Bulan Rajab adalah termasuk Bulan Haram

Rajab Bulan yang dimuliakan Allah

Kita sekarang sedang berada di bulan Rajab salah satu dari 4 bulan haram (Muharam, Rajab, Dzulqaidah und Dzulhijjah) yaitu bulan yang dimuliakan Allah. Jika Allah sudah menyebutkan bulan haram yaitu yang dimuliakan, maka itu sudah lebih dari cukup memberitahu kita bahwa bulan itu adalah bulan istimewa.
Jadi tidak perlu lagi ada pernyataan yang konon berasal dari hadits, namun ternyata bukan dari Nabi shallallahu alaihi wassalam. Sering kita dengan dikatakan bahwa bulan Rajab adalah bulannya Allah, bulan Sya’ban adalah bulannya Nabi Muhammad shallallahu alahi wassalam dan bulan Ramadhan adalah bulannya umat Islam. Ucapan ini bukanlah hadits, mungkin ini perkataan Ulama dan memang benar, karena bulan Rajab adalah bulan haram, bulan yang dimuliakan Allah. Di bulan Sya’ban adalah bulan turunnya ayat perintah untuk bersholawat kepada Nabi.

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا ٥٦

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)

Dan di bulan Ramadhan umat Islam melakukan ibadah puasa, yang pahalanya dilipatgandakan, rahmat dan ampunan Allah turun dengan derasnya di bulan Ramadhan itu. Intinya Ibadah di bulan Rajab adalah istimewa, kita dianjurkan di bulan Rajab dan Sya’ban untuk memperbanyak ibadah untuk mempersiapkan menghadapi bulan Ramadhan

Kemungkaran tidak dapat diperbaiki dengan kemungkaran

Ada lagi yang berkata siapa yang berpuasa di hari pertama, akan mendapat yang demikian, di hari kedua dapat demikian dan seterusnya. Pernyataan ini tidak menambah kemuliaan bulan Rajab, bahkan suatu pernyataan yang disebut itu adakah dari Nabi, tapi ternyata bukan berasal dari Nabi shallallahu alahi wassalam, maka itu dapat diketakan telah berdusta atas nama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam. Dan ini sangat berbahaya sebab ada hadits Nabi dari al-Mughiroh bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu bahwasan nya Rasulullah ﷺ bersabda :

.إنَّ كذبًا عليَّ ليسَ كَكذبٍ على أحدٍ، فمن كذَبَ عليَّ متعمِّدًا فليتبوَّأ مقعدَه منَ النَّار

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas seseorang (selainku), Siapa yg berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menempati tempat duduknya nya di neraka.”
HR. Bukhari & Muslim

Walaupun dia melakukan itu untuk memberi semangat kepada umat Islam untuk memperbanyak ibadah di bulan Rajab. Karena niat yang baik juga mesti disertai dengan cara yang baik dan benar. Kalau niat baik tetapi caranya salah, maka hal itu akan lebih membawa mudharat dari pada manfaat. Tidak boleh kita berniat baik menghapus kemungkaran dengan kemungkaran, karena ini tidak akan dapat memperbaiki keadaan bahkan mungkin akan menambah kemungkaran.

Perlunya kita lebih melihat kekurangan diri sendiri dari pada mencari kekekurangan orang lain

Umat Islam sekarang banyak berbeda pendapat berbeda cara dalam berdakwah, ada yang terlalu tegas sehingga terkesan keras. ada yang telalu lembut, sehingga terkesan lembek. Maka sebaiknya kita saling bertoleransi dan lebih banyak melihat kekurangan kita sendiri agar kita memperbaiki diri. Kalau lebih melihat kekurangan orang lain apalagi merasa diri paling benar baik, sehingga menjadikan kita lupa dengan kekurangan diri sendiri. Kemudian melakukan “amar ma’ruf nahi mungkar” dengan menegur orang lain dengan cara yang justru lebih memberikan mudharat. Sedangkan kita tidak tahu mana cara yang diredhoi oleh Allah. Maka melihat kekurangan diri sendiri untuk dapat memperbaiki diri adalah lebih baik. Untuk dapat bersikap lebih baik kepada saudara kita. Bahkan dengan orang yang non muslim pun kita mesti bersikap baik dalam memperkenalkan Islam, apalagi dengan saudara seiman.

Keutamaan Ilmu dari ucapan Ulama Salaf dan Khalaf (lanjutan)

Hal 92 Kitab Al Manhaju As-Sawi

Guru tidak malu menjadi murid yang belajar muridnya

Imam Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih adalah seorang Ulama besar yang sangat alim alamah. Beliau adalah guru dari Imam Abdullah bin Alwi Al Haddad. Namun setelah Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad telah menjadi Ulama besar yang alim alamah juga, Imam Abdurrahman Bilfaqih menjadi murid dari Imam Abdullah Al Haddad. Ini menunjukkan betapa Ulama terdahulu sangat mementingkan ilmu, tidak peduli dari mana mereka belajar, walaupun gurunya itu adalah dahulu adalah muridnya. Padahal mereka itu sudah sangat alim alamah, namun tetap tawadhuk tidak menjadi lupa diri karena ilmunya.
Imam Fahruruzi adalag Ulama Mufassir yang sangat alim. Kalau beliau mengajar, murid yang datang ribuan. Diantara muridnya ada yang sangat ahli dalam hal nasab yang lebih faham dari Imam Fahrurrozi. Maka ketika sedang membahas ilmu nasab, Imam Fahrurrozi menyuruh muridnya itu duduk ditempatnya duduk, dan beliau duduk di bawah sebagai murid. Muridnya itu awalnya menolak, namun setelah dijelaskan, murid itupun bertukar duduk dengan gurunya. Setelah pembahasan selesai, Imam Fahrurrozi kembali duduk ditempatnya semula dan muridnya kembali duduk di tempat para murid. Begitulah ulama terdahulu sangat mencintai ilmu dan tidak malu belajar ilmu dari muridnya sendiri.

