mungkin untuk dapat dilihat.
Bagaimana penghuni syurga melihat Allah nanti, kita tidak wajib untuk mengetahuinya dan memikirkannya. Cukup bagi kita kita meyakininya karena disebutkan dalam Al Quran. Namun perlu di garis bawahi bahwa penghuni syurga melihat Allah, bukan berarti Dzat Allah berada di syurga. karena Dzat Allah bukan jisim, yang memerlukan dan terikat tempat dan waktu.
Dikisahkan dalam Isra Mi’raj bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bertemu Allah ketika Rasulullah berada di tempat yang disebut dengan Sidratul Muntaha. Ada 2 pendapat Shahabat yang berbeda yaitu:

  1. Sayidina Ibnu Abbas radhiallahu anhu berpendapat Rasulullah melihat Allah
  2. Sayidatina Aisyah radhiallahu anha berpendapat Rasulullah melihat Allah tidak melihat Allah.

Kedua pendapat ini disebutkan dalam Hadits yang shohih. Bagaimana kita memahaminya? Ulama Ahlussunnah wal Jamaah mengambil dan membenarkan ke dua pendapat yaitu:

  1. Benar bahwa Rasulullah telah melihat Allah, namun bukan melihat dengan mata zahir yang melihat benda dihadapannya. Karena “melihat” tidak hanya mesti menggunakan mata zahir ini. Rasulullah shallallahu alaihi wassalam melihat Allah dengan mata bathinnya.
  2. Benar bahwa Rasulullah tidak melihat Allah, yaitu tidak melihat Allah dengan mata zahirnya, karena penglihatan mata zahir ini terbatas pada benda atau jisim saja.

(Wallahu a’lam)


0 Kommentare

Schreibe einen Kommentar

Deine E-Mail-Adresse wird nicht veröffentlicht. Erforderliche Felder sind mit * markiert.

de_DEGerman