Agama ini dari awal hingga akhirnya adalah ilmu dan amal

Imam Abdurrahman Bilfaqih berkata agama ini dari awal dan akhirnya adalah ilmu dan amal. Dari yang zahir sampai dengan yang bathin, adalah ilmu dan amal. Dari kita lahir sampai kita masuk liang lahat adalah ilmu dan amal. Yang pertama ilmu dan kemudian amal. Jika kita mengatakan dekat dengan Quran, maka kita perlu ilmu dan beramal. Jika kita dekat Ulama, kita memerlukan ilmu dan amal. Dimanapun dan kapanpun keadaanmu kita memerlukan ilmu dan amal.

Pentingnya mempelajari keburukan agar kita dapat menghindarinya

Ada yang bertanya, apakah kita belajar ilmu tentang sombong? Ya benar. Kita belajar keburukan atau sifat buruk agar kita dapat menghindarinya atau tidak terperangkap ke dalamnya.
Imam Ahmad bin Hanbal adalah ahli hadits yang sangat alim mengetahui hadits dengan sanadnya hingga kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Sehingga digelari Amirul Mukminin tentang ilmu hadits. Beliau menyuruh anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal untuk menghafal sebuah Kitab haditsnya.
Setelah anaknya menghafal hadits dalam Kitab itu, anaknya menghadapt ayahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal berkata, Hadits yang kamu hafal itu adalah hadits palsu. Mengapa saya mesti menghafal hadits ini wahai ayah? Dijawab, agar kamu dapat mengenal hadits yang palsu, agar kamu dapat menghindarinya.

Perlunya belajar Tasawuf selain belajar Fikih

Jadi belajar ilmu tentang sifat-sifat buruk dalam ilmu tasawuf adalah juga penting. Untuk mendalami ilmu yang lahir dan yang bathin, maka selain belajar fikih (ilmu amalan lahiriah) kita perlu belajar ilmu tasawuf (ilmu amalan bathiniah). Kitab Tasawuf yang disarankan adalah Kitab karya Imam Ghazali. Beliau adalah Ulama Tasawuf yang luar biasa, mendalam pembahasannya. Hati kita akan merasa dicambuk untuk dididik dengan ilmu beliau. Seperti Ihya Ulumuddin, Bidayatul Hidayah dan Ayyuhal Walad. Selain itu juga, Kitab Hikam karya Syeikh Ibnu Athoilah As-Sakandari. Juga tulisan Imam Abdullah bin Alwi Al Haddad seperti Nashoihul Diniyah. Risalatul Mu’awanah dan Hikam tulisan Imam Abdullah Al Haddad. Kitab-kitab ini untuk membantu kita mengenal diri kita, untuk mengobati qolbu kita dari penyakit hati, agar kita tetap merasa hamba kepada Allah, dan rendah hati kepada sesama manusia.
Dalam Kitab Bidayatul Hidayah, Imam Ghazali memulai nasehatnya kepada orang yang mencari ilmu agar memperhatikan niatnya belajar. Jika kita belajar hanya untuk disebut pandai atau berlomba-lomba menjadi yang paling pandai, maka ilmu itu justri akan menghancurkan agamamu. Kalau engkau jadi guru, tidak mengetahui bahwa muridnya itu belajar untuk yang demikian itu, maka itu adalah seperti engkau memberi pisau kepada orang yang jahat.

Tidak cukup ilmu tanpa amal, dan tidak cukup amal tanpa ilmu

Tidak cukup dengan ilmu kalau tidak beramal, karena syeitan itu ilmunya banyak, namun dia tidak mengamalkan ilmunya maka ilmunya tidak bermanfaat, bahkan mencelakakan dirinya. Tidak cukup juga hanya beramal tanpa ilmu, karena amalan yang dilakukan tanpa ilmu akan sia-sia dan tidak diterima.
Jadi kapan kita dikatakan berilmu? Kita semua punya tingkatan tertentu. Maka sesungguhnya kita mesti mengikuti tahapan yang sesuai dengan tingkatan kita. Dan kita mesti melalui tahapan tahapan itu dalam mencari ilmu dan beramal.
Fahamnya kita akan satu ilmu itu lebih besar pahalanya daripada amal ibadah. Oleh sebab itu menuntut ilmu adalah sebaik-baik ibadah. Seorang fakih lebih baik dari seribu orang yang ahli ibadah.


0 Kommentare

Schreibe einen Kommentar

Deine E-Mail-Adresse wird nicht veröffentlicht. Erforderliche Felder sind mit * markiert.

de_DEGerman